Tersangka Korupsi Tambang Pasir Besi Tambah Satu Lagi

TERSANGKA BARU: Tersangka baru kasus korupsi tambang pasir besi inisial S, memakai rompi dengan tangan diborgol, ketika akan dibawa menuju Lapas Kelas IIA Kuripan Lobar untuk menjalani masa penahanan.(ROSYID/RADAR LOMBOK)

MATARAM — Tersangka kasus dugaan korupsi tambang pasir besi di Dedalpak, Desa Pohgading, Kecamatan Pringgabaya, Kabupaten Lombok Timur (Lotim) kembali bertambah. Terbaru, pihak Penyidik Pidana Khusus (Pidsus) Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB, menetapkan satu tersangka lagi, inisial S, 40 tahun.

“Iya, ada satu tersangka tambahan dan langsung ditahan,” kata Kasi Penkum Kejati NTB, Efrien Saputera, Selasa kemarin (25/7).

Tersangka baru ini kembali dari golongan Aparatur Sipil Negara (ASN), yakni dari Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan Kelas III Labuhan Lombok. “Kalau tidak salah, tersangka ini selaku staf,” jelas Efrien.

Setelah diperiksa sebagai tersangka sekitar 6 jam, S langsung diborgol dan ditahan di Lembaga Permasyarakatan (Lapas) Kelas IIA Kuripan, Lobar. “Penahanan 20 hari pertama dititipkan di Lapas Kuripan,” sebutnya.

Efrien tidak menjelaskan secara rinci peran tersangka baru ini dalam korupsi tambang pasir besi yang menimbulkan kerugian negara sebesar Rp 36 miliar, sesuai hasil perhitungan dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) perwakilan NTB itu.

Tersangka S keluar dari ruang penyidik Pidsus Kejati NTB sekitar pukul 17.15 WITA. Tersangka keluar mengenakan rompi tahanan Kejati, dengan tangan terborgol. Demikian ketika dimintai keterangan, tersangka juga enggan membuka suara.

Baca Juga :  Dituding jadi Penyebab Banjir, Amdal Proyek Bypass KEK Mandalika Dipertanyakan

Tersangka keluar bersama salah satu tersangka lain yang terlebih dahulu ditahan, yaitu Kepala Cabang (Kacab) PT Anugerah Mitra Graha (AMG) Lotim inisial RA.

Terkait kehadiran RA itu, Efrien tidak mengetahui secara pasti apa agendanya. Apakah pemeriksaan tambahan atau memberikan kesaksian untuk tersangka lain. “Kurang tahu aku, belum dapat info,” timpalnya.

Seperti diberitakan sebelumnya, Kamis (20/7) lalu, penyidik Pidsus Kejati NTB juga telah menahan tiga tersangka lain. Yaitu inisial SM mantan Kepala Bidang (Kabid) Mineral dan Batubara (Minerba) pada Dinas Energi Sumber Daya dan Mineral (ESDM) NTB, yang saat ini menjabat sebagai Kepala Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans) Dompu. Kemudian SI selaku Kepala Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan Kelas III Labuhan Lombok, dan MH mantan Kadis ESDM NTB. Semuanya dari kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN).

Usai diperiksa sebagai tersangka, mereka langsung ditahan oleh penyidik. Penahanannya dititipkan di Lembaga Permasyarakatan (Lapas) Kelas IIA Kuripan, Lombok Barat.

Peran ketiga tersangka ini juga tidak dijelaskan secara rinci. Namun dipastikan mereka ditetapkan sebagai tersangka, karena memiliki hubungan dalam proyek tersebut.

Jauh sebelumnya, penyidik juga telah menetapkan tiga orang sebagai tersangka, yaitu mantan Kadis ESDM inisial ZA; Direktur Utama (Dirut) PT Anugerah Mitra Graha (AMG) inisial PSW; dan RA selaku Kepala Cabang (Kacab) PT AMG Lotim.

Baca Juga :  PKB Perjuangkan Prof Masnun Jadi Penjabat Gubernur

Terhadap ketiga tersangka itu, berkas perkaranya sudah dinyatakan lengkap, dan Jumat (7/7) lalu, Jaksa telah melimpahkan tersangka dan barang bukti (tahap dua) ke jaksa penuntut umum (JPU).

Total sudah ada tujuh orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam proyek pengerukan pasir besi tersebut. Untuk para tersangka, dijerat Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Kasus yang menjerat para tersangka itu, terungkap bahwa pengerukan yang dilakukan PT AMG di Dusun Dedalpak, Desa Pohgading, Kecamatan Pringgabaya tersebut, tanpa mendapatkan persetujuan rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) dari Kementerian ESDM. Aktivitas penambangan yang dilakukan tanpa RKAB itu berlangsung dalam periode 2021 sampai 2022.

Dengan tidak adanya persetujuan itu, mengakibatkan tidak ada pemasukan kepada negara dari sektor penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Berdasarkan hasil audit BPKP NTB, kerugian negara yang muncul sebesar Rp 36 miliar. (sid)

Komentar Anda