Rutgers Indonesia Atensi Tingginya Kasus Perkawinan Anak di NTB

BOGOR — Perkawinan usia dini semakin marak terjadi di tengah masyarakat. Tingginya jumlah perkawinan anak di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), juga menjadi perhatian serius pihak Rutgers (Ruang Temu Generasi Sehat) Indonesia.

Karena itu, Rutgers Indonesia melalui Program Power to Youth berupaya untuk terus bersinergi dengan Pemerintah Provinsi NTB, demi mencegah dan meminimalisir peningkatan kasus perkawinan anak di Bumi Gora (NTB) tersebut.

Manager Program Rutgers Indonesia, Muhammad Rey Dwi Pangestu mengungkapkan bahwa NTB masuk 10 besar kategori provinsi dengan persentase pernikahan anak dibawah umur 18 tahun. Dibawah Sulawesi Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, baru NTB. Kemudian Gorontalo, Sulawesi Utara, dan Bengkulu.

“Namun jika melihat dari segi jumlah perkawinan anak, paling banyak di Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah. Menariknya dalam dua kategori, di persentase dan jumlah absolut, NTB masuk 10 besar dari jumlah perkawinan anak di Indonesia. Dimana Jawa Barat dan Jawa Timur karena populasinya besar,” ungkap Rey, dalam kegiatan pelatihan Jurnalis Muda, diantaranya juga Wartawan dari Radar Lombok, di Bigland Hotel International dan Convention Hall, Bogor, Selasa (7/11).

Rey mengatakan, tingginya praktik perkawinan anak di NTB disebabkan oleh banyak faktor. Diantaranya masalah ekonomi yang rendah, dan kemiskinan, menyebabkan orang tua tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup serta membiayai sekolah anaknya.

Walhasil mereka memutuskan untuk menikahkan anaknya di usia dini, dengan harapan bisa memperoleh penghidupan yang lebih baik. “Padahal sudah banyak penelitian yang mengatakan perkawinan anak tidak mengurangi kemiskinan, malah menambah kemiskinan,” ujar Rey.

Berdasarkan data Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Provinsi NTB, dalam kurun waktu 4 tahun terakhir sejak Januari 2019 sampai April 2022, sedikitnya 2.530 kasus perkawinan anak usia dini yang terjadi di daerah Seribu Masjid tersebut.

Baca Juga :  Hadiri HUT Bhayangkara ke-77, LaNyalla Berharap Polri Tingkatkan Pelayanan

Sementara itu, Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan sudah disahkan pada tahun 2019. Dalam undang-undang tersebut, telah mencantumkan perubahan usia minimal perkawinan dari 16 tahun bagi perempuan, menjadi 19 tahun.

Dalam banyak kasus, pernikahan anak usia dini dimohonkan dispensasinya oleh orang tua, karena anak terlanjur hamil tanpa ikatan pernikahan yang sah sebelumnya.

Bersumber dari Pengadilan Tinggi Agama Provinsi NTB, jumlah pengurusan dispensasi nikah bawah umur selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya. Tercatat sebanyak 710 anak telah mengajukan dispensasi perkawinan di Pengadilan Tinggi Agama Mataram tahun 2022. Data itu dihimpun dari 10 Kabupaten/Kota di NTB.

Jumlah pemberian dispensasi nikah tertinggi ada di Pengadilan Agama Bima yaitu sebanyak 276 anak. Berikutnya Pengadilan Agama Dompu sebanyak 171 anak, Pengadilan Agama Sumbawa 122 anak, dan Pengadilan Agama Praya sekitar 47 anak. Lalu Pengadilan Agama Giri Menang sebanyak 39 anak, Pengadilan Agama Selong 31 anak, dan Pengadilan Agama Taliwang sekitar 21 anak. Sedangkan dispensasi nikah paling sedikit dari Pengadilan Agama Kota Mataram, hanya 3 anak.

“Kita mencoba untuk mencegah perkawinan anak, tapi ada dispensasi yang 90 persen diterima oleh pengadilan agama. Ini salah satu yang kita dorong di tingkat desa dan komunitas kalau bisa jangan diberikan dispensasi atau dihalangi jika ingin nikah siri oleh tokoh agama. Makanya bagaimana Power to Youth menangani hal tersebut,” jelasnya.

Baca Juga :  Tingkatkan Kapasitas Produksi, Sultan Minta Pemerintah Intensifkan Industri Garam Rakyat

Tidak hanya itu, kurangnya pengetahuan tentang resiko kesehatan yang terjadi akibat perkawinan muda, seperti tingginya angka kematian ibu sehabis melahirkan, bayi prematur dan risiko terkena HIV/AIDS, menyebabkan praktik perkawinan anak masih terus terjadi. Seringkali remaja terperangkap pada kehamilan yang tidak diinginkan dan terpaksa diakhiri dengan pernikahan.

Terlepas dari itu, Pemprov NTB telah membuat terobosan sebagai upaya mencegah terjadinya perkawinan anak. Yakni membuat regulasi berupa Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2021 tentang pencegahan perkawinan pada usia anak.

Hanya saja dalam perjalanannya, implementasi UU ini seperti susah untuk diterapkan. Pasalnya, ada tradisi di kehidupan sosial dan budaya yang diyakini masyarakat Lombok yang semakin menambah persentase pernikahan anak di NTB.

“Ada budaya yang di misinterpretasi, yaitu Merarik Kodek yang coba kita dorong untuk dibelas atau dipisah bagi yang sudah dilarikan (pinang, red). Makanya sudah ada Forum Anak Desa dan PATBM (Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat), impelementasi Setara (Semangat Dunia Remaja),” jelas Rey.

Sementara Kepala DP3AP2KB NTB, Dra Nunung Triningsih menimpali berbagai langkah yang dilakukan Pemerintah Daerah untuk menurunkan angka perkawinan anak di NTB. Diantaranya menetapkan regulasi berupa Peraturan Daerah Nomor 5 tahun 2021 tentang Pencegahan Perkawinan Anak dan Peraturan Gubernur Nomor 34 tahun 2023 tentang Rencana Aksi Daerah Pencegahan Perkawinan Anak.

“Sejumlah kebijakan yang telah diimplementasikan di daerah. Pemprov berupaya untuk mengakomodir penanganan dan perlindungan perempuan, terutama berkaitan dengan penegakan hak-hak perempuan di Provinsi NTB.Tapi memang perlu waktu, perlu kolaborasi, sinergisitas semua pihak,” ucapnya. (rat)

Komentar Anda