NTB Dapat Tambahan Kuota Jadi 4.786 Jemaah Haji

Sri Latifa (RATNA/RADAR LOMBOK)

MATARAM — Provinsi NTB mendapatkan tambahan kuota jemaah haji untuk tahun 2024 sebanyak 287 calon jemaah haji (CJH). Dengan adanya penambahan kuota ini, maka total jemaah haji untuk Provinsi NTB yang tadinya 4.499 CJH, maka sekarang bertambah menjadi 4.786 CJH.

Ketua Tim Pendaftaran dan Dokumentasi Haji Kantor Wilayah Kemenag NTB, Sri Latifa mengatakan Pemerintah Arab Saudi telah memberikan tambahan kuota jemaah haji untuk Indonesia sebanyak 20 ribu orang. Sesuai kebijakan Menteri Agama, kuota tambahan ini terbagi menjadi dua yakni 10 ribu untuk jemaah khusus, dan 10 ribu lainnya untuk jamaah haji regular.

“Untuk NTB, dari 10 ribu itu mendapatkan tambahan 287 orang (CJH). Pembagiannya itu menggunakan sistem sesuai yang ditetapkan oleh KTT-OKI satu per 1000 jumlah penduduk disini (Indonesia),” kata Latifa kepada Radar Lombok, Rabu (13/3).

Dari 4.786 kuota jemaah haji Embarkasi Lombok, rinciannya sebanyak 4.226 orang adalah kuota untuk jemaah haji reguler, dan 225 jemaah atau setara dengan 5 persen dari total kuota diperuntukkan bagi jemaah haji prioritas Lansia, dan 287 orang merupakan tambahan kuota dari Pemerintah Arab Saudi. Sisanya 36 kuota untuk Petugas Haji Daerah (PHD) dan 12 kuota untuk Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH).

Rencananya jemaah haji embarkasi Lombok akan diberangkatkan dalam 12 kelompok terbang (Kloter) utuh dan satu Kloter gabungan. Haya saja pihaknya belum tahu pasti daerah mana saja yang ikut tergabung dalam Kloter gabungan bersama jemaah haji NTB. “Yang pasti calon jemaah haji yang masuk dalam Kloter gabungan tidak dibebankan lagi biaya tambahan untuk berangkat ke Tanah Suci Mekah,” terangnya.

Surat Istithaah kesehatan menjadi salah satu persyaratan bagi jemaah yang masuk alokasi kuota keberangkatan untuk melunasi Bipih. Bagi calon jemaah haji yang tidak istithah maka yang bersangkutan tidak bisa melakukan pelunasan. “Saya mengharapkan bagi jemaah yang masuk namanya dalam rilis berhak lunas tahap kedua agar segera melakukan pelunasan,” ucapnya.

Terkait maraknya kasus umrah dan haji mandiri atau backpacker yang viral di media sosial. Pemerintah sambung Latifa, melarang jemaah dalam melakukan ibadah haji dan umrah secara mandiri atau backpacker.

Dalam aturan, jemaah haji reguler harus melalui pemerintah, sedangkan jemaah haji khusus melalui PIHK (Penyelenggara Ibadah Haji Khusus). Adapun untuk perjalanan umrah harus melalui Penyelenggara Perjalanan Ibada Umrah (PPIU).

“Kalau ada jemaah yang non kuota pemerintah, itu yang hanya dibenarkan oleh pemerintah yang menggunakan jemaah haji mufrodat dan mujamalah. Karena dia Insha Allah visanya itu visa haji. Kalau ada yang menawarkan haji diluar itu, visanya bukan haji,” ucapnya.

Menurut Latifa, jemaah haji backpacker atau mandiri ini biasanya menggunakan visa ziarah. Dimana mereka tidak langsung diturunkan di Jedah atau Madinah, melainkan di salah satu negara terdekat, untuk kemudian mendapatkan izin masuk ke Mekah.

“Kalau sesuai ketentuan pemerintah, jemaah haji yang masih dibenarkan oleh pemerintah melalui non kuota itu hanya haji Mufrodat atau Mujamalah,” katanya.

Terpisah, Ketua Tim Umrah dan Haji Khusus (UHK) Kanwil Kemenag NTB, Sabaruddin mengingatkan bahwa haji dengan cara backpacker atau mandiri hanya akan menyulitkan diri sendiri. Sebab, berdasarkan undang-undang yang ada, mereka tidak akan diberikan asuransi maupun perlindungan dari pemerintah selama berada di Arab Saudi.

“Adapun pernyataan Menteri Agama tentang backpacker yang menyatakan bisa saja itu terkait dengan perorangan. Tetapi tetap tidak ada perlindungan dari pemerintah, bahkan dari KBRI,” pungkasnya. (rat)

Komentar Anda