Wisma Soedjono, Hotel Pertama di Tete Batu

LOBY: Pengelola Wisma Soedjono, Hj. Surdini, dengan latar belakang salah satu kamar induk di bangunan bersejarah yang kini disulap menjadi Loby Wisma Soedjono (SIGIT SETYO/RADAR LOMBOK)

SEKITAR tahun 1990-an, keberadaan obyek wisata Tete Batu mungkin sudah tidak asing lagi dikalangan para wisatawan, baik wisatawan asing, maupun wisatawan domestik. Destinasi pariwisata yang dikenal dengan keindahan alamnya yang masih perawan dan belum terkontaminasi ini, wisatawan yang pernah berkunjung dijamin pasti akan merasa kagum dan takjub dibuatnya.

Sayangnya, sejak terjadi tragedi Bom Bali, kawasan pariwisata yang pernah menjadi ikon wisata di NTB ini mulai redup, dan jarang dikunjungi wisatawan. Tete Batu yang dahulu sempat berjaya ini seakan lenyap dari perbincangan para pelaku usaha wisata.

Sepinya pengunjung ini tentu juga berdampak terhadap penurunan tamu hotel. Tak terkecuali Wisma dr Soedjono, sebuah hotel pertama yang ada di Tete Batu. “Wisma dr Soedjono-Tete Batu dibangun oleh dokter pertama yang ada di Lombok Timur, dr Soedjono,” kata Hj. Surdini Soeweno, istri dari Raden Soeweno, salah seorang anak dr Soedjono, belum lama ini.

Sejarah keberadaan Wisma Soedjono sambung Surdini, sama panjang dan tuanya dengan keberadaan Pemerintah Kabupaten Lombok Timur (Lotim) sendiri, bahkan sebelum itu, yakni pada saat Indonesia masih dijajah Pemerintah Kolonial Belanda.

“Cerita singkatnya, pada saat dr Soedjono bertugas di Kabupaten Lotim, dia membangun sebuah rumah yang berada di kawasan Tete Batu sebagai tempat peristirahatan bersama teman-teman dan para tamu dari luar negeri. Rumah yang dibangun di kawasan obyek wisata ini tidak begitu luas, hanya memiliki empat unit kamar, satu ruang tamu, loby, dan satu ruang makan,” tutur Surdini.

Karena itu, ketika kita memasuki rumah kuno yang sekarang telah di alihfungsikan menjadi Loby Wisma Soedjono, mata kita langsung akan dibawa mengawang ke masa lalu, yaitu zaman Belanda. Bagaimana tidak, nyaris seluruh hiasan kamar yang ada dirumah ini, baik foto-foto yang rata-rata berwarna hitam putih, dan benda-benda lainnya adalah peninggalan masa lalu tuan rumah. “Rumah induk ini memang sangat sederhana, namun penuh sejarah,” papar Surdini.

Setelah pendiri Wisma dr Soedjono meninggal dunia, puteranya yang bernama Raden Soeweno datang ke Lombok bersama istrinya, Hj. Surdini Soeweno, yang kemudian melanjutkan apa yang diwariskan oleh ayahnya, dr Soedjono, merintis kembali usaha perhotelan di Tete Batu.

Saat ini jumlah kamar yang ada di Wisma dr Soedjono-Tete Batu ada sebanyak 30 kamar, dengan harga masing-masing kamar berkisar antara Rp 150 ribu, hingga Rp 250 ribu, tergantung pada fasilitas dan luas dari kamar itu sendiri. “Murah kok kamarnya, dan ini sesuai dengan isi dompet kita,” canda Hj. Surdini.

Seiring perkembangan kepariwisataan NTB, khususnya Pulau Lombok yang semakin maju, mulai bermunculan hotel-hotel lain di sekitar Tete Batu. “Biasanya bulan Juni hingga Agustus para tamu mulai ramai di Tete Batu. Sehingga otomatis rumah atau wisma penuh kenangan ini juga akan penuh tamu, yang kebanyakan adalah wisatawan dari Belanda,” beber Hj. Surdini.

Sepertinya para wisatawan asal Belanda ini mungkin mendengar cerita dari leluhurnya, kalau di Tete Batu yang indah, ada sebuah Wisma yang sering dikunjungi kakeknya pada masa lalu. “Jadi mereka merasa penasaran, dan ingin membuktikan sendiri dengan datang ke Lotim, dan menginap di Wisma Soedjono,” ungkapnya.

Yang jelas, Wisma Soedjono sendiri merupakan hotel bersejarah, dengan panorama indah disekelilingnya. “Kamar-kamarnya langsung berhadapan dengan panorama alam yang indah dan masih alami. Sehingga dengan menginap di Wisma Soedjono, maka para tamu akan mendapatkan ketenangan berlibur di sebuah kawasan indah pedesaan khas Lombok,” pungkas Hj. Surdini. (cr-wan)

Komentar Anda