MATARAM – Kepergian 14 orang anggota DPRD NTB ke Dewan Pengurus Pusat (DPP) Partai Golkar beberapa hari lalu menyisakan persoalan.
Banyak pihak menilai Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) tidak layak digunakan untuk urusan partai, terlebih lagi yang berangkat adalah para ketua fraksi yang bukan alat kelengkapan dewan. Aktivis Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Ramli meminta kepada aparat penegak hukum untuk mengusut kasus perjalanan dinas dewan tersebut. Apalagi kesannya hanya jalan-jalan saja menghamburkan uang rakyat.
Sampai saat ini, dirinya tidak habis pikir para wakil rakyat berangkat ramai-ramai hanya untuk bertemu dengan Nurdin Khalid selaku Ketua Harian DPP Golkar. Seharusnya hal semacam itu cukup dilakukan oleh pimpinan dewan saja, tidak harus melibatkan semua fraksi. “Dewan-dewan ini semaunya pakai uang rakyat, mereka harus dikasi pelajaran biar jera,” ujar Ramli, Rabu kemarin (1/6).
Meskipun kepergian tersebut berdasarkan kesepakatan, tidak pantas dilakukan. Itu artinya pimpinan dewan dan fraksi telah membuat kesepakatan untuk jalan-jalan yang tentunya melanggar Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Dalam Undang-Undang tersebut dengan tegas disebutkan bahwa uang negara digunakan sebaik-baiknya untuk kepentingan rakyat. Selin itu sifatnya juga berkeadilan. “Nah, apa yang dilakukan dewan ini berlebihan, tidak berkeadilan dan hanya hambur-hamburkan uang rakyat saja,” katanya.
FITRA sendiri tidak perduli para wakil rakyat mau keluar daerah setiap hari, asalkan untuk kepentingan rakyat. Namun apabila hanya sekedar untuk mengurus partai orang, seharusnya menggunakan uang pribadi atau dibiayai oleh pihak lain. “Silahkan kalau mereka mau jalan-jalan, tapi pakai uang sendiri dong. Jangan pakai uang rakyat, pimpinan dewan lalai ini dan penegak hukum harus terlibat.Tidak boleh kita diam-diam saja, ketagihan nanti,” ujar Ramli.
Ketua Badan Kehormatan (BK) DPRD NTB, Busrah Hasan mengaku tidak dilibatkan saat berkunjug ke DPP Partai Golkar. Namun kunjungan tersebut merupakan hasil kesepakatan bersama antara pimpinan dewan dan semua fraksi. “Saya rasa tidak ada yang salah, kan ini kesepakatan,” katanya.
Ia menilai tidak ada aturan yang dilanggar dalam SPPD tersebut karena juga melakukan hal yang sangat penting. Persoalan internal Golkar selama ini seringkali mengganggu kerja-kerja dewan seperti agenda rapat paripurna.
Menurut Busrah, kunjungan tersebut telah membuahkan hasil. DPP Golkar tetap memberhentikan Umar Said apabila memberikan perlawanan atau tidak taat pada partai. “Sekarang kan semuanya sudah jelas, Pak Umar akan diganti jadi ketua,” ucapnya.
Berbeda dengan Busrah Hasan, Sekretaris Fraksi PDIP DPRD NTB, Made Slamet mengkritik ulah yang dilakukan teman-temannya. Sejak awal dirinya tidak sependapat atas keberangkatan ke DPP Golkar. “Penerbitan SPPD yang diterbitkan pihak sekretariat melanggar aturan. Apa hubungannya lembaga DPRD NTB dengan Ketua Umum Golkar Setyo Novanto. Kecuali, jika konsultasi ke kementrian atau lembaga negara. Kok kita urus partai orang dengan uang rakyat, aneh sekali,” kesalnya.
Made mendesak aparat penegak hukum seperti Kejaksaan Tinggi (Kejati), Polda maupun Inspektorat NTB untuk turun melakukan audit. “Tidak boleh didiamkan ini, biar tidak terulang lagi mereka sembarangan pakai uang rakyat,” ujarnya.
Sekretaris DPRD NTB, Ashari mengatakan penertiban SPPD merupakan perintah salah satu pimpinan dewan Mori Hanafi. Alasan penerbitan SPPD karena hasil rapat pimpinan fraksi yang dihadiri juga oleh H Umar Said. “Kami kan hanya melaksanakan perintah pimpinan dewan,” katanya.
Terpisah, Plt Kepala Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan NTB, Wahyu Priyono mengatakan, keberangkatan pimpinan dewan dengan semua fraksi bisa saja melanggar aturan. Tetapi semua itu haruslah dilakukan kajian terlebih dahulu. “Tolong dicatat, kita akan telusuri dan kaji SPPD itu,” ucapnya.
Persoalan SPPD dewan terangnya, bisa diketahui setelah dilakukan kajian mendalam. Data-data seperti bukti pembayaran, bukti berangkat dan lain sebagainya akan ditelusuri. “Masalahnya ini kan karena urusan partai, makanya nanti kita kaji dulu setelah itu baru bisa kita simpulkan apakah itu penyimpangan atau tidak,” terang Wahyu Priyono. (zwr)