Komnas Perempuan Atensi Kasus Pelecehan Seksual Oknum Pimpinan Ponpes

Andy Yentriyani (RATNA/RADAR LOMBOK)

MATARAM — Laporan kasus kekerasan seksual cenderung mengalami peningkatan selama 2 – 3 tahun terakhir.

Terbaru, dugaan pelecehan seksual yang dilakukan Pimpinan Pondok Pesantren (Ponpes) di Desa Kotaraja, Kecamatan Sikur, Lombok Timur, juga turut menjadi atensi Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan.

“Kami sudah mendapatkan informasi tentang kasus tersebut, tentunya menjadi perhatian dari Komnas Perempuan. Dan ini akan kami laporkan ke Kementerian Agama,” ungkap Ketua Komnas Perempuan RI, Andy Yentriyani, kepada awak media di Mataram, Rabu (17/5).

Dikatakan Andi dengan adanya kasus dugaan pelecehan seksual yang terjadi di lingkungan ponpes semakin menunjukkan pentingnya pengawasan dari Kemenag terhadap lembaga-lembaga pendidikan berbasis keagamaan.

Seperti diketahui yang pertama mengeluarkan aturan tentang upaya pencegahan kekerasan seksual di lembaga pendidikan keagamaan yakni Perguruan Tinggi adalah Kemenag. Sekarang dengan adanya Undang Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Maka Aturan tersebut juga sudah berlaku sampai ke tingkat Madrasah Ibtidaiyah.

“Karena itu (Ponpes) tidak dibawah rentang kendali Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tetapi Kementerian Agama,” ujarnya.

Menurut Andi pencegahan dan penanganan tindak kekerasan seksual harus betul-betul hadir di lembaga pendidikan keagamaan. Salah satu upaya untuk mencegah terjadinya kasus yang sama terulang kembali. Pertama perlu ada pengawasan di lingkungan lembaga pendidikan. Mulai dari menertibkan administrasi serta pengawasan yang dilakukan secara berkala.

“Jumlah pengawas bisa jadi tidak cukup untuk semua tapi kalau dia secara rutin diperiksa itu bisa dibuat rosternya (daftar),” katanya.

Baca Juga :  Jelang WSBK, PLN Kembali Siapkan Skema Zero Down Time

Andy menambahkan alangkah lebih baik jika masing-masing lembaga pendidikan keagamaan memiliki Satgas Anti Kekerasan seksual yang bisa menjadi wadah dimana korban dapat melapor. Mengingat korban kekerasan seksual yang di Ponpes jarang yang mau melapor dan akan terbongkar apabila korbannya sudah banyak.

“Perlu dipastikan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual hadir di lembaga pendidikan keagamaan. Dan juga membuat ruang melaporkan secara terbuka apakah disediakan semacam hotline. Misalnya ada kawasan zona integritas bebas kekerasan seksual di ponpes,” tandasnya.

Diberitakan sebelumnya Polres Lombok Timur telah menetapkan oknum pimpinan ponpes di Desa Kotaraja Kecamatan Sikur inisial LM (43) sebagai tersangka dugaan pelecehan seksual pada Kamis (4/5/2023). Dia diduga telah melakukan pelecehan seksual kepada sejumlah santrinya sejak tahun 2022.

“Kasus dugaan pelecehan seksual oknum pimpinan ponpes sudah naik ke tahap penyidikan dan terduga pelaku sudah ditetapkan sebagai tersangka,” kata Kasatreskrim Polres Lombok Timur AKP Hilmi Manosoh Prayogi.

Saat ini terang Hilmi, terduga pelaku telah diamankan di Polres Lombok Timur. Selain itu pihaknya juga telah meminta keterangan saksi dan korban. “Terduga pelaku diamankan di rumahnya yang beralamatkan di Desa Kotaraja, Kecamatan Sikur, tanpa adanya perlawanan dari pelaku maupun pihak lain,” beber dia.

Dikatakan modusnya menjanjikan korban masuk surga dan mengatakan bahwa perbuatannya sudah direstui oleh Tuhan. Selain itu, dia juga menyebutkan bahwa antara dirinya dengan korban sudah ditakdirkan untuk bersama. Meski dalam pemeriksaan tak ditemukan adanya janji pernikahan dari terduga pelaku kepada korban.

Baca Juga :  Kampanye di Masa Tenang Terancam Pidana

“Untuk motif sendiri, saat ini masih didalami dan tidak ada iming-iming atau janji dari tersangka untuk menikahi korban. Akan tetapi berdasarkan temuan sementara, kedua korban ini mudah percaya akan kata-kata dari pelaku dan apa yang dilakukan tersebut telah direstui oleh Tuhan.  Yang pasti ketika atau pelaku ini memberikan nasihat para korban sangat mudah percaya,” katanya.

Atas perbuatannya itu pelaku disangkakan melanggar Pasal 81 ayat 2 dan atau ayat 3 dan atau ayat 5 Undang-Undang Republik Indonesia Tahun 2016, tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Selanjutnya  Junto Pasal 6 huruf C Undang-Undang RI Nomor 12 tahun 2022 terang TPKS dengan ancaman 15 tahun penjara.

Menurut Andy masalah kekerasan seksual di lembaga pendidikan membutuhkan penanganan yang sangat serius. Dalam kondisi ini pendampingan terhadap korban menjadi sangat penting.

“Pemerintah Daerah perlu memastikan ada kebijakan bukan sekedar Perdanya (Peraturan Daerah) saja yang tersedia tapi juga sampai kebijakan operasionalnya betul-betul ada termasuk kebijakan anggaran,” tutup Andy. (cr-rat)

Komentar Anda