Dewan Ingatkan Pj Gubernur Benahi Birokrasi dan Keuangan Daerah

Hasan Mas’at: Pj Gubernur Lebih Baik Bicara Hal yang Produktif

H. Najamuddin Mustafa (Faisal haris/RADAR LOMBOK)

MATARAM — Anggota Komisi I DPRD NTB, TGH Najamudin Moestafa mengingatkan Penjabat (Pj) Gubernur NTB, HL Gita Ariadi untuk bertindak netral dan profesional. Menurut Legislator dari kalangan ulama ini, Pj Gubernur memiliki dua pekerjaan besar, yakni membenahi tata kelola birokrasi yang disebutnya kacau balau, dan tata kelola keuangan daerah yang amburadul.

“Pejabat Gubernur harus netral dan independen. Dia bukan pejabat yang dipilih oleh rakyat secara langsung melalui proses politik. Penjabat Gubernur merupakan birokrat murni, yang hanya sementara mengisi jabatan politik,” kata Najam, kepada awak media, Ahad (1/10).

Politisi asal Lombok Timur ini kemudian mengurai bagaimana wujud birokrasi selama era pemerintahan Zul-Rohmi, yang disebutnya kacau balau. Antara lain dengan banyaknya Staf Khusus (Stafsus) yang diangkat, dan berada di SKPD lingkup Pemprov NTB. Jumlah Stafsus yang lebih dari 40 orang, menurutnya tidak pernah terjadi di era pemerintahan sebelumnya.

Pj Gubernur NTB kata Najam, harus memberhentikan seluruh Stafsus ini. Apalagi keberadaan mereka kini sudah menjadi temuan dan sedang ditelisik oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan NTB. Mengingat anggaran daerah yang dikeluarkan untuk membayar gaji seluruh Stafsus ini cukup besar, mencapai Rp 2,5 miliar setahun. Sementara hasil kinerja dan kemanfaatan tidak jelas dan tidak terukur.

”Hanya di pemerintahan Zul-Rohmi ini ada Staf Khusus yang seabrek-abrek. Karena itu, kita suarakan agar Penjabat Gubernur NTB mengevaluasi dan memberhentikan Staf Khusus tersebut,” tandasnya.

Legislator yang pernah memimpin Badan Kehormatan DPRD NTB ini menegaskan, sebagai birokrat murni yang kini mendapat amanah memimpin daerah, Pj Gubernur tidak perlu balas jasa pada pihak manapun. Karena itu, tidak harus pula muncul rasa sungkan atau ewuh pakewuh untuk memberhentikan Stafsus tersebut.

Bukti berikutnya yang disodorkan Najam, bagaimana ambudarulnya birokrasi NTB lima tahun terakhir, adalahnya apa yang disebutnya terlalu banyak ”Naturalisasi Pegawai”. Pemerintahan Zul-Rohmi katanya, telah membuat jajaran birokrasi Provinsi NTB benar-benar bekerja dengan tidak nyaman. Sebab, Zul-Rohmi mendatangkan begitu banyak pegawai dari kabupaten/kota. Bahkan banyak di antara para pegawai itu yang hanya staf di kabupaten/kota, namun tiba-tiba menjadi pejabat eselon III di Provinsi NTB.

”Birokrasi juga jadi kacau balau dengan banyaknya mutasi yang dilakukan. Catatan kami di Komisi I DPRD NTB, mutasi yang dilakukan sudah 56 kali dalam lima tahun. Itu sama saja, tiap bulan ada mutasi dan pelantikan,” tandasnya.

Najam menegaskan dirinya tidak anti dengan pindahnya pegawai dari kabupaten/kota ke Pemprov NTB. Namun apa yang dilakukan pemerintahan Zul-Rohmi dinilainya sudah di luar nalar, lantaran ”Naturalisasi Pegawai” yang sudah terlalu banyak dan dengan terang benderang, disebutnya mengabaikan System Merit yang merupakan salah satu prasyarat terwujudnya reformasi birokrasi.

Dikatakan, pegawai-pegawai yang merupakan bagian dari ”Naturalisasi” tersebut, sudah teramat biasa bekerja dengan pola pikir lingkup dan skala kabupaten. Sehingga ketika mereka pindah untuk menjalankan tugas dengan level dan skala provinsi, kadang mereka keteteran, atau paling tidak memerlukan waktu yang cukup lama untuk adaptasi dan menyesuaikan diri.

Baca Juga :  Upayakan Kemsikinan Turun 1 Digit Tahun 2023

”Kita minta kepada Penjabat Gubernur untuk mengembalikan pegawai-pegawai hasil ”Naturalisasi” itu. Yang dari Lombok Timur kembalikan ke Lombok Timur. Yang dari Bima kembalikan ke Bima. Dari Dompu, kembalikan ke Dompu. Dari Sumbawa kembalikan ke Sumbawa. Sudah saatnya memprioritaskan pegawai provinsi yang sejak awal pengangkatan mereka memang di provinsi,” tegas Najam.

Masih terkait birokrasi, Najam juga menyoroti masalah tenaga honorer lingkup Pemprov NTB. Komisi I DPRD NTB mendapat informasi yang membuat mata membelalak, bahwa jumlah tenaga honorer di Provinsi NTB mencapai 17 ribu orang.

”Ini benar-benar tidak masuk akal. OPD-nya sedikit, benar nggak jumlahnya segitu. Padahal jumlah pegawai negerinya saja 12 ribu di Pemprov ini, masak jumlah honorernya 17 ribu. Di mana ditempatkan mereka?” tandas Najam.

Terkait tenaga honorer ini, Komisi I sudah mengagendakan rapat kerja dengan Kepala BKD NTB. Surat resmi telah dilayangkan, namun rapat masih harus ditunda lantaran berbagai agenda kesibukan Kepala BKD NTB. Komisi I ingin agar masalah tenaga honorer ini dibuka terang-benderang, dan keberadaan mereka harus diperjelas by name by adress.

Pihaknya sudah terlalu banyak mendengar kabar miring terkait tenaga honorer ini. Ada pihak yang meyakini bahwa ada di antara nama tenaga honorer tersebut fiktif. Sehingga untuk menghindari munculnya syak wasangka, maka data riil by name by adress tenaga honorer ini harus dibuka terang benderang.

”Bayangkan, kalau 1.000 saja merupakan tenaga honorer fiktif. Kalau mereka mendapat gaji Rp 2,5 juta sebulan, berapa banyak uang daerah yang diselewengkan. Itu kalau seribu, bagaimana kalau tiga ribu, bagaimana kalau lima ribu,” tandas Najam.

Dia pun dengan tegas meminta agar Penjabat Gubernur turun tangan dan membantu untuk membuka keberadaan tenaga honorer yang jumlahnya 17 ribu orang ini secara terang benderang. ”Kita minta datanya. Sampai lubang semut pun, kita akan kejar masalah honorer ini agar terang benderang,” tandasnya.

Terkait tata kelola keuangan daerah, Najam memberikan bukti bagaimana amburadulnya. Antara lain terkait munculnya utang Pemprov NTB yang nilainya ratusan miliar kepada kontraktor yang telah menuntaskan pengerjaan proyek milik Pemprov NTB. Bahkan hingga Zul-Rohmi meletakkan jabatan pada 19 September 2023, masalah utang kepada kontraktor tersebut, ternyata belum juga tuntas dan harus diselesaikan oleh Pj Gubernur NTB.

Selain itu, jika benar bahwa jumlah tenaga honorer lingkup Pemprov NTB mencapai 17 ribu orang, maka Najam meyakini gaji tenaga honorer ini sudah pasti akan menyebabkan keuangan daerah terseok-seok. Mengingat jumlah dana yang sangat besar harus disiapkan untuk menggaji mereka.

Setidaknya dengan gaji Rp 2,5 juta tiap orang tiap bulan, maka butuh sedikitnya Rp 42,5 miliar uang daerah untuk mengaji tenaga honorer ini tiap bulan. Yang berarti dalam setahun diperlukan dana sebesar Rp 510 miliar atau setengah triliun.

Baca Juga :  Lima Warga Jadi Korban Dugaan TPPO Tujuan Australia

”Kita minta Penjabat Gubernur untuk jangan ragu-ragu mengungkapkan hal ini. Kita akan memberikan dukungan penuh. Kita akan back up Penjabat Gubernur terkait hal ini,” tegas Najam memberi garansi.

Hal lain yang menyangkut pengelolaan keuangan dan memerlukan penjelasan lebih lanjut kata Najam, adalah Program Beasiswa yang telah digelontorkan pemerintahan Zul-Rohmi dalam lima tahun terakhir. Ratusan miliar uang daerah telah dihabiskan untuk program beasiswa ini.

Kini setelah lima tahun, sudah waktunya pencapaian program beasiswa ini dibuka ke publik. Siapa mereka para penerima beasiswa ini. Setelah mereka lulus, apa peran dan kontribusi para penerima beasiswa ini kepada daerah, harus dibuka secara jelas.

Sebab, ada indikasi para penerima beasiswa ini justru setelah menamatkan pendidikan, hanya banyak berkontribusi kepada lembaga-lembaga yang terafiliasi pada figur dan kelompok-kelompok tertentu.

”Ini baru satu hal yang menyangkut Sumber Daya Manusia saja. Ini saja sudah sedemikian banyak yang menuntut hadirnya penjelasan. Apalagi kalau kami sudah bicara tentang Sumber Daya Alam selama pemerintahan Zul-Rohmi,” tandas Najam.

Sementara Aktivis dan Pekerja Sosial, Hasan Mas’at, ikut menanggapi terkait rencana Pj Gubernur NTB yang hendak menghapus Stafsus Gubernur dan Wakil Gubernur Zul-Rohmi, yang menurutnya itu adalah langkah yang dianggap tidak produktif.

Dia menegaskan, Pj Gubernur akan lebih baik kalau membicarakan hal-hal yang produktif bagi masyarakat NTB. Terutama pada soal disparitas sosial ekonomi, pengembangan usaha, layanan dasar bagi masyarakat, dan terutama penyiapan berbagai piranti demokrasi bagi penyelenggaraan Pemilihan Legislatif (Pileg), Pemilihan Presiden (Pilpres), agar menghasilkan wakil-wakil rakyat dan pimpinan nasional yang kapabel.

“Urusan program lanjutan paket Zul-Rohmi, juga banyak hal yang harus dievaluasi dan dijalankan. Demikian juga soal dorongan partisipasi masyarakat dalam Pemilu, menjaga stabilitas pemerintahan, dan pembangunan yang berkelanjutan, adalah hal-hal yang strategis dengan waktu yang terbatas. Mestinya itu menjadi langkah dan sikap Pj Gubernur NTB,” kritik Hasan.

Baginya itu dirasakan jauh lebih produktif, dibandingkan mengurus Stafsus yang otomatis berakhir dengan sendirinya, setelah pemerintahan paket Zul-Rohmi selesai. Pihaknya menegaskan, bagaimanapun para Stafsus seperti dalam harapan semua pihak, adalah untuk menjadi tim kreatif, alat Monev dan partisipasi publik, yang tentunya dengan segala kelemahan dan kekurangannya.

“Namun dalam pandangan positifnya, Stafsus bisa memberikan pandangan pada kita, bahwa pasangan Zul-Rohmi tidak lupa dengan kawan- kawan dan teman yang membantu dan ikut berjuang bersama mereka. Masih ingat Timses-nya lah, dan itu baik sebagai konsekuensi Pilkada langsung yang tidak bisa menghindari para relawan yang non partisan,” terang Hasan.

Pria yang juga menjadi Ketua Tim Percepatan Pembangunan Daerah (TPPD) Lombok Tengah ini menyarankan sebaiknya Pj Gubernur mengundang atau memanggil para Stafsus, dan meminta pandangan terakhirnya. “Sampaikan terimakasih, toh semua sahabat dan kawan-kawan yang banyak mewarnai dinamika sosial, politik dan pembangunan NTB,” ujar Hasan. (met/rl)

Komentar Anda