TGH Hasanain Juaini tidak hanya dikenal sebagai tokoh agama tetapi juga akvitis peduli lingkungan. Berkat gerakannya menanam pohon, lahan yang gundul kini hijau.
KHAFIDLUL ULUM–Lombok Barat
SETELAH salat Subuh pada Jumat (23/12), TGH Hasanain langsung ke samping rumahnya di Narmada, Lombok Barat. Dia masih mengenakan baju koko dan sarung. Tangannya lalu mengambil bibit tanaman dan memasukkannya ke polybag. Media tanam yang terbuat dari plastik hitam itu kemudian dijejer di sepanjang pagar serta dinding rumahnya.
Berbagai macam jenis bibit dia tanam. Ada sirsak, mangga, rambutan, cabai, dan tanaman produktif lainnya. Maka, tak heran bila halaman rumahnya penuh tanaman yang tumbuh subur.Di depan rumahnya juga ada pohon rambutan serta delima yang sedang berbuah. Pekarangan rumah hanyalah salah satu lokasi yang dijadikan pembibitan oleh TGH Hasanain.
Yang paling besar di kompleks Pondok Pesantren Nurul Haraiman putra. Di tempat itulah TGH Hasanain menjalankan aktivitasnya di bidang lingkungan. Setiap tahun dia menyiapkan sejuta bibit pohon produktif yang bisa cepat panen. Di antaranya pohon sengon, jabon, mahoni, kayu putih, jati, dan cengkih.
Ada pula pohon berbuah seperti manggis, durian, mangga, rambutan, dan kelengkeng. ’’Bibit ini kami bagikan gratis kepada masyarakat. Siapa saja boleh mengambil asal ditanam,’’ ucap TGH Hasanain saat ditemui di rumahnya belum lama ini.
Siangnya, setelah salat Jumat, Tuan Guru yang lahir pada 17 Agustus 1964 itu mengajak Jawa Pos melihat langsung hasil penghijauan yang dirintisnya selama ini. Tempatnya di pegunungan Desa Sedau, Narmada. Jaraknya sekitar 8 kilometer dari rumahnya. Pegunungan seluas 65 hektare itu dia beri nama Madani Super Camp Nurul Haramain. Hasanain menyetir sendiri mobil Toyota Innova untuk mencapai lokasi tersebut.
Hujan deras mengguyur wilayah Lombok Barat dan sekitarnya. Untuk mencapai kawasan tersebut, pengunjung harus melewati jalan tanah yang cukup terjal dan licin penuh lumpur. ’’Ini sudah bagus. Dulu ini jalan setapak yang sempit,’’ terang dia. Sekitar 30 menit perjalanan, kami akhirnya sampai di kompleks hutan Madani Super Camp Nurul Haramain.
Terdapat lapangan yang cukup luas untuk kegiatan para santri dan pengunjung hutan. Ada pula beberapa gazebo dan pendapa serta asrama yang mampu menampung 300 orang. Yang menarik adalah pohon-pohon yang berjejer rapi dan sangat lebat menghijaukan kawasan itu. Ukurannya hampir sama.’’Ini pohon yang kami tanam,’’ ungkap pria yang menyelesaikan studi magister di Fakultas Hukum Universitas Mataram itu.
Dulu, kata TGH Hasanain, lahan di situ sangat gersang. Hampir tak ada pepohonan. Tapi, kini kondisinya berubah total sejak Hasanain menggarapnya sebagai objek penghijauan.Bahkan sudah menghasilkan. Kayu hasil penghijauan itulah yang kemudian dijadikan bahan membuat gazebo, pendapa, serta asrama bagi santri.
TGH Hasanain bergerak menggelorakan penghijauan sejak 2000, setelah melihat banyak hutan yang rusak dan gundul. Banyak pohon di hutan yang dicuri. Kerusakan hutan pun berdampak buruk bagi masyarakat. Daya dukung hutan terhadap pola perekonomian agraris hilang. Masyarakat sulit bertani, beternak, dan berbudi daya perikanan.
Sebab, air sulit didapat. Melihat kondisi itu, TGH Hasanain berpikir untuk menghijaukan kembali wilayah yang gersang tersebut. Yaitu, mengajak masyarakat melakukan penanaman pohon di lingkungan rumah masing-masing. Namun, kendala yang dihadapi adalah sulitnya mendapat bibit.
’’Masyarakat tidak punya duit untuk beli bibit. Di hutan juga tidak ada,’’ kata suami Hj Runiati Ilarti itu.
Untuk mengatasi kesulitan tersebut, dia melakukan pembibitan sendiri. Yaitu, menggerakkan 327 pesantren yang tergabung dalam Aliansi Pondok Pesantren untuk Gerakan Anti-Korupsi (APPGAK) NTB. ’’Organisasi antikorupsi kan banyak. Mereka juga kami imbau untuk terjun di bidang lingkungan,’’ paparnya.
Ribuan santri Ponpes Nurul Haramain yang dipimpinnya sudah pasti menjadi motor penggerak utama penghijauan tersebut. Caranya, setiap santri wajib mencari gelas bekas air mineral untuk digunakan sebagai media tanam atau polybag. Mereka juga diminta mencari bibit tanaman apa saja. Terutama yang produktif. ’’Bisa yang masih berupa biji buah maupun sudah menjadi bibit tanaman,’’ ungkapnya.
TGH Hasanain juga berkirim surat kepada dinas pendidikan dan Kementerian Agama agar mengimbau para siswa sekolah serta madrasah untuk melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan para santri di Ponpes Nurul Haramain. Bibit-bibit pohon itu ditanam di Lombok Barat dan sekitarnya. Bibit yang dikumpulkan para santri di pondok mereka dibagikan kepada masyarakat.
Alhasil, warga pun ramai-ramai mengambil bibit aneka pohon bernilai ekonomis itu. Di antaranya, sengon, jabon, gmelina, jati, mahoni, cengkih, dan kayu putih.
Kini warga mulai merasakan hasilnya. Hutan yang dulu gundul kini hijau. Rumah-rumah di sepanjang jalan menuju Madani Super Camp terlihat begitu rimbun. ’’Kini warga sudah bisa menikmati hasil tanaman yang mereka tanam beberapa tahun lalu,’’ tutur Hasanain.
Menurut Muhammad Sabirin, salah seorang warga, dirinya tidak salah mengikuti ajakan TGH Hasanain. Selain halaman rumahnya jadi hijau, dia bisa memanen pohon-pohon yang sudah layak jual. Dari berjualan kayu pohon itu, Sabirin bisa membantu biaya kuliah adiknya.
”Dulu ekonomi warga di sini sangat sulit. Tapi, setelah menanam pohon di pekarangan rumah, kami sekarang bisa merasakan manfaatnya,’’ kata Sabirin.
Sejumlah mahasiswa juga tertarik dengan gerakan yang diprakarsai TGH Hasanain. Bahkan, untuk menyukseskan program penghijauan, mereka perlu meminjam lahan kosong yang selama ini kurang dimanfaatkan. Untuk bibitnya, mereka mendapatkannya dari Ponpes Nurul Haramain. ’’Lumayan, beberapa mahasiswa bisa membiayai kuliah mereka sampai selesai dari hasil pohon yang ditanam di lahan kosong itu. Bahkan ada yang sampai S-2,’’ jelas TGH Hasanain.
Cukup besar uang yang bisa didapatkan. Misalnya, ada kelompok mahasiswa yang menanam 10 ribu pohon sengon. Setelah 3–5 tahun, pohon yang bisa dipanen sekitar 5 ribu batang. Harga satu pohon bisa mencapai Rp 500 ribu. Jika dijual, mereka pun bisa mendapat Rp 2,5 miliar. Jika dibagi lima mahasiswa dalam kelompok itu, setiap orang bisa mendapat Rp 125 juta. ’’Itu banyak dialami mahasiswa di Lombok,’’ ungkapnya. TGH Hasanain dan para santrinya juga giat menanam pohon di jalan-jalan. Baik di wilayah Lombok Barat maupun kabupaten lain. Salah satunya di jalan menuju Bandara Internasional Lombok (BIL).
Setiap hari TGH Hasanain menyempatkan diri untuk menanam dan merawat tanamannya. Dia lalu menyampaikan program penghijauan itu kepada pemerintah provinsi dan DPRD NTB. Setelah beberapa kali bertemu, pemerintah setempat akhirnya meluncurkan program Gerakan Gerbang Emas.
Selain menyiapkan anggaran untuk membantu pesantren melakukan pembibitan, gubernur mengeluarkan peraturan gubernur (pergub) wajib menanam pohon di NTB. ’’Sekarang tinggal menunggu perda yang sedang dibahas,’’ tutur TGH Hasanain yang gerakannya kini meluas ke sejumlah kota lain di Indonesia, bahkan ke beberapa negara Asia seperti Filipina, Thailand, Malaysia, dan India. ’’Saya diundang teman aktivis lingkungan di sana,’’ ujar ayah empat anak itu yang beberapa kali memperoleh penghargaan nasional maupun internasional.
Di antaranya, Ramon Magsaysay Award dari Filipina, penghargaan dari presiden RI untuk program penanaman semiliar pohon pada 2011 dan 2012. Dia juga mendapat penghargaan dari Maarif Institute. (*/c5/ari/sep/JPG)