Waspadai Ijon Proyek Jelang Pilkada

Ervyn Kaffah
Ervyn Kaffah (Dok/)

MATARAM – Pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak akan kembali digelar tahun 2018 mendatang. Banyaknya pejabat yang akan bertarung di pilkada, membuat praktek ijon proyek mudah terjadi. Praktek ini berpotensi dilakukan untuk mengumpulkan dana guna kebutuhan pilkada.

Sekretaris  Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Provinsi NTB, Ervyn Kaffah mengingatkan seluruh pihak untuk mewaspadai adanya praktek ijon proyek. “Fenomena ijon proyek berlaku umum di daerah-daerah di NTB tanpa pengecualian,” ungkapnya kepada Radar Lombok, Senin kemarin (29/5).

Menurut Ervyn, terdapat hubungan yang kuat antara biaya politik tinggi dengan perilaku korupsi kepala daerah. Salah satu bentuk korupsi politik yang umum ditemui, termasuk di NTB memang berhubungan dengan relasi antara pemodal dengan penguasa. “Itu terbangun sejak proses pemilihan pilkada,” katanya.

Ijon proyek yang dimaksud, seorang pengusaha atau beberapa pengusaha terlibat mendanai biaya politik salah satu calon. Banyak dana yang dikucurkan asal calonnya bisa menang dalam pilkada.

Calon kepala daerah tersebut tentunya bukan hanya berhutang uang, namun lebih dari itu. Para pengusaha menginginkan adanya timbal balik dengan memperoleh berbagai kemudahan. Baik dalam mengembangkan investasi, pengadaan barang dan jasa maupun kemudahan lainnya. “Ada juga kebijakan yang kondusif buat mereka yang berjasa itu,” ucapnya.

Baca Juga :  Panwaslu Larang Bupati Lotim Mutasi

Ijon proyek ini cukup berbahaya. Pasalnyam akan berlangsung selama bertahun-tahun. Proyek-proyek yang dilelang hanya akan menjadi formalitas. Mengingat, semuanya telah diatur terlebih dahulu dengan pembagian jatah. “Sifatnya lebih menetap, bisa berlangsung selama bertahun-tahun,” imbuh Ervyn.

Hal yang patut lebih diwaspadai juga, saat ini beberapa bupati/wali kota akan mencalonkan diri sebagai gubernur NTB periode 2018-2023. Biaya sosialisasi dan memenangkan pilkada, tentunya sangat besar. Maka tidak menutup kemungkinan para pengusaha atau kontraktor memberikan dana bantuan, dengan syarat diberikan proyek.

Harus tetap diingat, lanjut Ervyn, korupsi yang besar itu tidak terkait dengan besar kecilnya pendapatan seorang pejabat. Melainkan soal keserakahan. “Ini soal memperbesar kekuasaan dan mempertahankan kuasa, bukan soal moral lagi,” ucapnya.

Persoalan saat ini, para pelaku cukup pintar. Sangat sulit bisa terdeteksi praktek-praktek tidak terpuji tersebut. Ditambah lagi dengan lemahnya sanksi hukum, membuat para pelaku tidak takut mengulanginya lagi.

Trend tersebut dapat dilihat dengan vonis untuk pelaku tindak pidana korupsi (Tipikor) yang hanya 1,5 tahun sampai 2 tahun. “Itu yang terbongkar  dan diproses hukum, namun jauh lebih banyak yang belum terbuka, karena memang pembuktiannya sulit,” kata Ervyn.

Baca Juga :  Dewan KLU Minta Eksekusi Proyek Fisik Dipercepat

Pembuktian yang sulit ini sangat terasa pada praktek ijon proyek. Disinilah pentingnya peran semua pihak untuk melakukan pengawasan. “Memang di luar daerah juga begitu, sulit dibuktikan praktek ijon ini. Tapi bisa ditelusuri kok dan bisa diungkap,” ucap Ervyn.

Sekretaris Komisi IV DPRD Provinsi NTB, Nurdin Ranggabarani membenarkan praktek ijon proyek sering terjadi. Apalagi dengan kondisi NTB saat ini. “Memang berapa kekayaan calon? Disinilah sering pengusaha jadi founding. Dikasi dana dengan syarat mereka dapat proyek, atau dimudahkan urusannya,” kata Nurdin.

Hal seperti ini sebenarnya telah terbukti di NTB. Namun itu pada proyek-proyek Balai Jalan Nasional (BJN) dengan bisa mengatur Unit Layanan pengadaan (ULP). Hal ini telah diungkap Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) terhadap tender sejumlah proyek jalan di Pulau Lombok. “Tidak menutup kemungkinan juga, dan kita duga ada juga pengaturan proyek untuk proyek-proyek daerah,” ucap Nurdin. (zwr)

Komentar Anda