Melihat Tradisi Bejariq Minyak Songak, Hanya Dibuat Saat Maulid Nabi, Ampuh Obati Luka-luka

MINYAK SONGAK: Inilah suasana tradisi pembuatan Minyak Songak oleh warga Desa Songak, Kecamatan Sakra, Kabupaten Lombok Timur, Jum’at lalu (7/10). (M HAERUDDIN/RADAR LOMBOK)

Desa Songak, Kecamatan Sakra, Kabupaten Lombok Timur (Lotim), memiliki tradisi unik yang bernama “Bejariq Minyak Songak”, yang hanya dilaksanakan oleh masyarakat pada tanggal 12 Rabiul Awal, atau bertepatan dengan bulan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Di Pulau Lombok sendiri, minyak Songak ini konon terkenal ampuh dalam mengobati luka-luka sabetan senjata tajam atau luka robek akibat kecelakaan.


JUMAT pagi lalu (7/10), sekitar pukul 07.00 Wita, warga dari berbagai dusun di Desa Songak, terlihat ramai berkumpul. Masing-masing dari mereka membawa parang atau golok, yang digunakan untuk mengupas kelapa.

Sementara beberapa orang lainnya terlihat membawa pisau berbagai ukuran, dan duduk terpisah yang bertugas mengupas rempah-rempah.

Berkumpulnya sejumlah warga itu bukan karena ada Gawe (acara) pernikahan atau sunatan dan lainnya. Namun mereka berkumpul untuk bergotong-royong untuk melaksanakan prosesi adat Bejariq Minyak Songak atau Membuat Minyak Songak, yang merupakan obat tradisional khas Lombok.

Tradisi membuat obat berupa minyak ini tidak dapat ditemukan ditempat lain di Lombok. Obat ini ada, dan hanya dibuat oleh warga Desa Songak saja, sejak zaman nenek moyang, yang khasiatnya terkenal ampuh untuk mengobati luka-luka.

Salah seorang tokoh Budaya Songak, Murdiyah menjelaskan bahwa tradisi pembuatan minyak tersebut, merupakan warisan nenek moyang yang masih bertahan hingga saat ini. Bahkan tradisi satu ini terbilang tak pernah hilang seperti ritual lainnya di desa tersebut.

“Tradisi Bejariq (membuat) minyak ini tidak pernah hilang dan terus lestari. Tidak seperti tradisi lainnya di Songak yang sempat hilang, dan kini banyak muncul kembali,” ungkap Murdiyah, yang ditemui usai kesibukannya di Masigit Bengan (Masjid Tua, red), Jumat malam.

Untuk pembuatan minyak Songak ini tak sesulit yang dibayangkan. Bahkan tak serumit pelaksanaan ritual adat yang biasa digelar. Karena bahan dasarnya sama seperti membuat minyak pada umumnya, yakni kelapa.

Setelah dikupas, nyiur atau kelapa ini nantinya diparut dan diperas untuk mendapatkan santannya. Air santan kelapa inilah yang selanjutnya akan diproses untuk menjadi minyak Songak.

“Prosesnya juga tak begitu rumit. Namun membutuhkan waktu cukup lama hingga berjam-jam. Itu pun lama waktunya tergantung berapa jumlah kelapa yang bakal dijadikan minyak. Untuk puluhan kelapa itu bisa sampai 7 hingga 8 jam. Jika dalam jumlah yang banyak bisa 12 jam, bahkan 24 jam,” terangnya.

Agar bisa digunakan, tahap awal air santan hasil perasan manual itu dipanaskan. Setelah beberapa jam, air santan ini akan nampak memisahkan diri. Jika sudah nampak seperti itu, biasanya disedot dan dipisahkan dari induk santannya dan ditaruh pada wadah yang lain.

Tahap selanjutnya, jika minyak sudah dipanaskan selama 6 sampai 7 jam. Barulah ditaruhkan rempah-rempah. Setelah itu, keluar bau harum sebagai penanda minyak tersebut sudah jadi. “Di setiap tahapannya, ada doa khusus yang dipanjatkan. Begitu juga selama mengaduk, diiringi dengan pembacaan sholawat,” jelasnya.

Tak sampai di situ, setelah minyak ini jadi, kemudian dibawa ke Masigit Bengan (masjid tua), untuk diukuf. Karena ukuf ini sebagai penanda minyak itu boleh digunakan.

Di mana menurut kepercayaan warga, sebelum minyak diukuf, belum sah digunakan. Konon, dulu minyak dibuat dalam berbagai penamaan, tentu setiap nama memiliki khasiat yang berbeda.
“Ada yang namanya minyak inaq (ibu) dan bajang (muda). Minyak ibu ini biasanya oleh orang banyak dipercaya sebagai obat luka baru. Sedangkan yang bajang, biasanya digunakan sebagai pertahanan ketika mendapatkan peristiwa keributan, dan ini kesaksian banyak orang. Lebih pasnya kita tanya mereka yang mengalami,” ujarnya tersenyum.

Bahkan di bawah tahun 80-an, sambungnya, selain banyak julukan, usai minyak tersebut diukuf di masjid tua, biasanya warga saling coba khasiat minyak dengan menggunakan parang.

“Konon jika sudah pukul 12 malam, ketika ada warga yang keluar dari rumah, maka mereka bakal ditebas menggunakan parang. Ini kata orang tua untuk menguji khasiat minyak tersebut,” tuturnya.

Namun kondisi itu telah berubah sejak tahun 1990-an. Tak adalagi peristiwa saling coba menggunakan parang usai minyak tersebut diukuf. “Kalau dulu seperti itu, sekarang sudah tidak ada lagi,” tegasnya.

Pelaksanaan ritual budaya Bejarig Minyak Songak ini dilaksanakan tepat pada tanggal 12 Rabi’ul Awal dalam kalender Islam. “Biasanya tradisi ini juga dibarengi dengan penyucian Gaman (Senjata) yang dimiliki warga, dan inilah yang disebut Mulut Adat (Maulud Adat). (M HAERUDDIN – LOMBOK TIMUR)

Komentar Anda