Warga Rempek Kabupaten Lombok Utara Tuntut Tanahnya Dikembalikan

Warga Rempek Kabupaten Lombok Utara Tuntut Tanahnya Dikembalikan
DEMO : Puluhan masyarakat Desa Rempek melakukan aksi di depan kantor bupati menuntut penyelesaian tanah. (HERY MAHARDIKA/RADAR LOMBOK)

TANJUNG – Puluhan warga Desa Rempek Kecamatan Gangga berunjuk rasa di depan kantor Bupati Lombok Utara, Kamis (2/11).

Mereka menuntut pemerintah daerah segera memfasilitasi penyelesaian dugaan pembancakan tanah bersertifikat seluas 1.412 hektare yang ditetapkan menjadi kawasan hutan produksi. Desakan ini disampaikan mengingat persoalan ini sudah berlarut-larut tanpa adanya penyelesaian pasti sejak tahun 1995. “Kami minta kepada pemerintah daerah agar bisa memfasilitasi penyelesaian persoalan hak kami yang telah dirampas Dinas Kehutanan,” kata H Taufik membuka aksi demonya.

Baca Juga :  Bertambah 17 Kasus Baru Covid-19,  Didominasi Pasien Asal KLU

Aksi demo yang melibatkan mahasiwa asal Rempek, ibu-ibu dan petani lanjut usia membuat suasana demo tampak dramatis. Massa tanpa pengalaman ini berusaha menyampaikan haknya apa adanya dengan terbata-bata. Semestinya, pemerintah bisa memberikan jaminan kehidupan, bukan merebut hak rakyatnya. “Kami datang ke sini karena persoalan menurut kami tidak gampang. Daftar hadir kami juga dijadikan alat persetujuan digusur. Ini pengalaman sejak tahun 1995. Ini yang kami antisipasi baik tim lima maupun siapapun. Kami perlu menyampaikan ke pemda agar bisa menfasilitasi kami,” harap Taufik diamini warga lainnya.

Setelah panjang lebar berorasi, akhirnya warga ini diterima Staf Ahli Bupati Muhadi, Kepala BPN Keman, Kapolres AKBP Rifai, Kasatpol PP Achmad Dharma, Kepala Bakebangspol Muldani, Kabag Humas H Saprinnadi, dan perwakilan Bagian Hukum. “Kami ingin meminta kepada pemda agar menfasilitasi kami sepenuhnya dalam artian mencarikan kami solusi yang terbaik kepada kami,” tandasnya.

Diungkapkan, masyarakat tidak pernah dilibatkan dalam pembentukan tim lima. Tiba-tiba tim ini sudah ada mulai dari tingkat desa hingga kabupaten, sementara masyarakat hanya punya kuasa hukum. “Kami aman, nyaman serta damai karena kami tidak ingin berbenturan sesuai tim lima,’’ tegasnya.  

Taufik juga membeberkan, masyarakat sudah tinggal di kawasan itu sejak tahun 1954 berawal dari tanah GG. Kemudian, masyarakat menerima sertifikat di atas lahan seluas 1.412 hektare, mulai dari kali Munggal sampai Sedutan. Lalu, tahun 2013 dikeluarkan surat penetapan menjadi kawasan hutan produksi oleh Dinas Kehutanan Provinsi NTB dalam hal KPH Rinjani. Padahal, masyarakat sudah menerima sertifikat jauh hari sebelum penetapan kawasan hutan produksi.

Staf Ahli Bupati Lombok Utara Muhadi berharap masyarakat tidak mudah terprovokasi adanya kepentingan di balik aksi ini. Pihaknya juga sangat bangga masyarakat sudah menunjuk kuasa hukum sendiri. “Kami harap jangan sampai terprovokasi sehingga keluar uang terhadap kepentingan di balik ini,” harapnya saat menerima warga.

Apa yang menjadi persoalan masyarakat ini, akan dibawa ke Dirjen Kemenkum HAM seperti yang telah pemda lakukan pada warga Genggelang. Sebab, Kemenkum HAM akan melindungi tempat tinggal masyarakat sesuai konstitusi UUD 1945. “Kita saat ini masih mendengarkan secara pihak. Tentu kita akan dengarkan juga kapan penetapan kawasan hutan produksi ini dari Dinas Kehutanan, karena pemerintah daerah saat ini sudah berwenang dalam persoalan kehuatan sesuai PP Nomor 18 Tahun 2016 tentang OPD,” jelasnya.

Baca Juga :  SPBU Bebas Gerus Lahan Hijau di Lombok Utara

Sementara itu, Kepala BPN Lombok Utara Keman menyatakan, pihaknya belum melihat sertifikat maupun pipil lahan secara langsung sebagai bukti kepemilikan. Karena sejak berpisah dengan Lombok Barat, tidak semua dokumen tanah ada di BPN Lombok Utara. “Kami minta fotokopi sertifikat maupun pipil dan bayar pajaknya. Kami siap membantu masyarakat,” janjinya.

Berdasarkan data dihimpun koran ini dari Tim Lima belum lama ini, awal mula persoalan ini sebelum tahun 1954 tanah tempat tinggal sekarang ini merupakan tanah GG seluas 700 hektare lebih. Kemudian, tahun 1982/1983 diterbitkan sertifikat atas nama pemilik individu masyarakat di areal blok c seluas 86 hektare. Kemudian, tahun 1984/1985 mulai pembangunan perkampungan rumah mewah 84 unit, rumah sederhana 262 unit, rumah tidak layak huni 62 unit, masjid 3 unit, musala 4 unit, akses jalan besar, SDN 3 Rempek, lapangan olahraga, areal pemakaman tiga tempat, 2 unit posyandu, 1 tempat pemujaan umat Budha, 2 unit PAUD. Di areal yang sudah sertifikat maupun belum terbagi menjadi empat dusun, yaitu Dusun Busur, Busur Barat, Busur Timur, Kuripan dan Jelitung dengan total penduduk 408 KK atau 1.262 jiwa. Masyarakat sudah mendapatkan sertifikat program prona pada tahun 1984. (flo)