Sekolah Perjumpaan Merawat Kebersamaan NKRI

Dilaunching Tiga Tahun Lalu Hingga Saat Ini Masih Eksis

PERTEMUAN: Para tenaga pendidik dan peserta didik Sekolah Perjumpaan saat melakukan pertemuan proses belajar mengajar. Foto ini diambil sebelum ada Pandemi Covid-19. (Lukman/Radar Lombok)

      Maraknya ujaran kebencian dan informasi bohong di linimasa media sosial telah meningkatkan intoleransi di Indonesia. Tingginya keberagaman yang dimiliki Indonesia juga menjadi titik rawan akan sulitnya mengendalikan gesekan konflik masyarakat di media sosial. Salah satu  ancaman nyata yang terjadi dan sangat menonjol saat ini adalah radikalisme dan  terorisme, yang telah mengoyak keutuhan bangsa dan  negara, serta merusak nilai-nilai toleransi yang menjadi ciri khas bangsa.

       Menghadapi persoalan di atas, seluruh elemen masyarakat harus mewaspadainya dan berupaya agar pesan intoleran itu tidak menyebar luas dan memicu tindakan kekerasan. Oleh karena itu umat beragama harus berada dalam satu posisi menghubungkan nilai-nilai keagamaan dengan nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 melalui kearifan lokal, toleransi dan keberagaman .

      Ada langkah menarik yang telah dilakukan Pengurus Besar Nahdatul Wathan (PBNW) bekerjasama dengan Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Provinsi NTB untuk merekatkan anak bangsa, memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesua (NKRI), dan kebersamaan membangun bangsa, yaitu mendirikan Sekolah Perjumpaan.

        Pada waktu itu tanggal 15 Desember 2017, Gubernur NTB,  Dr. TGH. M. Zainul Majdi atau biasa disapa Tuan Guru Bajang (TGB) melaunching  “Sekolah Perjumpaan’’.  Melalui  Sekolah Perjumpaan ia mengajak seluruh masyarakat agar bersama-sama mendukung pelaksanaan Sekolah Perjumpaan tersebut, dan mengingatkan kepada semua masyarakat khususnya para pelajar untuk selalu menerapkan rasa saling menghargai antar sesama. “Toleransi, kejujuran, komitmen dan saling menerima serta rasa rendah hati, bila kalian bawa kemana saja kalian pergi, maka anak-anakku semua akan diterima dimanapun kalian berada,” katanya.

      Ia menginginkan Sekolah Perjumpaan bisa terus mendapat dukungan dari seluruh elemen masyarakat baik dari generasi muda maupun generasi tua. “Semoga melalui pertemuan ini kita bersama-sama bisa saling mengisi dan meyakini bahwa niat yang baik akan mendatangkan kebaikan dan rasa nyaman untuk kita semua,” ujarnya.

         Tuan Guru Bajang yang juga Ketua Umum PBNW mengatakan,  untuk menjaga keragaman dapat dilakukan dengan pendekatan yang bermacam-macam. Keberagaman di dalam beberapa keadaan seringkali menciptakan eksklusivitas di masing-masing komunitas.  Sebagai solusi menjaga dan merawat keberagaman itu, maka Sekolah Perjumpaan ini menjadi solusi mengatasi berbagai sumbatan dan permasalahan keberagaman yang masih dihadapi. Misalnya dengan dengan meningkatkan ruang-ruang perjumpaan di sekolah-sekolah.

     Yang cukup menggembirakan,sejak tiga tahun yang lalu hingga sekarang, Sekolah Perjumpaan masih eksis. Mantan Kepala Bakesbangpoldagri Provinsi NTB, Dr H Lalu Syafi’i MM, mengungkapkan Sekolah Perjumpaan ini sebagai salah satu solusi dari NTB untuk Indonesia dalam merawat kebangsaan. “Sekolah Perjumpaan ini sebagai wadah berdiskusi bertatap muka dari berbagai kalangan untuk menjalin komunikasi dan silaturahmi guna merawat kebersamaan,” kata Syafi’i yang kini menjabat Asisten III Pemerintah Porvinsi NTB.

    Syafi’i menceritakan salah satu bentuk kegiatan konkrit Sekolah Perjumpaan yang dilaksanakan waktu itu adalah kemah kebangsaan. Di kemah kebangsan ini para pelajar dan pemuda dari berbagai kultur dikumpulkan dalam suatu kemah bersama, melakukan kegiatan dan berkomunikasi, membicarakan berbagai kegiatan positif.  Ini adalah untuk menggali titik temu. Sedangkan hal yang berkaitan eksklusivitas yang berkaitan dengan agama masing-masing itu adalah menjadi ranah masing-masing. Hal ini akan membangkitkan saling pengertian dan semangat persaudaraan.

      Di Sekolah Perjumpaan harus ada edukasi. Artinya siapapun saat berjumpa satu sama lainnya hatinya harus bersih, pikirannya harus  bersih, dan menggunakan bahasa-bahasa yang santun, tidak boleh menyinggung perasaan satu sama lain. Perjumpaan itu harus membawa manfaat,  tidak bisa hanya disampaikan melalui informasi atau melalui  instruksi-instruksi saja,  tapi butuh keteladanan dan pendampingan.

        Menurut Syafi’i, ciri dari Sekolah Perjumpaan adalah pertemuan rutin.  Pertemuan itu bisa dilakukan seminggu sekali atau dua minggu sekali oleh kelompok orang yang menginginkan  pertemun bersama dalam suatu perjumpaan. Dalam pertemuan itu lalu diikuti suatu kesepakatan,  misalnya dalam perjumpaan pertama membuat kesepakatan  orang untuk tidak berbohong, jika itu dilakukan secara terus menerus dalam suatu waktu tertentu, maka akan timbul perasaan bersalah kalau telah berbohong. Proses belajar yang ada kebersamaan atau secara kolektif akan memudahkan kita melakukan koreksi diri sehingga pada suatu saat kehidupan itu menjadi suatu watak, karakter dan bisa menjadi suatu peradaban.

         Dalam Sekolah Perjumpaan aka dibimbing oleh seorang relawan dalam setiap pertemuan yang secara sukarela untuk mendampingi pertemuan, sekaligus menginisiasi apa tema pertemuan. Mereka yang menjadi relawan biasanya adalah kalangan anak mahasiswa yang masih mempunyai idialis tinggi. Selanjutnya di dusun-dusun  itu akan muncul warga setempat yang menjadi relawan baru karena sering bertemu, sehingga idialis mereka tumbuh dan ikut menjadi relawan.

        Syafi’i mengatakan sudah ada Sekolah Perjumpaan  di beberapa daerah di NTB,  namun masih dalam skala kecil mulai dari satu desa dan kampung-kampung. ‘’Intinya  komunitas di suatu dusun. Namun dalam suatu dusun saja belum tentu semuanya mau mengadakan Sekolah Perjumpaan. Tapi pertemuan ini akan kita lakukan terus-menerus sehingga kalau ada  pembaharuan inovasi, informasi edukasi dan pembangunan-pembangunan pemerintah bisa dilakukan  dalam pertemuan Sekolah Perjumpaan,’’ katanya.

      Untuk mengubah perilaku masyarakat yang baik melalui Sekolah Perjumpaan diakuinya membutuhkan waktu yang panjang, namun harus diedukasi secara terus menerus hingga tumbuh kesadaran membangun rasa kebersaaman dan rasa solidaritas yang semakin kuat. Lalu kekuatan itu kemudian akan muncul sebagai perasaan cinta pada tanah air dan kepada bangsanya.

        Bisakah menangkis radikalisme melalui sekolah perjumpaan? Syafi’i mengataka bisa saja dilakukan, namun perlu waktu yang panjang untuk membangun rasa nasionalisme bangsa. Yang bisa dilihat sekarang  muncul  beberapa kelompok masyarakat di daerah Dompu, Bima dan Sumbawa Barat yang mengelompokkan dirinya berbeda dalam  berbangsa dan bernegara. ‘’Pandangan itu bisa kita tangkal melalui sekolah perjumpaan yang produktif itu. Hanya saja untuk menghadapi kelompok seperti itu tidak mudah, karena mereka sulit menerima orang di luar kelompoknya. Untuk menyampaikan pesan-pesan pembaruan bisa dilakukan melalui nilai kemanusiaan. Kalau mereka kita dekati dengan baik, maka mereka akan bisa menerima kita dengan baik-baik juga,’’ sebutnya.

         Sementara itu Pakar Sekolah Perjumpaan Dr H Husni Muadz mengatakan, perjumpaan adalah titik temu kemanusiaan. Sekolah Perjumpaan hakekatnya adalah memperkuat titik temu relasi sosial. Manusia hidup biasanya berkelompok kelompok. Ada yang berkelompok menurut keyakinan, suku, asal daerah, keturunan dan lain sebagainya. Demikian juga pergaulan di sekolah-sekolah, bahkan di tiap-tiap kelas, siswa seringkali bergaul dengan membuat kelompok-kelompok yang ekslusif. Misalnya berdasarkan sesama orang kaya, sesama agama, sesama suku dan perbedaan-perbedaan lainnya.

       Mengapa berkelompok, kata ahli filsafat itu, karena ada perbedaan. Tetapi diantara perbedaan itu, sesungguhnya terdapat kesamaan.  Kesamaan itu adalah titik temu kemanusiaan dan inilah yang mempersatukan. Perjumpaan itu sesungguhnya adalah untuk merawat titik temu atau kesamaan. Fungsi perjumpaan adalah sebagai katalis menciptakan hubungan yang saling berterima. Kegiatan tersebut kemudian dilanjutkan dengan sesi dialog. 

     Sekolah Perjumpaan ini pada prinsipnya bertujuan untuk merekatkan anak bangsa, memperkuat NKRI  dan kebersamaan membangun bangsa melalui Sekolah Perjumpaan, yakni sebuah konsep normalisasi menuju relasi sosial yang terbuka, toleran dan saling berterima.

         Sekolah Perjumpaan adalah model pendidikan moral/karakter dengan gerakan populis yang telah melalui eksprimen selama tiga tahun di komunitas-komunitas. Pada beberapa titik di pulau Lombok yang telah berhasil menciptakan relasi sosial yang terbuka, saling berterima dan toleran, dengan mengelola praktik-praktik emotioning dan praktik languaging telah berimplikasi kepada terbangunnya semangat belajar, kepercayaan diri, kepedulian dan kerjasama sosial, toleransi dan visi hidup menjadi orang-orang yang baik.

      Bahkan berdampak langsung terhadap melejitnya prestasi-prestasi akademik siswa di sekolah-sekolah. Praktik-praktik emotioning dan languaging yang dimiliki bersama oleh setiap orang, yang selama ini dikelola dengan baik telah terbukti bisa memberikan fondasi bagi kehidupan yang berkarakter dan berdampak langsung dalam prestasi akademik.

          Menurut Dosen Fakultas Kejuruan Ilmu Pendidikan Universitas Mataram ini  bahwa Sekolah Perjumpaan adalah model pembelajaran nilai-nilai kehidupan yang telah dieksprimentasikan sejak tahun 2013 di 20-an titik yang tersebar di pulau Lombok.  Komunitas-komunitas ini yang menjadi laboraturium pembelajaran masyarakat untuk menciptakan sistem sosial yang terbuka, toleran, dan saling berterima. Lokasi-lokasi tersebut tersebar di beberapa titik di Kecamatan Labuapi, Lembar, Praya, Mantang, Mataram, Gunung Sari (tiga titik) di Mantang, dan Narmada.

      Dijelaskannya, perjumpaan itu sesungguhnya adalah untuk merawat titik temu atau kesamaan. Manusia dalam persepektif kedalaman memiliki nilai-nilai moral kemanusiaan, juga terdapat sifat-sifat mahluk hewani  dan nilai-nilai materi. Dalam interaksi sosial, seringkali penghargaan terhadap sesama menjadi berkurang karena lebih menonjolkan nilai materi. Ia menjelaskan institusi titik temu kemanusiaan adalah perjumpaan. Oleh karenanya, dalam interaksi sosial terdapat tiga hal yaitu, perjumpaan, keadaan  hati dan berbahasa.

          Pada setiap perjumpaan akan melahirkan keadaan hati yang baik. Ada dua dimensi yang terjadi dalam setiap perjumpaan,yakni positif dan negatif. Karena berbahasa dan perjumpaan tidak bisa dihindarkan, maka perlu dibangun semangat saling menghormati, kejujuran, toleransi, saling mengingatkan dan saling berterima. Bahasa menunjukkan nilai nilai moral seseorang. Bahkan juga mencerminkan keadaan hati, perasaan, pikiran, kebahagiaan dan niat. Tujuan berbahasa tadi adalah membangun hubungan saling berterima, saling menghargai dan menghormati satu sama lain. Karenanya diperlukan  praktek bersama untuk berbahasa yang baik. Diperlukan gerakan pembelajaran moralitas dalam berbahasa sebagai wujud pembangunan nilai nilai moral. (luk)

Komentar Anda