Problematika Pacuan Kuda (Pacoa Jara) Sebagai Tradisi Masyarakat Bima

Oleh Adi Candra, S.Pt. (Mahasiswa Pascasarjana Prodi Manajemen Sumberdaya Peternakan Fakultas Peternakan Universitas Mataram)

Pacuan kuda atau yang dikenal dengan pacoa jara oleh masyarakat Bima Pulau Sumbawa adalah suatu tradisi yang dipraktekkan dari generasi ke generasi. Kebertahanannya sebagai tradisi tentu saja dikarenakan adanya makna, nilai, fungsi sosial-budaya-politik tertentu yang dapat membantu penganutnya dalam mengarungi eksistensi kehidupannya.

Jika tidak demikian, maka sebelum sempat diwariskan, tradisi tersebut akan ditinggalkan oleh penganutnya. Kuda telah memiliki fungsi yang besar bagi kehidupan masyarakat. Seperti halnya yang telah tercatat dalam sejarah, kuda telah digunakan sebagai alat transportasi, alat pencari nafkah, alat hiburan dan olahraga, serta alat pertahanan keamanan (Wahid, 2011: ix).

Sedangkan dalam kebudayaan masyarakat Bima di Pulau Sumbawa, kuda memiliki arti penting bagi kehidupan masyarakatnya lebih dari sebagaimana fungsinya. Kuda tidak hanya dilihat dari sisi pemanfaatannya baik sebagai hewan peliharaan ataupun sebagai hewan transportasi saja, lebih dari itu kuda merupakan bagian kehidupan sosial masyarakat dan merupakan simbol sosial dan budaya masyarakat bima.

Pada massa kesultanan, kuda dimanfaatkan sebagai alat transportasi untuk mengangkut hasil bumi, bahkan menjadi kendaraan perang pasukan berkuda di Istana Bima. Dalam literatur Bima, naskah kuno, catatan Belanda, hingga dokumen Sultan Muhammad Salahuddin, tidak dijumpai perihal pacuan kuda.

Pada massa itu, hanya ada satu surat dari masyarakat Bima yang meminta Sultan Muhammad Salahuddin menegur panitia lomba yang diadakan oleh belanda agar tidak melaksanakan pacuan kuda yang digelar pada Jumat. Budaya pacuan kuda ini masuk ke nusantara termasuk bima, karena dibawa oleh Belanda.

Budaya ini diterima baik oleh masyarakat bima, bahkan di hari ulang tahun ratu Belanda wilhelmina pada 1927, dirayakan dengan pacuan kuda di mangge maci, Bima. Konon pada masa itu pacuan kuda menggunakan joki dewasa untuk menunggangi kuda. Pada tahun 1942 sejak munculnya jepang di tanah bima, pacuan kuda ini diberhentikan karena adanya perjudian ketika pacuan kuda berlangsung.

Kemudian pada tahun 1947 pacuan kuda bima kembali diadakan dengan menggunakan joki dewasa. Lama kelamaan hal tersebut tergantikan dengan menggunakan joki anak sekitar pada tahun 1960 dan 1970. Sampai sekarang ini pacuan kuda bima (Pacoa Jara) ditunggangi oleh anak-anak yang masih SD, hal ini menjadikan pacuan kuda bima menjadi sesuatu yang unik dan khas.

Tradisi joki cilik ini sudah dilakukan turun temurun, mereka sengaja dilatih sebagai joki dan dikomersilkan oleh orang tuanya, joki cilik mendapatkan upah Rp.50.000 – Rp.100.000 untuk setiap kuda yang ditungganginya. Sementara setiap kali proses latihan mingguan kuda atau ketika event pacuan kuda berlangsung, seorang joki cilik bisa menunggang kuda sebanyak 5-10 kali atau bahkan lebih.

Bahkan ketika kuda yang ditunggani oleh joki cilik mendapatkan juara 1 ketika event pacuan kuda, pemilik kuda akan memberikan nominal yang lebih dari pendapatan joki cilik ketika menunggangi kuda pada latihan mingguan biasa.

Menjadi joki cilik bukan merupakan perkara yang mudah. Mereka ditempa sedemikian rupa oleh orang tuanya sehingga memiliki ketahanan fisik, ketangkasan dan kenekatan jiwa yang melebihi anak-anak seusia mereka. Ketika anak-anak tersebut menjadi joki cilik mereka dibayangi oleh sejumlah resiko dalam pekerjaannya menjadi joki. Mereka harus terbengkalai sekolahnya, menghadapi kekerasan fisik dan mental diarena pacuan kuda, dan resiko kecelakaan. Hal itu belum termasuk jika joki cilik tersebut tidak mendapatkan hasil yang maksimal dalam perhelatan tradisi tersebut. Hal inilah yang membuat fenomena joki cilik menjadi sebuah dilema pacuan kuda sebagai budaya Bima.

Berbeda dengan pacuan kuda pada umumnya yang menggunakan joki dewasa, olahragawan berpakaian lengkap, bersepatu hak, menggunakan helm, dan menggunakan pelana sebagai tunggangan. Joki cilik di pacuan kuda Bima dengan pakaian seadanya, berhelm kecil, tidak menggunakan sepatu, hanya menggunakan kaos kaki bola sebagai pengaman kaki, dan tidak menggunakan pelana. Mereka hanya mengandalkan kekuatan mengapit dengan paha dan ditopang oleh pegangan satu tangan ditali kekang atau surai kuda dan aksesoris yang dikenakan di bagian kepala kuda.

Disela kemeriahan akan terlaksananya pacuan kuda Bima tidak sedikit juga adanya pro dan kontra yang terjadi karena menggunakan joki cilik sebagai penunggang kuda. Hal ini didukung oleh adanya aturan tentang perlindungan anak yang dikeluarkan oleh MUI dengan mengeluarkan fatwa nomor 50/ MUI-KBM/ VIII/ 2023 tentang perlindungan anak dibawah umur. Pro dan kontra terhadap joki cilik ini terus ada ketika event pacuan kuda ingin diselenggarakan, hal ini menjadi dilema dan problematika serius yang harus dilewati ketika ingin mengadakan pacuan kuda.

Pada pacuan kuda Kota Bima panitia menggunakan aturan yang mengelompokan joki cilik sesuai dengan umur mereka untuk menunggangi kelas-kelas kuda yang sesuai dengan umur joki cilik.

“ Ada beberapa masalah yang kita hadapi ketika pacuan kuda kota bima ingin dilaksanakan, yang pertama terkait lahan untuk mengadakan pacuan kuda yang kita sewa, karena masih sebagian milik masyarakat setempat. Kedua kendala di joki, kemarin kita sempat dilarang menggunakan joki cilik, tetapi kami mengatur umur-umur joki cilik untuk menunggang kuda yang sesuai dengan umur joki tersebut” kata panitia penyelenggara pacuan kuda Kota Bima, Rogis Bongkar ( 01/12/2023).

Pacuan kuda bima memang tidak terlepas dari joki ciliknya yang menjadikannya unik dan khas. Terlepas dari masalah-masalah yang ada pacuan kuda bima menjadi hiburan yang populer di kalangan masyarakat Bima. Masyarakat menjadikan pacuan kuda sebagai wahana hiburan yang dapat mereka ciptakan, sebagai pengganti atau sepadan dengan mall, shoping, jogging, dan semacam gaya ala masyarakat perkotaan pada umumnya.

Sebagai budaya, pacoa jara dianggap mampu mempresentasikan banyak hal dari masyarakatnya, termasuk aspek hiburan, gaya hidup dan nilai-nilai tertentu yang menyertai di dalamnya (Wahid, 2011: 165). Bagi masyarakatnya pacuan kuda dapat menjadi sebuah ruang publik bagi bertemunya orang-orang dengan berbagai kepentingan. Pacuan kuda ini menjadi salah satu ruang bertemunya masyarakat diberbagai kalangan, tidak sedikit juga pejabat-pejabat di Nusa Tenggara Barat yang ikut memeriahkan pacuan kuda dengan kuda kepemilikannya.

Pacuan kuda bima dilema terhadap aturan, kedisiplinan penonton dan banyak pemilik kuda yang komplein dengan hadiah yang akan didapatkan. Contohnya pada saat pacuan kuda Kota bima yang diselenggarakan di Sambi Nae Kota bima, permasalahan soal lahan, larangan menggunakan joki cilik, dan penonton yang tidak disiplin. Selain larangan menggunakan joki cilik sebagai penunggang kuda, kedisplinan penonton sangat diperhatikan ketika event pacuan kuda berlangsung.

Penonton atau pemilik kuda yang mengikuti kuda bahkan sampai di dalam arena pacuan yang membuat kuda mungkin akan merasa ketakutan akibat meluapnya penonton yang berada di lintasan arena pacuan kuda. Hal yang perlu diketahui bahwa kuda juga memiliki stresor ( Sifat stres) yang dipengaruhi oleh gangguan dari luar atau perbedaan kondisi lingkungan, jadi ketika banyaknya penonton yang ikut membantu laju kuda bahkan sampai memukul kuda, hal ini secara tidak langsung bisa mempengaruhi stresor pada kuda ketika melaju di arena pacuan kuda.

Untuk itu kedisiplinan penonton bahkan aturan yang mengatur tentang permasalahan tersebut harus diperketat. Problematika ini yang membuat dilema tersendiri untuk melestarikan budaya pacuan kuda bima, Hal ini secara tidak langsung dapat mempengaruhi semangat dan bisa membuat pacuan kuda bima redup. Untuk itu perlu dari kesadaran untuk pecinta kuda di Nusa Tenggara Barat khususnya di Bima agar bisa menjaga budaya pacuan kuda ini.

Kekurangan pasti ada, tafsir berbeda juga tidak bisa dihindari, tetapi diatas semua ini pecinta pacuan kuda harus tetap menjaga dan merawat tradisi besar pacuan kuda ( Pacoa Jara ) yang sudah menjadi identitas budaya bima, sebagaiman slogannya “ INGAT KUDA INGAT BIMA, INGAT BIMA INGAT KUDA” (*)

Komentar Anda