Zakaria, Sang Maestro Nasional Tari Rudat dari Lombok Utara

Tak Bermimpi Jadi Maestro, Berharap Diakui UNESCO

Maestro Nasional Tari Rudat
MAESTRO: Zakaria tengah memperlihatkan peralatan musik dan topi perlengkapan tari rudat yang di sanggarnya, belum lama ini. (HERY MAHARDIKA/RADAR LOMBOK)

Terpilih sebagai maestro nasional untuk tari rudat bukanlah tujuan utama yang diharapkan Zakaria. Mimpi yang paling besar diharapkan ialah bagaimana caranya tari rudat tetap dilestarikan dan bertahan di tengah arus modernisasi serta diakui UNESCO sebagai tari tradisional khas KLU.


HERY MAHARDIKA-TANJUNG


KAK Jaka, itulah panggilan familiar Zakaria. Dia terkenal sebagai pewaris tari rudat turun temurun. Ia lahir di Dusun Tanak Ampar Desa Pemenang Timur Kecamatan Pemenang. Sejak dalam kandungan ia sudah berinteraksi dan beradaptasi dengan lingkungan tari tradisional tersebut. Di tengah-tengah masyarakat pengagum tari tradisional itu membuat ia merasa senang dan tertarik dalam menikmati alunan tari rudat. “Pada waktu saya masih kecil, saya sudah ada jiwa seni dan ada faktor keturunan dari almarhum papuq (kakek) saya,” ucapnya saat ditemui wartawan Radar Lombok di Sanggar seninya, belum lama ini.

Baca Juga :  Cerita Ayah Penjaga Gawang Juventus, Emil Audero Mulyadi (Bagian I)

Pria kelahiran 1974 ini mulai ikut-ikutan bergabung dengan kelompok seni rudat Setia Budi saat umur 10 tahun. Waktu itu, ia masih duduk di kelas IV SD. Dia kemudian diajak bergabung menjadi anggota dari jenjang bawah. Sebutannya anak rudat (semacam perwira), posisinya paling belakang dari enam orang di depannya. Kemudian jenjang selanjutnya komdam tengah yang posisinya berdiri di tengah, terdapat dua orang di depannya.

Baca Juga :  Mengenal Nurhalis Majid, Tidak Diterima Unram, Kini Jadi Peneliti Muda LIPI

Setelah dilihat bagus, kelasnya kemudian dinaikkan menjadi kopral. Posisinya berada nomor urut dua setelah posisi paling depan komandan. Zakaria diikutkan bergabung semata-mata karena dilihat berbakat. Selain hidup di lingkungan rudat, juga gerakannya sangat cepat. “Saya ikut-ikutan selama enam tahun sejak tahun 1984-1999. Tapi, kalau saya pernah ikut di belakang, terus langsung menjadi komandan. Sama gerakannya, cuma yang membedakan pakaian saja,” tuturnya.

Komentar Anda
1
2
3
4
5