Perwira TNI Lettu Azyadi Ditipu Rp 100 Juta oleh Oknum Jaksa Kejati NTB dalam Perekrutan CPNS

KELUAR : Saksi Lettu Azyadi saat keluar dari ruang sidang PN Tipikor Mataram usai memberikan kesaksian dalam perkara pemerasan peserta calon pegawai negeri sipil (CPNS) oleh oknum jaksa fungsional Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB, Eka Putra Raharjo. (ROSYID/RADAR LOMBOK)

MATARAM–Sidang perkara pemerasan peserta calon pegawai negeri sipil (CPNS) oleh oknum jaksa fungsional Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB, Eka Putra Raharjo terus berlanjut.

Saksi yang dihadirkan dalam persidangan ialah perwira TNI AD Lettu Azyadi, yang saat ini bertugas di Korem 162/WB.

Lettu Azyadi yang dihadirkan jaksa penuntut adalah salah satu korban terdakwa Eka Putra dengan total kerugian Rp 100 juta. Uang itu untuk meloloskan anaknya bernama Reni Febrianti menjadi PNS di kejaksaan, pada tahun 2021.

Awal pertemuan mereka setelah dikenalkan oleh seseorang bernama Sahil, tahun 2021 lalu yang saat itu juga anak korban sedang mengikuti tes masuk di kejaksaan.

“Meminta uang Rp 100 juta, bahasanya meminjam,” kata Lettu Azyadi di ruang sidang Pengadilan Negeri (PN) tindak pidana korupsi (Tipikor) Mataram, Jumat (14/7).

Pemberian uang Rp 100 juta diberikan dalam dua tahap. Tahap pertama Rp 60 juta pada 2 Agustus 2021. Selang tiga hari kemudian kembali memberikan sisanya, Rp 40 juta.

Pengakuannya, uang yang diberikan kepada terdakwa merupakan uang hasil pinjaman dari Bank BRI di Bali. Ia melakukan peminjaman sewaktu masih tugas di sana.

Baca Juga :  Jadi Tersangka Korupsi, Oknum Pegawai Kejati NTB Belum Ditahan

“Uang itu saya dapat minjam di bank di Bali,” aku perwira yang bertugas sebagai Perwira Pembinaan Mental (Pebintal) di Korem 162/WB itu.

Jika anaknya tidak lulus sebagai PNS kejaksaan, terdakwa akan mengembalikan uang korban. Namun hingga pengumuman dan anak korban dinyatakan tidak lulus, uang korban tidak dikembalikan.

“Saya pernah tagih ke rumahnya, empat bulan sekali saya datang untuk menagih,” sebutnya.

Lettu Azyadi berharap uangnya bisa kembali. Terlebih lagi uang itu merupakan uang hasil meminjam di bank yang pembayarannya dicicil dengan gajinya.

“Itu saya setor sampai pensiun, Cicilannya Rp 3,2 juta per bulan,” katanya.

Saat penagihan, terdakwa memberikan korban fotokopi sertifikat rumah yang berada di perumahan Paronama, yang ada di Sesela, Lombok Barat.

“Itu kesanggupan pak Eka, akan menyerahkan BTN. Dia (terdakwa) yang mengatakan itu. BTN itu sebagai jaminan,” ujarnya. 

BTN yang digunakan sebagai jaminan itu, terungkap bukan atas nama terdakwa sendiri. Melainkan atas nama istri terdakwa. Akan tetapi, korban sendiri tidak pernah bertemu dengan istri terdakwa.

Baca Juga :  Jadi Tersangka Korupsi, Oknum Pegawai Kejati NTB Belum Ditahan

“Selama saya datang ke rumahnya, tidak pernah bertemu dengan istrinya. Sertifikat BTN itu sekarang ada di bank,” bebernya.

Rumah yang menjadi jaminan, tidak ditempati korban karena takut dan bersertifikat atas nama istri terdakwa. “Kalau tempati, nanti saya digugat. Salah juga saya nanti,” ucap dia.

Sementara terdakwa dalam persidangan tidak membantah semua keterangan saksi. “Benar semua (keterangan saksi),” ungkapnya.

Ditanya perihal apakah ada iktikad baik terdakwa mengembalikan uang korban, terdakwa mengaku ada niat. “Niat untuk mengembalikan ada, makanya saya berikan jaminan rumah itu,” pungkasnya.

Atas perbuatannya, terdakwa didakwakan Pasal 11 dan/atau Pasal 12 huruf e dan/atau pasal 23 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 junto Pasal 421 KUHP junto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP junto pasal 65 ayat (1) KUHP. (sid)

Komentar Anda