Zakaria, Sang Maestro Nasional Tari Rudat dari Lombok Utara

Tak Bermimpi Jadi Maestro, Berharap Diakui UNESCO

Menekuni tari rudat selama enam tahun cukup berat, harus giat latihan karena tidak ada guru khusus. Meski tetap aktif tidak, Zakaria tetap sekolah. Namun, ia mampu mengantar dirinya hanya sampai tingkat SMP saja.  Pada usia 16 tahun, tepatnya tahun 1990 ia diajak bermain komedi. Sampai tahun 2000, ia sudah bisa menguasai Al-Barzanji dan syair hikayat. Di bawah kepemimpinan Fathurrahman, Kelompok Seni Tari Rudat tetap eksis dan berkembang.

Seiring waktu, tahun 2010 pengurus Kelompok Seni Rudat berubah. Para sesepuh dan pemain menunjuk dirinya menjadi ketua kelompok, karena dianggap sudah lama bergabung dan menguasai seni tari rudat. Akan tetapi, jauh sebelum dirinya memimpin, perkembangan seni rudat sudah maju dengan tercatat menjadi salah satu warisan budaya tari tradisional ciri khas KLU sejak tahun 1960 oleh Kemendikbud RI. “Pada waktu itu Kelompok Seni Rudat sudah tercatat secara pengakuan negara,” ungkapnya.

Baca Juga :  Pancaroba Hempaskan Harapan Petani Tembakau

Perlu diketahui, masuknya seni rudat ke kampung Terengan dibawa almarhum Papuq Arifin dari Gegutu Kabupaten Lombok Barat tahun 1920. Berawal dari ‘zikir zaman’, yang kemudian di tangan Papuq Arifin dikreasikan menjadi tari rudat diiringi lantunan musik dan syair lagu. Tiga komponen ini digabung menjadi satu, kemudian sisi alat musik yang digunakan ada tiga yaitu jidur semacam gong induk, rabana jidur semacam gong kecil, tiga buah rabana tar.

Baca Juga :  Tradisi ‘Maleman’ Selama Bulan Suci Ramadan di Kota Mataram

Almarhum menekuninya sejak berumur 15 tahun. Tari rudat populer di tengah masyarakat karena musik tradisional baru sehingga ramai diundang di acara nikahan, khitanan, dan nazar. “Papuq Arifin meninggal pada tahun 1995 dalam usia 90 tahun. Tapi, pada waktu itu pak Fathurrahman sudah membuat struktur sebelum Papuq Arifin meninggal,” terangnya.

Komentar Anda
1
2
3
4
5