Dispensasi Nikah Longgar Penyebab Perkawinan Anak Tinggi

MATARAM — Angka perkawinan anak di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) masih berada di atas rata-rata nasional, yakni mencapai 17,32 persen. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), angka perkawinan anak di NTB naik sebesar 1,09 persen, dari tahun sebelumnya 16,23 persen. Sementara secara nasional angka perkawinan anak di Indonesia sepanjang periode 202-2023 berada diangka 8,64 persen.

Direktur Eksekutif Plan Indonesia, Dini Widiastuti mengatakan kawin anak masih kerap terjadi, karena salah satu celahnya adalah melalui permohonan dispensasi ke pengadilan. Di NTB, dispensasi perkawinan tahun 2023 mencapai 723 pasang, atau bertambah sebanyak 13 pasang dari tahun 2022.

“Perlunya pengawasan dan dukungan organisasi kemasyarakatan, serta komunitas anak dan kaum muda, termasuk Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM), termasuk sekolah untuk mampu mengenali risiko, melaporkan kasus, dan merespon kasus perkawinan anak,” kata Dini Widiastuti dalam dialog kebijakan publik yang bertemakan “Dilematik Dispensasi Kawin dalam Perkawinan Anak di Nusa Tenggara Barat” yang diselenggarakan di Gedung Sangkareang Kantor Gubernur NTB, Rabu (20/3).

Dari hasil temuan di lapangan dan konsultasi anak, menunjukkan pentingnya penguatan peran masyarakat dalam pencegahan perkawinan anak, termasuk tokoh agama dan adat. Demi kepentingan terbaik untuk Anak Plan Indonesia bersama dengan Koalisi 18+ meluncurkan kertas kebijakan tentang pemenuhan dan perlindungan hak anak dalam permohonan dan putusan dispensasi usia perkawinan yang disusun oleh Plan Indonesia.

“Studi ini juga diharapkan dapat menjadi masukan terhadap Mahkamah Agung dalam melakukan evaluasi atas PERMA 5/2019,” katanya.

Influencing Director Yayasan Plan Internasional Indonesia, Nazla Mariza mengatakan dispensasi pernikahan yang dikeluarkan oleh pengadilan sangat tinggi di NTB. Bahkan jumlah dispensasi yang disetujui itu lebih dari 97 persen.

Baca Juga :  Evaluasi Kinerja Pj Gubernur, Kemiskinan Ekstrem Jadi Catatan

“Ketika kita lihat alasan kemendesakannya, ternyata tidak semua mendesak. Sehingga kita merasa perlu sekali penguatan perspektif dari para hakim yang mengadili dispensasi agar lebih benar-benar mempertimbangkan kepentingan terbaik anak,” harapnya.

Senada, Manager Kebijakan dan Advokasi Plan Indonesia, Ronald Rofiandri yang juga sebagai salah satu peneliti memaparkan hasil temuannya di NTB, yaitu putusan dispensasi kawin masih belum berorientasi pada kepentingan terbaik bagi anak. Justru putusan dapat memperburuk keadaan anak, khususnya anak perempuan.

“Pada implementasinya masih membutuhkan penyempurnaan dengan memastikan keterlibatan anak, dan mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak. Pendapat atau keterangan secara independen, termasuk alasan mendesak yang dikaitkan dengan kepentingan terbaik bagi anak untuk masa kini dan masa depan dalam penetapan dispensasi kawin masih tidak terlalu dipertimbangkan oleh hakim,” tambah Ronald.

Pendidik sebaya dan youth advocate, Riyad yang memiliki pengalaman mendampingi rekan sebaya dalam mencegah perkawinan anak, mengaku sudah menuntaskan 5 sampai 6 kasus perkawinan anak sebelum dikawinkan. Namun dalam upaya ini, dikatakan pihaknya masih menghadapi berbagai kendala seperti pemangku kepentingan yang meremehkan perkawinan anak.

“Perlu banyak solusi dilakukan, seperti hadirnya PATBM, Perdes-Perdes perlindungan anak, dan pencegahan perkawinan anak, serta dana desa untuk upaya ini. Kaum muda juga harus dilibatkan lebih dalam program-program pemerintah di berbagai level,” ucapnya.

Perwakilan Majelis Adat Sasak (MAS), Mamiq Raden, yang juga merupakan penggerak GAMAK (Gerakan Anti Merarik Kodek) menolak praktik perkawinan anak atas dasar adat budaya yang masih kerap terjadi di masyarakat.

Baca Juga :  Dilaporkan ke Polda, Rekap di PPK Sekotong Dinilai KPU NTB Sudah Sesuai Aturan

“Dalam tradisi suku Sasak, perkawinan perempuan dan laki-laki itu harus sudah dewasa. Tidak hanya dari segi usianya, namun juga berbagai pertimbangan lainnya. Sehingga kami juga memiliki berbagai sanksi adat bagi yang melanggar,” tuturnya.

Ketua Kamar Agama Mahkamah Agung, Prof Dr Amran Suadi, SH. M.Hum. MM, menyatakan setelah terbitnya UU No. 16 Tahun 2019, Mahkamah Agung segera merespon dengan menerbitkan Perma No 5 Tahun 2019, sebagai upaya mencegah perkawinan pada usia anak.

Dia berkilah bahwa Hakim selalu berupaya memastikan kepentingan terbaik bagi anak dengan memeriksa permohonan dispensasi dengan cermat. “Kami juga meyakini bahwa berbagai alasan pengajuan dispensasi kawin dengan alasan kehamilan, tidak sejalan dengan prinsip kepentingan terbaik bagi anak,” ujarnya.

Merespons itu, Kepala Dinas DP3AP2KB Provinsi NTB, Dra Nunung Triningsih, MM mengungkapkan Pemerintah Provinsi NTB telah berinisiatif mengeluarkan serangkaian kebijakan. Diantaranya Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Pencegahan Perkawinan Anak dan Peraturan Gubernur Nomor 34 Tahun 2023 tentang Rencana Aksi Daerah Pencegahan Perkawinan Anak Tahun 2023-2026.

Meskipun demikian, perkawinan anak masih kerap terjadi, salah satunya dilakukan melalui jalur dispensasi. “Kami sudah memiliki Perda dan awik-awik. Namun sanksi yang masih belum diterapkan secara tegas, menyulitkan dalam menindak pelaku perkawinan anak. Komitmen kita bersama dalam melakukan pencegahan perkawinan anak, dan jika kita melakukan bersama, angka kasus perkawinan bisa menurun,” ujar Nunung. (rat)

Komentar Anda