Melihat Perayaan Ritual Perang Timbung di Desa Pejanggik

Melihat Perayaan Ritual Perang Timbung di Desa Pejanggik
PERANG TIMBUNG: Ratusan warga Desa Pejanggik saat menggelar ritual perang timbung di areal makam Serewa, Jumat kemarin (25/8). (M HAERUDDIN/RADAR LOMBOK)

Ada perang tanpa luka yang dilakukan dengan suka cita di Lombok Tengah. Namanya perang timbung, yaitu perang yang disakralkan masyarakat Desa Pejanggik Kecamatan Praya Tengah dengan menggunakan timbung (jajanan lemang) sebagai amunisinya. Seperti apa?.


M HAERUDDIN – PRAYA


RIBUAN laki-laki bertubuh tegap, jangkung, pendek, kurus, dan gendut berkumpul di luar dan dalam area Makam Serewa (makam Raja Pejanggik dan keluarganya), Jumat kemarin (25/8). Bahkan, mereka tak ubahnya seperti prajurit yang siap berperang. Mereka mengenakan pakain adat yang semakin menunjukkan keperkasaan mereka ala bangsawan. Sementara kerumunan lelaki lainnya menggunakan pakaian hitam seperti kemban.

Tak lupa, mereka dilengkapi bebat pinggang serta sapuk (ikat kepala). Sehingga semakin membuat mereka tampak gagah perkasa bak prajurit betulan. Para kumpulan lelaki ini juga dilengkapi dengan senajatanya berupa jajanan timbung. Begitu tiba waktunya, mereka pun mulai bertempur satu sama lain.

Seperti biasa, ritual ini dilakukan antara dua kelompok yang berada di dalam area makam dan luar. Mereka saling melempar satu sama lain menggunakan jajanan itu. Meski begitu, kesengitan tak dapat hindarkan meski waktunya hanya beberapa menit saja.

Menurut warga setempat, perang timbung ini merupakan ritual untuk menolak balak (bahaya). Ritual itu juga dilakukan untuk mengharap berkah dari Tuhan Yang Maha Esa serta menjalin silaturrahmi dan kerukunan warga antara satu dengan yang lainya tanpa adanya perbedaan. “Perang timbung ini bagi masyarakat Lombok merupakan acara yang ditunggu-tunggu. Karena ada mitos yang berkembang di tengah masyarakat, bahwa ajang perang timbung ini juga sebagai ajang mencari jodoh dan sebagai sarana untuk menentukan hari baik,” ungkap Kepala Desa Pejanggik, Nusilah.

Baca Juga :  Warga Pejanggik Gelar Perang Timbung

Diceritakanya, acara yang dipusatkan di Makam Serewa diikuti mulai dari anak kecil hingga orang tua. Mereka semua memasuki arena pemakaman dan saling lempar menggunakan timbung yang mereka bawa tersebut. Terutama muda-mudi juga ikut keluar untuk berperang. Di mana kebanyakan, momen itulah yang dimanfaatkan untuk saling berkenalan.  

Sebelum dilakukanya perang tersebut, warga juga menggelar prosesi adat. Seperti parade budaya sasak, mengambil air suci di Bale Beleq (rumah besar, red) yang terletak di areal pemakaman di Desa Pejanggik serta prosesi adat lainya. “Perang timbung ini lebih asyik, karena perangnya antara cowok dengan cewek,”ujarnya.

Ia kemudian mengulas sejarah terjadinya  perang timbung tersebut merupakan salah satu fatwa yang dititahkan oleh seorang datu (raja, red) yang berkuasa di sebuah kerajaan yang bernama kerajaan Poh Jenggik (Pejanggik, red). Di kerajaan tersebut, seorang raja yang bijaksana bertahta dengan gelar Datu Dewa Mas Pemban Aji Meraja Kusuma. Kerajaan Pejanggik ini sebuah kerajaan pecahan dari Kerajaan Selaparang yang berpusat di Perigi Lombok Timur.

Baca Juga :  Lestarikan Budaya, Camat Jerowaru Gelar Festival Gangsing

Ketika Raja Dewa Mas sedang bertahta, kondisi kerajaan pada saat itu sedang mengalami adanya kesalahpahaman dan ketidakharmonisan dengan kerajaan pusat yang akibatnya bermuara pada konflik internal kerajaan. “Sebagai seorang raja yang sangat fanatik dengan Islam, maka raja yang arif dan alim ini melakukan persemedian. Di mana dalam semedinya baginda mendapat hidayah yaitu petunjuk bahwa negeri ini akan ditimpa petaka yang dahsyat dan akan mengalami keruntuhan,” ceritanya.

Kemudian sang raja mengakhiri semedinya dengan memanggil seluruh punggawa kerajaan dan semua tabib untuk membahas hasil semedi tersebut. Mereka membahas semuanya berminggu-minggu. Dalam perjalanaya, seorang warga menyarankan kepada raja untuk mengantisipasi semua hal itu dengan menyediakan tumbal. “Namun tumbal di sini adalah membuat ritual tolak bala dengan membuat jajan lemang yang terbuat dari beras pulut/ ketan yang dicampur dengan perasan santan kental dan dibungkus dengan bilah bambu,” paparnya.

Adanya tawaran tersebut langsung diterima oleh sang raja. Raja pun kemudian mengumpulkan rakyatnya dan menceritakan, jika Kerajaaan Pejanggik akan ditimpa bencana. Salah satu cara untuk mengantisipasinya adalah membuat timbung sebagai persembahan kepada Sang Pencipta. “Setelah perang timbung ini, hujan juga akan turun dan warga sudah mulai menggarap hasil pertanianya,” pungkasnya. (**)

Komentar Anda