SELONG – Eksekutif segera mengajukan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) pajak untuk pelaku usaha kecil ke DPRD Lombok Timur. Rencana pemberlakuan pajak bagi pelaku usaha kecil sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Lombok Timur ini mendapat penolakan PKL. Kewajiban ini akan berlaku bagi Pedagang Kaki Lima (PKL) yang menyiapkan meja dan kursi. Besaran pajak yang dikenakan tentunya akan menggunakan persentase dan juga disesuaikan dengan omset yang didapat pedagang .
Sekda Lombok Timur HM. Juaini Taofik mengatakan, penarikan pajak ke pelaku usaha kecil merupakan cara pendayagunaan aset yang dimiliki daerah. Dimana saja daerah-daerah yang celah fiskalnya kurang memang aset daerah akan didayagunakan untuk mendatangkan PAD. ” Bagi saya ini lahan Pemda tentunya harus disewa,” terangnya.
 PKL diminta tidak resah dan khawatir. Selama uang yang disetor masuk ke daerah tidak usah disalahgunakan, karena hal tersebut akan menjamin kesinambungan usaha mereka. ” Pajak yang mereka bayar itu akan menjadi sumber anggaran untuk pembangunan daerah. Hal ini akan jauh lebih baik ketimbang pungutan-pungutan dilakukan perorangan, dan pajak tersebut malah masuk ke oknum pribadi, ” imbuhnya.
Kalau ada penolakan dari sebagian masyarakat atau pedagang diyakininya itu bukan semata karena pemberlakukan kebijakan ini. Namun yang menjadi kekhawatiran mereka adalah jika pajak yang dipungut itu tidak masuk ke kas daerah. Dalam arti masyarakat tersebut tentunya menginginkan transparansi dalam hal pemungutan pajak. Kalau semua sudah transparan maka masyarakat pasti akan menerima dan puas. Apalagi kalau pajak tersebut digunakan sepenuhnya untuk kepentingan masyarakat Lombok Timur. ” Sebagai bentuk transparansi dan mencegah terjadinya penyimpangan pajak maka kita akan berupaya mendorong supaya pembayaran pajak ini dilakukan secara non tunai ” tandas Juaini.
Menanggapi kebijakan ini salah seorang penjual bakso, Bambang mengaku, tidak setuju dengan pemberlakuan pajak untuk pedagang kecil seperti dirinya. Hal tersebut sangat merugikan bagi mereka terlebih lagi penghasilan sehari yang didapatkan dari berjualan tak seberapa. ” Saya sangat tidak setuju. Kalau diberlakukan saya tidak mau bayar,” jawabnya.
Dalam sehari paling banyak dia mendapat Rp 100 ribu sampai Rp 200 ribu. Hasil berjualan tersebut belum lagi dipakai untuk membeli bahan, dan kebutuhan keluarga. Jika pemerintah berdalih pemberlakuan pajak ke usaha kecil untuk meningkatkan PAD, masih banyak potensi PAD dari usaha besar lainnya yang bisa dimaksimalkan. ” Banyak banyak usaha rumah makan yang lebih besar untuk ditarik pajak. Makanya kita berharap jangan sampai kebijakan ini diberlakukan pelaku usaha kecil seperti saya ini,” tutup dia .(lie)