Pengaturan Proyek Ala Eks Wali Kota Bima, Istri dan Adik Ipar

SIDANG PERDANA: Eks Wali Kota Bima 2018-2023, Muhammad Lutfi menjalani sidang perdana di PN Tipikor Mataram, dengan agenda pembacaan dakwaan dari jaksa penuntut KPK. (ROSYID/RADAR LOMBOK)

MATARAM — Sidang perdana kasus korupsi eks Wali Kota Bima tahun 2018-2023, Muhammad Lutfi digelar Senin (22/1). Dalam sidang dengan agenda pembacaan dakwaan, dua nama yang selalu disebut jaksa penuntut dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yaitu Ellya istrinya Lutfi, dan adik iparnya Muhammad Maqdis.

Ellya dalam kasus dugaan suap dan gratifikasi pengadaan barang dan jasa di lingkup Pemerintah Kota (Pemkot) Bima yang menjerat suaminya itu, berperan aktif untuk mengkondisikan sejumlah proyek yang diberikan ke Muhammad Maqdis, yang tak lain adik dari istrinya, Ellya.

“Terdakwa memiliki adik ipar bernama Muhammad Maqdis sebagai kontraktor,” kata Andi, mewakili jaksa penuntut dari KPK, membacakan dakwaan di ruang sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Mataram pada Pengadilan Negeri (PN) Mataram.

Bersama istrinya, Muhammad Lutfi memberikan fasilitas dan pengaruhnya terkait pengadaan barang dan jasa yang ada di Pemkot Bima untuk Muhammad Maqdis. “Sehingga mendapatkan paket-paket pekerjaan,” sebutnya.

Fasilitas yang diberikan ke Muhammad Maqdis berupa rumah pribadi yang juga rumah dinas. Itu ditempati Muhammad Maqdis, dan dijadikan sebagai kantor perusahaannya, PT Risalah Jaya Konstruksi. Rumah itu sering digunakan untuk membahas terkait paket pekerjaan di lingkup Pemkot Bima, agar dapat dikerjakan Muhammad Maqdis melalui perusahaanya maupun meminjam perusahaan lain. “Diawali dengan terdakwa meminta list dan rekapitulasi pengadaan secara langsung maupun tender di Pemkot Bima,” katanya.

Setelah itu, terdakwa mengisi nama-nama atau perusahaan yang akan melaksanakan proyek di lingkup Pemkot Bima. Atas jabatannya itu, perusahaan yang sudah masuk dalam daftar list pengerjaan proyek dimenangkan. “Yang sesungguhnya itu dikendalikan Muhammad Maqdis,” ujarnya.

Salah satu yang datang menemui terdakwa ke rumah pribadinya ialah Zafran, salah satu tim pemenangan terdakwa pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kota Bima 2018 lalu. Kedatangan Zafran untuk menagih proyek yang telah dijanjikan.

Namun terdakwa saat itu mengarahkan Zafran untuk menghadap ke istrinya, Ellya. “Untuk proyek, nanti tanyakan saja ke Ellya, dia (Ellya) yang mengatur proyek,” beber jaksa menirukan perintah terdakwa, saat membacakan dakwaan. Kendati masuk dalam tim pemenangan, Zafran memberikan uang senilai Rp 100 juta ke terdakwa agar mendapatkan proyek. “Namun akhirnya Zafran tidak mendapatkan pekerjaan,” ungkapnya.

Tidak hanya Zafran, ada nama Rizal Afriansyah juga mendatangai terdakwa untuk meminta proyek. Lagi-lagi terdakwa diarahkan bertemu dengan istrinya, Ellya dan adik iparnya Muhammad Maqdis. Dimana Muhammad Maqdis menghubungi Rizal agar datang ke rumahnya, beralamatkan di Lingkungan Karang Dima, Kelurahan Asakota untuk membahas proyek pengadaan.

Pertemuan itu, Muhammad Maqdis meminta agar Rizal menunjukkan perusahaan yang bergerak di bidang listrik dan penerangan jalan. Rizal pun memberikan perusahaan bernama CV Duta Layar. Perusahaan yang lolos kualifikasi, miliknya atas nama Hadijah. “Syarat pinjam bendera dilakukan dengan membayar fee senilai 3 persen, dan langsung disetujui Muhammad Maqdis,” ungkap dia.

Pengerjaan proyek tersebut, menggunakan anggaran yang bersumber dari Dana Alokasi Umum (DAU) pada akhir tahun 2018, dengan nilai kontrak Rp1,490 miliar. Terdakwa kemudian meminta Kepala Dinas PUPR Kota Bima, Muhammad Amin untuk membuat daftar list sejumlah proyek pekerjaan yang ada di Dinas PUPR Kota Bima, tahun anggaran 2019. “Daftar list yang kosong kemudian digunakan terdakwa mengisi nama-nama pihak yang digunakan oleh Muhammad Maqdis sebagai pemenang di proyek tersebut,” tuturnya.

Baca Juga :  Dinsos Ragukan Data Kemiskinan BPS NTB

Setelah mendapatkan list sejumlah proyek pekerjaan, Muhammad Maqdis meminta konsultan bernama Jamaludin untuk mencari perusahaan untuk dipinjam. Hal itu dilakukan agar bisa mengerjakan sejumlah proyek pengadaan yang ada di Pemkot Bima. “Setelah proses itu, terdakwa meminta Muhammad Amin untuk datang ke rumah dinas dengan memberi nama orang yang akan mengerjakan proyek tersebut,” katanya.

Di dalam dakwaan jaksa penuntut lainnya, terdakwa disebut mengendalikan sebanyak 15 proyek fisik pada dinas yang ada di Pemkot Bima untuk tahun 2019. Atas perbutan terdakwa, tidak hanya memperkaya diri sebagai Wali Kota Bima, tapi juga memperkaya orang lain atas jabatannya.

“Terdakwa dalam jabatan Wali Kota Bima telah memperkaya diri dan orang lain, dengan menerima gratifikasi Rp1,95 miliar pada sejumlah pelaksanaan proyek pengadaan barang dan jasa pada Pemkot Bima,” cetus jaksa penuntut.

Penerimaan uang Rp 1,95 miliar itu, jaksa menyebut bahwa terdakwa tidak melaporkannya ke LHKPN (laporan harta kekayaan penyelenggara negara). Dan itu menyalahi aturan. “Penerimaan itu tidak ada alas hak yang berdasarkan hukum,” tegas jaksa penuntut.

Sebanyak 15 proyek yang diungkap jaksa penuntut itu, berada pada  Dinas PUPR, DAP3KB, Dinas BPBD, dan Dinas Perindustrian Kota Bima. Proyek-proyek yang di bawah kendali terdakwa tidak dilakukan sendiri. Melainkan juga ada keterlibatan istrinya, Ellya dan adik iparnya Muhammad Maqdis.

Selain keterlibatan dari pihak keluarga, terungkap juga peran sejumlah pejabat Pemkot Bima. Seperti Muhammad Amin selaku Kepala Dinas PUPR Kota Bima, Iskandar Zulkarnain selaku Kepala Bagian Lembaga Pengadaan Barang dan Jasa Pemkot Bima, Agus Salim selaku Kepala Bagian Layanan Pengadaan Barang dan Jasa Pemkot Bima tahun 2021-2022, dan Farhad yang menjabat sebagai Kabid Cipta Karya pada Dinas PUPR Pemkot Bima. “Jadi Muhammad Maqdis sering melakukan pertemuan dengan Farhad yang merupakan orang kepercayaan terdakwa,” katanya.

Jaksa menyebut, Muhammad Maqdis dan Farhad merupakan ‘wali kota kecil’ untuk membahas dan mengatur proyek-proyek pada dinas Pemkot Bima. Selain dua orang itu, di ‘wali kota kecil’ itu juga masuk namanya Kepala Unit Layanan Teknis Balai Pengujian Material PUPR Kota Bima, Rizal Alfiansyah.

Adapun 15 proyek yang dikendalikan terdakwa melalui istrinya Ellya, yang dikerjakan atau di ploting ke adik iparnya Muhammad Maqdis. Antaranya, pekerjaan pembangunan jalan lingkungan Oi Fo’o II pada Dinas BPBD Kota Bima, dengan nilai kontrak Rp 10,2 miliar menggunakan perusahaan PT Risalah Jaya Kontruksi. Pelebaran jalan Ennungga Olo Wedu Bidang Bina Marga Dinas PUPR. “Dengan nilai kontrak Rp 6,7 miliar menggunakan perusahaan PT Risalah Jaya Kontruksi,” katanya.

Pekerjaan pembangunan jalan lingkungan Oi Fo’o I pada Dinas BPBD Kota Bima dengan nilai kontrak Rp 5,3 miliar menggunakan PT CV Nawi Jaya. “Selanjutnya pengerjaan jalan lingkungan perumahan Jati Baru pada Dinas BPBD Kota Bima dengan nilai kontrak Rp 1,36 miliar menggunakan CV Zhafira Jaya,” bebernya.

Baca Juga :  Tarif Penyeberangan Pelabuhan Lembar Naik Agustus 2023

Kemudian pengadaan listrik dan PJU di jalan lingkungan Oi Fo’o II Kecamatan Rasanae pada Dinas BPBD Kota Bima dengan nilai kontrak Rp 1,9 miliar menggunakan PT Bali Lombok Sumbawa. Pengadaan listrik dan PJU perumahan Oi Fo’o I Kecamatan Rasanae di Dinas BPBD Kota Bima dengan nilai kontrak Rp 912 juta menggunakan CV Buka Layar. “Dan juga pengadaan listrik dan PJU perumahan Jati Baru di Dinas BPBD Kota Bima dengan nilai kontrak Rp 615 juta menggunakan CV Buka Layar,” lanjut jaksa penuntut.

Pengadaan lampu jalan Kota Bima pada Dinas PUPR Kota Bima dengan nilai kontrak Rp 1,4 miliar menggunakan CV Cahaya Berlian milik kakak kandung Muhammad Maqdis, yang juga adik dari Ellya. Ada juga proyek SPAM Kelurahan Paruga pada Dinas PUPR Kota Bima dengan nilai kontrak Rp 571 juta menggunakan CV Nawi Jaya.

Selanjutnya, pengerjaan SPAM Kelurahan Tanjungan Rasanae Barat pada Dinas PUPR Kota Bima dengan nilai kontrak Rp 476 juta menggunakan CV Temba Nae. Pengerjaan SPAM Kelurahan Pane di Dinas PUPR Kota Bima dengan nilai kontrak Rp 286 juta menggunakan CV Indo Bima Mandiri. Pengerjaan SPAM Rasanae di Dinas PUPR Kota Bima dengan nilai kontrak Rp 384 juta menggunakan CV Mutiara Hitam.

Kemudian pengadaan mobil unit penerangan MUPEN di Dinas DP3AKB Kota Bima dengan nilai kontrak Rp 787 juta menggunakan CV Voni Perdana. Pengadaan sarana dan prasarana sidang Terra di Dinas Perindustrian Kota Bima dengan nilai kontrak Rp 562 juta menggunakan CV Yuanita. “Terakhir, pekerjaan rehabilitasi BI pada Dinas PUPR Kota Bima dengan nilai kontrak 990 juta menggunakan CV Brilian,” katanya.

Paket pekerjaan yang dikerjakan perusahaan tersebut, terdapat ada yang tidak  sesuai. Proyek-proyek yang dikerjakan atau di ploting untuk Muhammad Maqdis tersebut, dalam pelaksanaannya selalu dibantu Rizal Afriansyah. “Dalam hal penyewaan alat berat dan truk, serta lainnya,” tandas jaksa.

Atas perbuatan terdakwa, jaksa penuntut menetapkan perbuatan terdakwa telah melanggar Pasal 12 huruf i dan/atau Pasal 12B juncto Pasal 15 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP.

Usai mendengar jaksa penuntut membacakan dakwaannya, terdakwa melalui penasihat hukumnya, Abdul Hanan menyatakan pihaknya tidak akan mengajukan eksepsi. “Tidak mengajukan eksepsi yang mulia, kami minta jaksa penuntut untuk langsung menghadirkan saksi dalam persidangan selanjutnya,” timpal Hanan, menjawab pertanyaan majelis hakim yang diketuai Putu Gde Hariadi.

Ketua Majelis Hakim pun akan mengagendakan sidang selanjutnya dengan pemeriksaan saksi dari jaksa penuntut. Sidang selanjutnya akan dijadwalkan pekan depan. “Sidang selanjutnya dengan agenda pemeriksaan saksi dari penuntut umum akan digelar Senin (29/1) mendatang,” tutup hakim, sambal mengetuk palu tanda persidangan dinyatakan selesai. (sid)

Komentar Anda