Pemprov Awasi Ponpes Terindikasi Anut Paham Radikalisme

Ruslan Abdul Gani (RATNA/RADAR LOMBOK)

MATARAM — Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB melalui Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Dalam Negeri (Bakesbangpoldagri) tengah melakukan pengawasan terhadap sejumlah pondok pesantren (Ponpes) yang teridentifikasi menganut paham radikalisme.

“Ada beberapa Ponpes yang kita awasi. Tidak sampai belasan, hanya kurang dari lima. Namun yang jelas kita pencegahan,” ungkap Kepala Bakesbangpol NTB, H. Ruslan Abdul Gani, saat ditemui di Mataram, kemarin.

Gani sapaan akrab mantan Kepala Biro Hukum Setda NTB ini enggan menyebut secara rinci Ponpes mana saja yang tengah diawasi Pemprov, karena mengajarkan paham radikalisme. Namun lokasi Ponpes itu disebut-sebut berada di Lombok Timur dan Kabupaten Bima.

“Di Bima memang iya. Itu yang betul-betul kita atensi. Kalau Lombok Timur itu bukan asli orang Lombok Timur. Dia pendatang dari luar, kebetulan ngontrak. Tadi juga itu saya sampaikan dalam pertemuan,” katanya.

Biasanya pondok pesantren ini membentuk sistem pendidikan tersendiri. Misalnya untuk jenjang Sekolah Dasar, hanya menempuh pendidikan dalam kurun waktu lima tahun. Selanjutnya SMP dan SMA masing-masing selama dua tahun. Dimana model pendidikan ini tidak sesuai dengan ketentuan Pemerintah.

“Dia buat sekolah sendiri, dan pendidikan yang ditempuh juga diluar yang dilakukan Pemerintah. Kalau biasanya SMP tiga tahun dan SMA tiga tahun, maka dia cuma dua tahun gitu,” bebernya.

Baca Juga :  Tahun 2024 Pemprov NTB Butuh 2.232 CPNS

Maka dari itu, Pemprov NTB bersama dan Pemerintah Pusat berupaya bagaimana supaya para pelajar pondok pesantren ini masuk ke Sekolah Umum atau Negeri, demi menghindari penyebaran paham radikalisme berkembang di tengah-tengah masyarakat.

Salah satu upaya untuk menekan rantai penyebaran paham radikalisme adalah melalui Program Jumat Salam yang diinisiasi Penjabat Gubernur NTB, Lalu Gita Ariadi. Terutama bagaimana agar sosialisasi terkait paham radikalisme ini menyentuh masyarakat sampai ke desa-desa. “Itu juga kita rancang program Jumat Salam, bagaimana betul-betul tepat sasaran. Jadi kita ke pondok-pondok itu,” ujarnya.

Kendati demikian, Ruslan mengklaim bahwa kegiatan tindakan terorisme di NTB sudah jauh menurun. Bahkan indeks kasus terorisme di NTB statusnya bukan merah lagi, melainkan sudah hijau. Terbukti tahun 2022 kasus terorisme turun menjadi 85 persen, lalu diakhir 2023 ini sudah turun menjadi 65 persen.

“Kegiatan-kegiatannya itu boleh dikatakan sudah tidak ada. Makanya jarang sekali kita dengar kasus pengeboman dan kekerasan dan sebagainya,” jelasnya.

Terpisah, Kepala Kanwil Kemenag NTB, Zamroni Aziz buka suara terkait banyaknya Ponpes yang diselipkan ajaran-ajaran radikalisme. Dia mengaku pihaknya bersama Kanwil Kemenag Kabupaten/Kota dan juga BNPT masih melakukan pengecekan terhadap Ponpes yang diduga menyebarkan ajaran sesat tersebut.

Baca Juga :  Puncak Varian Baru Covid-19 Diprediksi Juli

“Kita masih cek apakah itu terdata di kami atau tidak. Ketika itu tidak terdata di kami, maka itu bukan menjadi tanggung jawab kami,” katanya.

Zamroni mengklaim kasus penyebaran paham radikalisme di lingkungan Ponpes di NTB relatif masih stabil. Meski begitu, pihaknya menyatakan tetap melakukan koordinasi dengan Ponpes tersebut, guna memberikan pemahaman pada mereka bahwa pembentukan Ponpes harus atas izin Pemerintah.

Dia tidak ingin memberikan ruang bagi mereka yang bekedok ponpes atau lembaga pendidikan, namun sudah keluar dari aturan yang ditetapkan Pemerintah. “Kami dengan TNI, Polri dengan BNPT serta BIN, kalau ada laporan paham-paham dari pondok pesantren ini tentu jadi PR kami,” jelasnya seraya menambahkan, kalaupun ada ditemukan Ponpes yang terbukti menyebarkan paham radikalisme, maka dipastikan itu oknum, karena tidak tercatat di Kanwil Kemenag NTB.

Seperti diketahui, syarat untuk mendirikan Ponpes itu sangat banyak. Diantaranya terdapat sistem pendidikan formal, santri dan santri yang mondok. Lalu ada kyai yang mengajar, serta ada regulasi dimana Ponpes ini harus menerapkan kurikulum yang ditetapkan pemerintah. “Kalau keluar dari itu, maka bukan bagian dari Pondok Pesantren,” pungkasnya. (rat)

Komentar Anda