PPK Hendak Klaim Uang Jaminan, Direktur GKN Minta Perpanjangan

Sidang Korupsi Pengerukan Kolam Labuh Labuhan Haji

SIDANG: Terpidana Nugroho dihadirkan bersaksi dalam sidang korupsi proyek penataan dan pengerukan kolam labuh dermaga Labuhan Haji, Lotim di Pengadilan Tipikor PN Mataram, Kamis (22/2). (ROSYID/RADAR LOMBOK)

MATARAM — Terpidana Nugroho dihadirkan sebagai saksi pada kasus korupsi proyek penataan dan pengerukan kolam labuh dermaga Labuhan Haji, Lotim, tahun 2016 dengan terdakwa Taufik Ramadhi.

Di pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Mataram, Nugroho mengaku tidak mengklaim uang jaminan sebesar 20 persen dari nilai proyek di Bank BNI Cabang Utama Bandung, lantaran adanya larangan dari terdakwa, yang juga bekas daftar pencarian orang (DPO) kejaksaan itu.

“Jangan klaim dulu uang garansi yang ada ada di BNI,” ujar Nugroho, selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) menirukan permintaan terdakwa, Kamis kemarin (22/2).

Larangan itu dibarengi dengan permintaan terdakwa, agar diberikan kesempatan lagi untuk mengerjakan proyek tersebut. Terdakwa menyatakan permintaannya itu di salah satu hotel yang ada di Bandung. “Jadi, saya ditelpon Taufik untuk bertemu di salah satu hotel, dan meminta diberikan kesempatan bekerja,” katanya.

Terdakwa meminta perpanjangan kontrak pengerjaan selama 50 hari, dan berjanji akan menyelesaikan pekerjaan itu tepat waktu. Nugroho pun mengiyakan permintaan terdakwa. “Tetapi hingga waktu yang diberikan, (proyek) tidak kunjung diselesaikan,” sebutnya.

Dikatakan, saat itu dirinya berada di Bandung, dengan tujuan akan mengklaim uang jaminan proyek tersebut ke pihak bank, sesuai tugas yang yang sudah dimandatkan. Akan tetapi niat itu diurungkan, lantaran ada permintaan dari terdakwa.

“Awalnya saya ke Bandung untuk klaim uang garansi, tetapi saya tidak jadi melakukan itu, dan memperpanjang kontrak meski sudah diputus. Karena Taufik (terdakwa) berjanji menyelesaikan pekerjaannya,” ungkapnya.

Terdakwa dalam kasus ini berperan sebagai Direktur PT Guna Karya Nusantara (GKN), perusahaan yang memenangkan proyek tersebut. Terdakwa meminta perpanjangan waktu pengerjaan, karena takut aset milik perusahaannya disita. “Taufik khawatir jika uang jaminan garansi ditarik, maka aset milik PT GKN akan disita,” katanya.

Baca Juga :  Duo Sprinter NTB Turut Harumkan Indonesia di SEA Games

Perpanjangan pengerjaan proyek itu dibuat langsung oleh terdakwa. Saat pembuatan surat perpanjangan pengerjaan proyek, Nugroho sempat menanyakan keberadaan Kepala Cabang PT GKN, Tri Hari Soelihtiono. “Taufik menyebut Hari Soelihtiono berada di Surabaya, sehingga dia (Taufik) yang membuat surat pernyataan perpanjangan waktu pengerjaan,” bebernya.

Diketahui, Tri Hari Soelihtino juga ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini. Akan tetapi Tri dikabarkan telah meninggal dunia. Sementara Nugroho telah divonis pidana penjara selama 3 tahun, dan pidana denda Rp 200 juta subsider 3 bulan kurungan, oleh majelis hakim tingkat kasasi pada Mahkamah Agung (MA). Sebelumnya divonis bebas pada pengadilan tingkat pertama.

Dalam putusan kasasi itu, hakim turut memerintahkan Bank BNI Cabang Utama Bandung selaku penjamin uang muka proyek pada tahun 2016 tersebut, untuk mencairkan jaminan uang muka proyek senilai Rp 6,7 miliar dan menyerahkan ke kas daerah Lotim.

Jaminan uang muka tersebut, merupakan besaran 20 persen anggaran proyek yang dinilai hakim menjadi uang pengganti kerugian negara. Terhadap uang pengganti, Kejaksaan Negeri (Kejari) Lotim sudah melakukan eksekusi dengan menyetorkan ke kas negara.

Sebagai informasi, proyek pengerukan kolam labuh Pelabuhan Labuhan Haji ini merupakan proyek di masa Bupati Lotim, Ali BD. Tahun 2015 awalnya sempat dianggarkan untuk  pengerukan sekitar Rp 30 miliar, tetapi realisasinya terbatas karena berbagai kendala teknis.

Baca Juga :  40 Tim dari Sembilan Negara Bersaing Uji Kendaraan Hemat Energi di Mandalika

Tahun 2016, Pemkab Lombok Timur kembali ngotot untuk tetap melanjutkan proyek pengerukan ini. Bahkan anggaran yang dialokasikan nilainya lebih besar lagi dari tahun sebelumnya, yaitu sekitar Rp 35 miliar lebih.

Proses tender proyek ini dimenangkan PT Guna Karya Nusantara asal Bandung. Dari puluhan miliar anggaran, pihak kontraktor diberikan panjar sebesar 20 persen atau sekitar Rp 6,7 miliar dari nilai kontrak. Proyek ini ditargetkan rampung sampai akhir tahun 2016.

Namun dalam perjalanannya pihak kontraktor tak kunjung melaksanakan tugasnya. Berbagai fasilitas yang didatangkan seperti kapal, termasuk pipa penyedot dibiarkan terbengkalai di pelabuhan. Ketidakjelasan pengerukan ini terus berlarut sampai kontrak berakhir tahun 2016.

Sesuai ketentuan, pihak kontraktor kembali diberikan perpanjangan waktu kurang lebih selama dua bulan tahun 2017. Tapi perpanjangan waktu itu juga tak membuat kontraktor berbuat, hingga kemudian batas waktu berakhir.

Atas dasar itulah kontrak kerja sama pun diputuskan. Kegagalan proyek nyatanya masih menyisakan masalah besar. Meski gagal dikerjakan, namun panjar Rp 6,7 miliar yang diambil kontraktor tak dikembalikan. Pemkab Lombok Timur sempat melakukan penagihan ke BNI Bandung, selaku penjamin. Tapi pihak bank juga ogah mencairkannya dengan berbagai dalih.

Pemkab Lombok Timur akhirnya  menempuh upaya hukum dengan melayangkan gugatan perdata ke PN Bandung. Gugatan itu ditujukan ke PT Guna Karya Nusantara dan pihak bank.  Di pengadilan tingkat pertama, gugatan Pemkab Lombok Timur ditolak. Selanjutnya Pemkab Lombok Timur kembali menempuh upaya banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Bandung, tapi juga ditolak. (sid)

Komentar Anda