Kebijakan Masuk Sekolah Pukul 5 Pagi bagi Siswa SMA: Resmi Dicabut!

Andri Suherman (Dosen Universitas Hamzanwadi). (IST FOR RADAR LOMBOK)

Oleh: Andri Suherman (Dosen Universitas Hamzanwadi)

Beberapa waktu lalu, tersiar kabar tentang kebijakan masuk sekolah mulai pukul 5 pagi di provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Tepat pada tanggal 23 Februari 2023, Gubernur NTT yang bernama Victor Bungtilu Laiskodat menetapkan aturan masuk sekolah pukul 5 pagi di tingkat SMA sederajat.

Hal itu disampaikan olehnya pada waktu mengadakan rapat dengan beberapa kepala sekolah pada  Kamis, 23 Februari 2023 dan terekam dalam sebuah video dengan durasi 1 menit 43 detik yang viral selama beberapa hari di jagat maya.

Beberapa media asing seperti South China Morning Post (SCMP) dan the Guardian turut memuat berita ini sebagai headline. Media-media tersebut tidak sedikit yang membandingkan antara aturan masuk sekolah pukul 5 pagi buatan Gubernur NTT dengan sekolah-sekolah di Amerika, Eropa, dan negara Asia lainnya yang sebagian besar menerapkan aturan masuk sekolah di atas pukul 7 pagi.

Namun demikian, aturan dari Gubernur NTT tersebut kini sudah dihentikan. Tepat pada 21 September 2023 lalu, Penjabat Gubernur NTT, Ayodhia Gehak Lakunamang Kalake resmi mencabut aturan masuk sekolah mulai pukul 5 pagi untuk siswa SMA sederajat di Provinsi NTT. Apa sebenarnya yang melatarbelakangi dibuatnya aturan tersebut? Dan bagaimana pendapat masyarakat tentang aturan tersebut?

Siswa Sudah Semestinya Dilatih Bangun Pagi

Seperti yang termuat di bdanyak saluaran berita, Gubernur Victor Bungtilu Laiskodat dalam keterangannya menyatakan bahwa siswa memang seharusnya dibiasakan untuk bangun lebih pagi. Tujuannya adalah dalam rangka mengasah kedisiplinan dan etos kerja para siswa. Ditambahkan pula bahwa aturan ini memang akan terasa berat tapi harus ada pengorbanan sebelum adanya perubahan. Kebijakan ini pun akhirnya sudah diterapkan di beberapa sekolah di NTT termasuk di antaranya adalah SMAN 1 Kupang dan SMAN 6 Kupang.

Dari beberapa pendapat yang disampaikan oleh Gubernur NTT tersebut, dapat diasumsikan bahwa dia sepertinya sudah lama ingin menerapkan aturan yang sah terkait jam masuk sekolah sebagai salah satu cara untuk meningkatkan kedisplinan siswa. Namun demikian, keputusan sepihak yang dibuatnya telah menimbulkan protes dari publik. Kebanyakan protes tersebut berkaitan dengan masalah kesehatan siswa dan dukungan sosial.

Dampak Buruk Masuk Sekolah Terlalu Pagi

Menutur beberapa sumber, masuk sekolah terlalu pagi memiliki dampak buruk bagi siswa. Contoh, dari laman Centers for Disease Control and Prevention (CDCP), disebutkan bahwa menurut penelitian yang dipublikasikan oleh American Academy of Pediatrics, waktu belajar yang ideal bagi siswa menengah pertama dan atas adalah sekitar pukul 8.30 pagi. Sehingga siswa memiliki waktu yang cukup untuk istirahat di malam harinya.

Jika siswa dipaksa untuk belajar mulai pukul 5 pagi, maka tentu akan berdampak negatif bagi kualitas tidurnya. Penelitian lain yang dimuat pada Journal of Clinical Sleep Medicine melaporkan bahwa durasi tidur yang ideal bagi remaja usia 13 hingga 18 tahun adalah sekitar 8 hingga 10 jam per hari. Kurang dari itu, akan memberikan dampak buruk bagi kesehatan tubuh.

Dampak buruk tersebut bisa meliputi kelebihan berat badan atau obesitas, munculnya perasaan depresi, penurusan prestasi akademik, dan munculnya perilaku buruk seperti merokok, konsumsi minuman keras dan obat-obatan terlarang. Tanggapan lain muncul dari Ketua IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia), dr. Piprim Yanuarso yang mengatakan bahwa aturan masuk sekolah terlalu pagi mestinya memperhatikan dua prinsip penting, yakni waktu tidur dan dukungan sosial.

Terkait waktu tidur, tentu siswa harus dipastikan mendapatkan waktu yang cukup untuk tidur di malam harinya sekitar 8 hingga 10 jam. Selain itu, dukungan sosial juga mesti diperhatikan terutama dari keluarga dimana pihak keluarga harus mampu menciptakan lingkungan yang mendukung dengan turut mengubah pola tidur anggota keluarga.

Selain itu, akademisi Univeristas Nusa Cendana, Marsel Robot memberikan tanggapan dengan mempertanyakan alat ukur yang dipakai dalam aturan buatan Gubernur NTT tersebut. Dikatakan olehnya bahwa harus jelas berapa lama uji coba masuk sekolah pukul 5 pagi tersebut akan diberlakukan dan apa alat evaluasinya. Hal ini juga didukung oleh Ketua Komisi V DPRD NTT, Yunus Takandewa yang menyebutkan bahwa kebijakan masuk sekolah pukul 5 pagi berpotensi akan menimbulkan rasa terpaksa dan beban psikologis bagi siswa.

Dari beberapa pendapat di atas, kita bisa asumsikan bahwa para pihak tersebut menentang kebijakan Gubernur NTT yang menetapkan aturan masuk sekolah mulai pukul 5 pagi.  Meskipun mereka dapat memahami maksud dari aturan tersebut demi kedisiplinan siswa, mereka sepertinya masih mengkhawatirkan dampak negatif yang akan dirasakan siswa jika aturan itu akan tetap diberlakukan sehingga perlu ditinjau ulang.

Jadi, Mesti Masuk Sekolah Pagi atau Tidak?

Terlepas dari kontroversi yang muncul di kalangan publik, kebijakan masuk sekolah pukul 5 pagi bagi siswa SMA sederajat buatan Gubernur NTT tersebut kini telah dihapuskan. Hal ini dilakukan oleh Penjabat Gubernur NTT, Ayodhia Gehak Lakunamang Kalake pada 21 September 2023 lalu. Ini artinya bahwa semua sekolah di NTT, terutama di Kupang, kembali memulai waktu belajar pukul 7 pagi.

Jika sebuah sekolah ingin menerapkan aturan masuk lebih pagi, apakah sekolah tersebut sudah punya alasan dan alat evaluasi yang jelas? Tentu ini tergantung dari masing-masing sekolah. Di Provinsi Nusa Tenggara Barat, semua sekolah mulai dari jenjang SD hingga SMA rata-rata mulai waktu belajar pukul 7 pagi. Jika ingin menerapkan aturan waktu belajar pukul 5 pagi seperti di provinsi NTT, tentu butuh kesepakatan dari semua pihak.

Namun demikian, alasan dan alat evaluasi dari aturan tersebut mesti dijabarkan dengan jelas sehingga tidak menuai pro kontra. Apakah aturan semacam itu tidak mungkin diterapkan? Tentu saja jawabannya ada pada pengambil keputasan di mana sekolah itu berada. Tidak mutlak aturan masuk sekolah pagi seperti di NTT tersebut mesti diterapkan, tetapi juga bukan tidak mungkin untuk dicoba. Dan ini sekali lagi jawabannya ada pada pengambil keputusan di daerah tersebut, dan tentu saja harus melalui persetejuan semua pihak agar tidak terjadi kontroversi di kalangan publik. (*)

Komentar Anda