2017 Disbudpar Tertibkan Fee Tour Guide

wisata
ART SHOP: Tingginya fee yang diminta guide ketika membawakan tamu ke toko oleh-oleh atau art shop, membuat harga kerajinan atau oleh-oleh khas NTB menjadi tinggi. (LUKMAN HAKIM/RADAR LOMBOK)

MATARAM–Tingginya fee yang ditarik oleh pemandu wisata (tour guide) kepada pelaku usaha, dalam hal ini perajin atau pedagang souvenir kerajinan dan lainnya, sudah bukan rahasia umum lagi. Bahkan pariwisata di Provinsi NTB ini dikenal sebagai daerah wisata termahal di Indonesia, karena para wisatawan yang berkunjung ke NTB untuk membeli souvenir ataupun oleh-oleh khas NTB harus membeli dengan harga yang cukup mahal.

Akibatnya, persoalaan tingginya fee yang diminta oleh oknum tour guide ini otomatis menjadi keluhan hampir sebagian besar pelaku usaha kerajinan yang ada di Lombok.

Terkait persoalan fee tour guide tersebut, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Provinsi NTB memastikan akan menertibkan pekerja pemandu wisata tersebut. “Januari 2017 kami akan mulai tertibkan masalah besaran pemberian fee pedagang atau perajin kepada pemandu wisata,” tegas Kepala Disbudpar NTB, HL Moh. Faozal, Selasa kemarin (27/12).

Faozal mengakui jika pemberlakuan fee yang dilakukan oleh sejumlah oknum tour guide merusak citra pariwisata di NTB. Dunia pariwisata NTB terkesan mahal, karena harga kerajinan dan souvenir khas NTB lainnya terpaksa dijual mahal oleh pedagang atau perajin, karena permintaan fee (imbalan) yang begitu tinggi dari oknum pemandu wisata.

Menurut Fozal, penertiban oknum pemandu wisata yang menarik fee begitu tinggi kepada pedagang atau perajin jika ingin dibawakan tamu (wisatawan), pihaknya akan menggandeng asosiasi guide, dalam hal ini Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) NTB.

Terlebih lagi sekarang sudah adanya Peraturan Daerah (Perda) Nomor 15 tahun 2016 tentang Pramuwisata dan penerapan tarif resmi tour guide. “Awal tahun 2017 Perda Nomor 15 Tahun 2016 itu mulai efektif diberlakukan. Pemandu wisata yang melanggar aturan, maka lisensi sebagai tour guide akan dicabut oleh organisasi induknya,” kata Faozal.

Baca Juga :  BI Kawal Penggunaan Rupiah di Kawasan Destinasi Wisata

Menurut mantan Kabag Humas Setdaprov NTB ini, pemberlakuan Perda Nomor 15 Tahun  2016 nantinya tidak ada lagi penarikan fee yang liar begitu saja. Melainkan menerapkan tarif resmi berdasarkan hasil konsensus antara travel agen dengan tour guide.

Dalam penerapan tarif resmi itu, HPI dan Disbudpar NTB melakukan pengawalan terkait pemberlakuannya di lapangan. Hal tersebut diakui untuk menghidupkan semua sisi dan sektor usaha dari dampak kemajuan pariwisata.

Karena selama ini sambung Faozal, dari hasil laporan keluhan dan temuan di lapangan, didapatkan beberapa outlet oleh-oleh (art shop) penuh dengan parkir mobil wisatawan, dan sebagian besarnya lagi outlet kurang pengunjung, bahkan terkesan sepi.

“Awal Januari 2017, Disbudpar NTB dan HPI NTB akan mulai melakukan pembenahan untuk menerapkan Perda Nomor 15 Tahun 2016 tentang pramuwisata ini,” tegas Faozal.

Sebelumnya, sejumah pengusaha dan perajin mengeluhkan tingginya fee yang diminta oleh sejumlah oknum pemandu wisata jika mereka membawa tamu (wisatawan) untuk berbelanja ke tempat oleh-oleh khas NTB. Bahkan tak sedikit dari oknum pelaku pemandu wisata ini meminta imbalan bekisar antara 20 persen hingga 50 persen. Tingginya fee yang diminta pemandu wisata ini, sebagian kecil menerima dan sebagian besar pelaku usaha menolak.

Pelaku usaha yang menerima, terpaksa menyetujui permintaan fee tersebut, karena takut sepi pembeli. Dimana jika pelaku usaha kerajinan tidak memberikan fee yang terbilang cukup besar tersebut, maka pengunjung ke tempat mereka akan sepi. Sementara sebagian besar lainnya menolak dengan alasan fee yang begitu besar akan berdampak terhadap harga jual produk mereka dengan menaikan harga sampai 500 persen.

Baca Juga :  Bupati Uji Ketangkasan Pegawai di Benang Stokel

Seperti yang disampaikan salah seorang pengusaha sekaligus perajin mutiara asal Sekarbela, Kota Mataram, H. Fauzi yang menolak memberikan fee yang terbilang besar mencapai 30 persen hingga 50 persen.

“Permintaan fee yang begitu besar ini merugikan perajin dan pedagang souvenir khas NTB. Karena mau tidak mau harganya dinaikan hingga 500 persen dan nantinya pariwisata NTB terkenal jadi yang termahal di Indonesia,” tuturnya.

Ia berharap pemerintah daerah bisa segera mencarikan solusi terkait dengan persoalan tour guide tersebut. “Kita minta pemerintah daerah segera menata ulang masalah pemandu wisata ini,” harapnya.

Hal yang sama juga disampaikan Zaenuri Hamka, salah seorang perajin atau pedagang lampu hias berbahan baku bambu asal Praya, Lombok Tengah. Hamka mengeluhkan tour guide yang ada di NTB menarik fee yang cukup tinggi jika membawakan tamu. Berbanding terbalik dengan tour guide yang ada di Bali.

“Banyak sekali tamu yang mengeluh harga barang atau oleh-oleh khas NTB sangat mahal. Sementara barang yang sama di Bali, didapatkan wisatawan dengan harga murah. Perajin dan tour guide di Bali bersinergi di Bali, tapi di Lombok justru mematikan perajin,” ungkap Hamka.

Hamka yang juga memiliki outlet oleh-oleh kerajinan di Bali ini berharap pemerintah daerah bisa menertibkan pelaku tour guide ini. Pasalnya, jika tidak segera ditertibkan akan merusak citra pariwisata NTB yang saat ini mulai dikenal oleh dunia. “Pariwisata NTB sudah mulai dikenal, tapi harus ditata dan diatur keberadaan tour guide yang meminta fee sangat tinggi ini,” tutupnya. (luk)

Komentar Anda