Mi6: Hanya Andalkan Medsos dan Tunda Sosialisasi, Cagub Bisa Kehilangan Momentum

Bambang Mei Finarwanto

MATARAM–Munculnya sejumlah poros yang memasangkan dan mematutkan sejumlah figur untuk bertarung dalam Pemilihan Gubernur NTB tahun 2024, disambut baik Lembaga Kajian Sosial Politik Mi6.

Namun diingatkan agar poros dan pasangan figur-figur tersebut, tidak hanya membangun opini di tingkat elite belaka. Apalagi sampai terlalu lama ”testing the water”.

”Terlalu lama “testing the water” bagi kandidat dan pasangan kepala daerah dapat memiliki dampak negatif yang signifikan. Semakin lama kandidat menunda untuk mengambil tindakan nyata, semakin besar kemungkinan mereka kehilangan momentum,” kata Direktur Mi6 Bambang Mei Finarwanto di Mataram, Sabtu (13/4/2024).

Pilkada serentak 2024, kata analis politik kawakan Bumi Gora yang karib disapa Didu ini, kini sudah memasuki tahapan secara resmi. Awal Mei mendatang, penyerahan dokumen untuk persyaratan kandidat perseorangan bahkan sudah dibuka oleh KPU. Sementara pendaftaran resmi kandidat hanya dibuka tiga hari oleh KPU yakni pada 27-29 Agustus 2024.

Karena itu, Didu mengemukakan, kandidat yang terlalu lama hanya melakukan “testing the water” mungkin kehilangan kesempatan untuk membangun dukungan awal yang penting dan memperoleh keunggulan kompetitif di fase-fase krusial.

Seperti diketahui, sejumlah poros kandidat calon gubernur dan wakil gubernur yang digagas berbagai pihak kini sudah mulai dimunculkan ke publik. Misalnya, ada Poros Tengah, yang menggagas tampilnya sejumlah figur nama-nama besar dari Lombok Tengah.

Muncul pula poros yang menempatkan Pj Gubernur NTB HL Gita Ariadi sebagai magnet utama. Ada pula figur-figur lain yang sudah dipasang-pasangkan, seperti HL Pathul Bahri, Bupati Lombok Tengah yang juga Ketua DPD Partai Gerindra NTB, dipasangkan dengan Indah Dhamayanti Putri (IDP) yang merupakan Bupati Bima dan politisi Partai Golkar. Terakhir Poros Suhaili dengan Musyafirin, Iqbal – Rohmi, Iqbal – IDP atau Iqbal – Musyafirin.

Sayangnya kata Didu, berbagai poros dan kandidat tersebut, saat ini hanya masih membangun opini di tingkat elite belaka. Belum terlihat aksi-aksi nyata dari mereka, kecuali cuma masif mengenalkan diri di group-group percakapan aplikasi perpesanan atau juga melalui media sosial. Hal yang dimaknai sebagai upaya sekadar ”cek ombak” atau “testing the water” semata.

”Bicara belaka tanpa aksi nyata yang konkret, hanya akan menimbulkan ketidakpastian di antara pemilih dan pendukung potensial. Ketidakpastian ini malah hanya akan dapat merusak citra kandidat sebagai pemimpin yang tegas dan dapat diandalkan,” tandas Didu.

Dia menekankan, salah satu aspek penting yang harus dilakukan di fase awal pilkada seperti saat ini adalah memperkuat nama kandidat di benak pemilih. Dan terlalu lama menunda-nunda untuk masuk ke arena politik yang sesungguhnya dapat mengurangi jumlah waktu yang tersedia untuk memperkenalkan diri kepada pemilih dan memperkuat identitas dan pesan kandidat.

Baca Juga :  Pileg 2024 akan Diwarnai Rivalitas Kader Ideologis Partai Melawan Diaspora Politik

Belum lagi jika memperhitungkan para pesaing justru sudah selangkah lebih maju. Seperti sudah aktif membangun dukungan, memperkuat basis pemilih, dan mengumpulkan sumber daya. Sehingga kata Didu, terlalu lama menunda aksi nyata dapat memberikan keunggulan kepada pesaing yang lebih proaktif dan dapat mengurangi peluang kandidat yang masih ”testing the water” untuk berhasil.

Didu pun menyarankan, agar poros-poros dan kandidat yang sudah muncul tersebut untuk langsung sosialisasi di tengah-tengah masyarakat, mendatangi mereka, mendengar langsung apa yang mereka inginkan, dan bila perlu dibarengi dengan kegiatan-kegiatan bhakti sosial. Lengkapi pula hal tersebut dengan menyiapkan publikasi baik melalui media luar ruang ataupun media massa.

”Kandidat perlu mempertimbangkan dengan cepat apakah mereka akan mencalonkan diri atau tidak, dan segera mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memulai pengenalan diri secara langsung ke masyarakat,” saran Didu.

Mantan Eksekutif Daerah Walhi NTB dua periode ini menegaskan, semakin cepat keputusan dibuat, maka semakin cepat pula bagi para kandidat untuk membangun tim pemenangan yang kuat, kompeten, dan terorganisir dengan baik. Kaberadaan tim pemenangan ini dapat membantu kandidat untuk segera memulai aktivitas pengenalan diri yang efektif.

Selain itu, strategi kampanye jangka pendek dan jangka panjang juga segera bisa disiapkan. Sebab, sangat krusial bagi kandidat untuk memiliki rencana kampanye yang terstruktur dan terperinci yang mencakup kegiatan jangka pendek dan jangka panjang untuk memaksimalkan dampak kampanye.

”Kandidat harus mulai hadir di acara-acara masyarakat dan memperkenalkan diri kepada pemilih potensial. Inilah cara terbaik bagi kandidat memaksimalkan peluang mereka untuk berhasil dalam kampanye politik dan membangun dukungan yang kuat di masyarakat,” tandas Didu.

Didu tak menampik, bahwa saat ini adalah era digital. Karena itu, pengenalan diri melalui group-group aplikasi perpesanan dan juga melalui media sosial, juga bagian penting dari proses pengenalan diri bagi kandidat.

Namun, ditegaskan analis politik yang dikenal humble ini, dengan langsung sosialisasi di tengah-tengah masyarakat, akan dapat memberikan keuntungan besar bagi kandidat yang ingin memperkenalkan dirinya kepada pemilih.

”Sosialisasi langsung itu tak tergantikan. Karena itu memungkinkan kandidat untuk membangun konektivitas emosional dengan pemilih,” tandas Didu.

Baca Juga :  Mi6: Ucapan Terima Kasih ke Presiden di NTB, Bentuk Politik Etis Saling Memanusiakan

Dengan bertemu langsung, kandidat memiliki kesempatan untuk berbicara secara langsung dengan warga, mendengarkan masalah dan kekhawatiran mereka, serta menunjukkan empati dan pemahaman yang lebih dalam terhadap kebutuhan mereka.

Hal itu kata Didu, dapat menciptakan ikatan yang kuat antara kandidat dan pemilih, yang dalam banyak pengalaman tidak dapat dicapai melalui sosialisasi di media sosial saja.

Kehadiran langsung kandidat di masyarakat juga bisa memberikan kesan bahwa kandidat peduli dan bersedia berinvestasi waktu dan energi untuk mendengarkan dan berinteraksi dengan pemilih. Sehingga, hal tersebut dengan sendirinya dapat membantu membangun kepercayaan pemilih terhadap kandidat, karena mereka melihat kandidat secara langsung dan memiliki kesempatan untuk mengajukan pertanyaan dan mendapatkan jawaban secara langsung.

Di luar itu, sosialisasi langsung memberikan kandidat kesempatan untuk mengatasi ketidakpastian atau mispersepsi yang mungkin ada di antara pemilih. Melalui dialog langsung, kandidat dapat memberikan klarifikasi tentang platform, visi, dan rencana mereka secara langsung, sehingga mengurangi peluang terjadinya kesalahpahaman atau informasi yang salah.

”Berkomunikasi secara langsung dengan masyarakat dapat membangun kepercayaan terhadap kandidat. Jangan lupa, pemilih cenderung lebih menerima dan percaya pada kandidat yang mereka lihat secara langsung dan berinteraksi dengannya,” tandas Didu.

Di samping itu, sosialisasi langsung memungkinkan kandidat untuk memperkuat citra autentik mereka. Sebab, tatkala mereka berbicara secara langsung dengan masyarakat, pemilih dapat menilai integritas dan keaslian kandidat dengan lebih baik daripada melalui media sosial yang sering kali sudah pasti disaring.

Pada saat yang sama, pertemuan langsung dengan kandidat dapat menciptakan pengalaman yang berkesan bagi pemilih. Ini dapat membantu kandidat untuk membedakan diri mereka dari pesaing dan meningkatkan kesan positif yang mempengaruhi pemilih saat mereka pergi ke tempat pemungutan suara.

Dan yang paling penting dari semua itu kata Didu, dengan sosialisasi langsung, kandidat dapat meningkatkan kesadaran pemilih tentang proses politik dan pentingnya pemilihan.

Dengan berinteraksi langsung dengan pemilih, kandidat dapat mendorong partisipasi aktif dalam proses demokrasi, seperti memberikan informasi tentang cara mendaftar sebagai pemilih, mengajak pemilih untuk menggunakan hak pilih mereka, dan meningkatkan pemahaman mereka tentang pentingnya memilih pemimpin yang tepat.

“Tidak ada yang lebih kuat dalam politik daripada momentum. Mereka yang terampil memanfaatkan momentum akan menguasai panggung politik. Momentum itu tak ubahnya peluru ajaib yang mengubah calon menjadi pemenang,” tandas Didu. (rl)

Komentar Anda