Anomali Beras Mahal, Padahal Produksi Melimpah

PANEN PADI: Ditengah produksi padi yang melimpah, ternyata harga beras di pasaran masih mahal. Tampak para petani di Dusun Kerujuk, Kabupaten Lombok Utara (KLU), sedang melakukan panen padi di sawah. (DOK/RADAR LOMBOK)

MATARAM — Harga beras di pasaran terpantau tengah mengalami kenaikan. Data Dinas Perdagangan (Disdag) Provinsi NTB, tercatat harga beras premium di pasaran sudah mencapai Rp 17.667 per kilogram (Kg) dan beras medium Rp 16 ribu per Kg.

Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) Provinsi NTB, Muhammad Taufik mengungkapkan mahalnya harga beras di pasaran bukan disebabkan karena harga jual gabah di tingkat petani. Namun menurutnya kenaikan harga beras disebabkan persoalan manajemen pendistribusian.

“Kami ini pingin petani kami hasilnya bagus, produksi meningkat, diikuti harga bagus. Harga bagus kalau parameternya bagus, kalau tekan harga ditingkat petani kesejahteraannya akan berkurang. Sementara mereka berjibaku dengan permasalahan yang ada. Tidak adil bagi kami kalau menekan harga ditingkat petani,” kata Taufik, kepada Radar Lombok, Rabu (21/2).

Mantan Sekretaris Dinas ESDM NTB itu mengatakan bahwa peran Dinas Pertanian bukan untuk mengendalikan harga beras, tetapi hanya sampai pada memproyeksi produksi gabah kering giling. Sebagai informasi produksi gabah kering giling di NTB tahun 2023 sebanyak 1,3 juta ton. Jika dikonversi maka setara dengan 1 juta ton beras. Sementara kebutuhan beras hanya 530 ribu ton. Artinya ada surplus sebanyak 470 ton, sehingga aneh jika produksi tinggi tetapi harga beras mahal.

Baca Juga :  Anggaran Ponpes Belum Bisa Masuk APBD 2023

“Saat ini ada anomali, sementara produksi beras melimpah harga naik. Seharusnya suplay banyak harga beras turun. Tetapi karena NTB sebagai daerah penyanggah ada ketergantungan dari provinsi lain,” terangnya.

“Kalau produksi pertanian pingin harganya itu tetap bagus, artinya mereka (Petani) sejahtera. Mereka mau kirim keluar daerah senang kalau memang harga bagus disana,” sambungnya.

Terkait persoalan ini, pihaknya mengimbau supaya Dinas Ketahanan Pangan dan Dinas Perdagangan NTB mensiasati harga beras yang mengalami kenaikan ini. Pria asal Sumbawa ini menyarankan agar dibentuk suatu lembaga atau badan penyanggah yang khusus untuk produksi pertanian di dalam daerah. Baik dalam bentuk koperasi atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).

Skemanya, badan penyanggah ini akan membeli hasil produksi petani. Untuk kemudian bisa mengamankan ketersediaan barang, sekaligus menjaga stabilitas harga jika sewaktu-waktu terjadi kenaikan harga barang.

“Kalau dibawah harga, maka produksi petani disubsidi. Kalau diatas harga pasar dia mengamankan kebutuhan lokal, sehingga di NTB walaupun dia mahal diluar kita tetap aman,” terangnya.

Gambarannya kebutuhan beras dalam daerah sebanyak 500 ribu ton itu sudah diamankan terlebih dahulu untuk kebutuhan tiga musim tanam. “Berarti kita butuh kurang dari 200 ribu ton beras, jika dikonversi dengan gabah. Artinya ini diamankan lebih dulu, supaya ada stok kita ada dan tidak dibawa keluar semua. Ini fungsinya lembaga penyanggah,” jelasnya.

Baca Juga :  57 Ribu Pekerja Mandiri di NTB tak Dapat BSU

Selain mengamankan stok kebutuhan beras dalam daerah, lembaga penyangga ini juga dapat difungsikan untuk penyedia bibit padi. Pasalnya sebagai daerah penyanggah pangan nasional, NTB belum bisa mandiri dalam penyediaan bibit, yang selama ini masih didatangkan dari Pulau Jawa.

“Kenapa? Karena penangkar-penangkar kita tidak mampu bersaing akibat produksinya kecil. Jadi kita tidak bisa ikut e-katalog. Saya usulkan kalau ada koperasi atau BUMD yang menghimpun penangkar-penangkar kita dan ikut di E-katalog lokal maupun nasional,” tandasnya.

Penjabat Sekda NTB, Ibnu Salim mengatakan Pemprov akan semakin mengintensifkan operasi pasar dan gerakan pangan murah di sejumlah titik didaerah. Hal ini merespon tingginya harga beras di masyarakat, sekaligus upaya menekan harga beras yang masih mengalami kenaikan.

“Operasi pasar kita tingkatkan untuk menstabilkan harga, juga untuk mengantisipasi kenaikan harga bahan pokok,” ungkap Ibnu, yang juga Ketua Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) NTB ini. (rat)

Komentar Anda