Prestasinya dalam dunia persilatan membuat nama Mariyati tersohor. Dari banyak pertarungan yang dilakoni, ia sukses menjadikan dirinya sebagai salah satu pendekar pilih tanding.
ABDI ZAELANI—MATARAM
Purna sudah tugas Mariyati sebagai petarung di dunia persilatan. Ia menahbiskan diri sebagai jawara dan pendekar paling mumpuni.
Betapa tidak, usai mengantarkan nama Indonesia sebagai kampiun di ajang kejuaraan pencak silat dunia di Denpasar, Bali, belum lama ini. Mariyati memilih pensiun dari dunia persilatan. Alasannya berhenti dari dunia persilatan lantaran ingin lebih fokus mengurus keluarganya.
Kala itu, ia menumpas habis pendekar asal Negeri Gajah Putih, Thailand. Tak tanggung-tanggung, skor kemenangan yang diraih pun sangat mutlak, 3-0.
Sebelum menjuarai kejuaraan dunia itu, mariyati juga mengharumkan tanah kelahirannya dengan membela skuad NTB di Pekan Olahraga Nasional (PON) Bandung, Jawa Barat, September lalu. Hasilnya sudah jelas bisa ditebak, ia tercatat sebagai salah satu atlet yang menyumbang medali emas bagi NTB.
Khusus untuk kejuaraan dunia pencak silat, bukan kali pertama diraih perempuan kelahiran Penujak, Lombok Tengah itu. Gelar pertama sebagaoi pesilat terbaik dunia pernah diraihnya ketika gelaran yang sama berlangsung di Thailanfd beberapa tahun lalu.
Akan halnya dengan medali emas di PON, perempuan yang biasa dipanggil Wok oleh rekan-rekannya ini sudah berkali-kali menyabet medali yang sama. Lantaran prestasinya itu, Mariyati selain menjadi atlet, ia juga ditetapkan sebagai asisten pelatih.
Sebenarnya prestasi mentereng yang diraih Mariyati bukan tanpa kebetulan. Ia lahir sebagai pendekar wanita nomor wahid tidak lepas dari usaha dan kerja kerasnya menempa diri. Siapa sangka prestasi yang diraih saat ini merupakan buah manis dari kesungguhan dan kobar semangatnya yang selalu menyala-nyala.
“Dulu saya pernah menekuni olahraga atletik, tapi saya lebih memilih silat,” ungkapnya membuka kisah dirinya kepada Radar Lombok, Jumat (16/12).
Prestasi dalam dunia atletik yang diraih Mariyati tidaklah ecek-ecek. Kala itu ia siap berlaga di Pekan Olahraga Provinsi (Porprov) 2004 mewakili Kabupaten Lombok Tengah. Namun lantaran uangnya tidak ada, otomatis, ia tidak ikut ambil bagian di ajang itu.
Meski urung berangkat ke Kota Mataram kala itu, Mariyati tak patah semangat. Justru dari ketidakmampuannya secara ekonomi membuat dirinya terus “memfungsikan” otaknya untuk mencari duit tambahan.
“Jadilah saya sebagai pengembala kambing dan menyabit rumput,” tuturnya.
Srikandi NTB yang lahir dari pasangan Takrip dan Ulandari ini memiliki 6 saudara. Ia mengaku orantuanya memiliki 7 anak.
Ihwal dirinya menggembala kambing dan menyabit rumput, kisahnya, tidak lain karena desakan biaya hidup. Di lain sisi dengan cara itu, ia tidak ingin memberatkan orangtuanya karena sudah terlanjur bertekad akan menekuni dunia olahraga.
Dari hasil menggembala dan menyabit rumput itulah ia gunakan sebagai biaya tambahan agar bisa terus bisa berlatih.
Ia lalu menuturkan awal perkenalannya dengan pencak silat. Tepat di Januari 2006, ia mengikuti pencak silat diperkenalkan oleh Dedy kepada Samsul Hadi. Lantaran dianggap berpotensi, ia pun lantas bertemu dengan Dedy S. Darere.
Sejak perkenalan itu, kenangnya, ia mengaku sangat berterima kasih atas dedikasi Samsul Hadi. Sosok inilah yang dianggap banyak berjasa lantaran bersedia menjadi tukang ojek mengatar dirinya pulang pergi Pnujak-Mataram untuk berlatih silat.
“Oh ya, hasil menyabit rumput itu biasanya saya diupah seribu rupiah. Uang itu saya gunakan sebagai bekal latihan di Mataram,” katanya mengingatkan dirinya.
Hingga memasuki April 2006, Wok pertamakali mengikuti Kejuaraan Nasional (Kejurnas) Kartini Cup. Sebagai pemula, ia tidak mendapat gelar apa-apa.
Dari itu, ia kian intensif berlatih. Ia terus memantapkan latihannya dari hari ke hari.
Hingga tibalah Pekan Olahraga Provinsi (Porprov) 2006. Di ajang ini, Maryati menancapkan prestasinya pertamanya dengan meraih medali perak. Kala itu ia dikalahkan oleh seniornya, Indria Milasari.
“Saya kalah sama Mbak Indria Milasari. Maklum ia senior saya,’’ akunya.
Meski sudah meraih medali perak, ia negaku tak berhenti dari aktivitasnya menyabit rumput. Di tengah aktivitasnya itu, ternyata ia menyembunyikan rapat-rapat identitasnya sebagai seorang pesilat dari keluarganya.
Memasuki 2010 ia dipilih untuk mengikuti Kejurnas tingkat dewasa di Surabaya. Ajang ini rupanya menjadi titik balik dari semua prestasi Mariyati. Ia berhasil mengamankan medali emas untuk pertama kalinya. Kemudian di tahun yang sama, ia mengikuti kejuaraan dunia di Palembang dan Jakarta dan berhasil mempersembahkan medali perak.
Lewat bimbingan pelatihnya, Dedy S Darere, Mariyati terus tekun mendalami ilmu beladirinya. Prestasi yang ia toreh selama ini membuatnya kian tekun berlatih.
Tepat 2011 lalu, Maryati akhirnya kembali dipanggil untuk mengikuti ajang SEA Games di Jakarta. Di ajang ini ia berhasil meraih medali perak.
Perjalanan karirnya semakin membuahkan hasil. Namun keluarga belum tahu apa aktivitasnya saat itu. Saat itu agenda Pekan Olahraga Nasional (PON) Riau, Mariati salah satu andalan NTB untuk menyabet medali emas.
‘’Alhamdullah saya berhasil mempersembahkan medali emas saat Pak Kasdiono menjadi ketua KONI NTB,’’ ucapnya.
Bukan sampai di situ karir Mariati, ia kembali memperkuat Indonesia di kejuaraan dunia di Tahiland 2012. Mariyati hanya mampu mempersembahkan perak untuk Indonsia. Beralnjut ke Belgium Open 2013, ssosok ini kembali berhasil mempersembahkan emas sekaligus mencatatkan namanya mewakili NTB di ajang itu.
“Itu dari sekian banyak rentetan perjalan karir saya di dunia silat,” ulasnya.
Ia mengaku, sebenarnya, masih banyak juga prestasi-prestasi lain yang diraih dirinya. Namun begitu, ia menganggap semua prestasi itu adalah bagian dari perjalanan hidupnya yang tidak bisa terus diulang lantaran usia.
Ia mengaku, sebenarnya sangat ingin membela Timnas Indonesia dalam SEA Games 2017 mendatang. Namun karena orangtuanya sakit-sakitan, ia memilih pension lebih awal.
“Saya ingin fokus mengurus orang tua dulu,” ujarnya.
Mariati sekarang fokus bekerja di Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Dikpora) NTB. Selain itu, ia juga menjadi asisten pelatih silat Pemusatan Pendidikan Latihan dan Pelajar (PPLP) NTB.
Apakah sudah menikah? Dilontarkan pertanyaan seperti itu, Mariyati malah tersenyum. Dengan nada pelan ia mengatakan, belum ada jodoh. (*)