Warga Pondok Perasi Tuntut Keadilan

RICUH: Warga dipukul oknum pejabat dan dibubarkan di depan pendopo Wali Kota Mataram.

DEMO: Warga Pondok Perasi menggelar aksi demonstrasi ke Kantor Wali Kota Mataram, membawa seruan keadilan dan membawa anak-anaknya mereka. (SUDIRMAN/RADAR LOMBOK)

MATARAM – Puluhan warga Lingkungan Pondok Perasi Kelurahan Bintaro Kecamatan Ampenan menggelar aksi demonstrasi di depan kantor wali kota Mataram, Rabu (14/5). Puluhan warga tergabung dalam Forum Masyarakat Sasak Pesisir (Formasi) ini menuntut keadilan dari Pemkot Mataram. Mereka meminta agar disediakan tempat tinggal setelah digusur tujuh tahun silam. Sebab, kehidupan mereka terkatung-katung dengan tinggal di bawah tenda.

Penderitaan warga Pondok Perasi ini berawal dari tahun 2019 silam. Waktu itu, seorang pengusaha asal Jakarta bernama Ratna Sari Dewi mengklaim lahan yang ditempati warga sebagai miliknya. Dari perkara itu kemudian tak kurang dari 58 kepala keluarga (KK) harus digusur. Sebagian warga kemudian dipindah ke Rusunawa Bintaro, sementara sebagian lagi masih harus tinggal di tempat pengungsian. ‘’Kita sudah digusur, kita tidur pakai tenda sekarang ini,’’ ujar salah seorang warga yang sedang berdemonstrasi.

Warga ini juga mengaku, meski tinggal di bekas barang bekas, rumah gedek, mereka juga tak luput dari intimidasi preman. Para preman ini bebarapa kali melakukan teror untuk mengusir warga dari tempat itu. Warga ditekan secara terus menerus agar segera mengosongkan lahan yang mereka tempat selama mengungsi. ‘’Ancaman yang terus menerus ini berdampak pada psikologi warga. Di sana ada anak-anak, ada janda, dan lansia,’’ ketusnya.

Tak heran, jika dalam demo kemarin semua warga yang tinggal di tempat pengungsian itu ikut menyuarakan aspirasinya. Mulai dari anak-anak dan lansia. Kehadiran warga ini murni sebagai bentuk protes terhadap Pemkot Mataram yang acuh tak acuh terhadap nasib mereka.

Sambil mebawa beberapa spanduk dan pamplet bertuliskan ‘Mohan Roliskana Perampas Tanah Rakyat, Wali Kota Mataram Anti Rakyat Pesisir’’, para demonstran ini mengencangkan spanduk di depan kantor wali kota Mataram. Dalam orasinya, warga menyampaikan bahwa selama bertahun-tahun mereka mengalami intimidasi dari pihak-pihak yang mengklaim kepemilikan atas lahan tersebut. Bahkan sejak penggusuran pertama pada 6 Agustus 2019 lalu, mereka harus bertahan hidup di tenda darurat dengan kondisi serba terbatas.

Selang 30 menit orasi berlangsung, para orator sempat ditendang oknum pejabat Kota Mataram yang menggunakan baju preman. Puluhan anak-anak kocar-kacir berlari bersama orang tuanya. Aksi ini menuai banyak kecaman, warga berteriak tidak ada keadilan, mereka histeris melihat anak-anaknya yang menangis. Aksi demonstrasi berlangsung sekitar satu jam sebelum akhirnya mereka dibubarkan paksa.

Dalam kerumunan massa itu, Lurah Bintaro, Rudy Herlambang memekik keras meminta warganya pulang. Satpol PP dan Kepolisian merangkul semua warga dan meminta tenang. Warga kembali ke kendaraan masing-masing yang parkir di Taman Sangkareang.

Baca Juga :  Sirkuit Tohpati Lebih Favorit Menggelar MXGP

Warga lainya, Jumatiah berharap ada kehadiran nyata pemerintah untuk mencari solusi kemanusiaan, bukan sekadar penegakan hukum secara kaku. Warga tidak menolak relokasi tapi berharap pemerintah membangunkan rumah tinggal yang layak dan tidak membebani mereka secara finansial. “Kalau pindah ke rusunawa, kami tidak mampu. Di sana harus bayar listrik, air, sementara untuk makan saja kami susah. Kami hanya ingin pemerintah bantu membangun rumah untuk kami, supaya bisa hidup tenang,” cetusnya.

Dengan kondisi di rusunawa tidak cocok bagi warga miskin yang penghasilannya tidak menentu. Ia mengaku, warga lebih membutuhkan tempat tinggal permanen tanpa beban biaya tambahan. “Kami tidak minta yang muluk-muluk. Kami hanya ingin tempat tinggal yang layak dan aman. Jangan kami terus disudutkan seolah-olah tidak berhak tinggal di tanah ini,’’ singkatnya.

Kepala Bakesbangpol Kota Mataram, Zarkasyi mengatakan, pembubaran masa dinilai sudah sesuai aturan. Lahan yang sudah dikosongkan merupakan putusan pengadilan tetap di samping sudah beberapa kali dilakukan pertemuan dengan warga dan sudah sebagaian ada yang pindah ke rusunawa. ‘’Kita sudah lakukan mediasi dari awal, beberapa kali muncul aksi-aksi,’’ katanya.

Pemkot Mataram menjelaskan secara rinci terkait aksi demonstrasi puluhan warga RT 08, Lingkungan Pondok Perasi, Kelurahan Bintaro Kecamatan Ampenan di depan kantor wali kota Mataram, Rabu (14/5). Asisten I Setda Kota Mataram, Lalu Martawang mengatakan, lahan yang ditempati warga tersebut adalah sengketa murni antara pemilik lahan dan warga setempat. “Ini adalah proses hukum murni tidak ada intervensi siapapun dalam perjalanan ini yang berkaitan dengan pemerintah. Apalagi dikaitkan dengan Pemkot Mataram bahkan secara personal mereka mengaitkan dengan Wali Kota Mataram,” ujar H Lalu Martawang.

Dia menegaskan, sengketa lahan tersebut tidak ada kaitannya dengan Pemkot Mataram ataupun Wali Kota Mataram. Sengketa lahan yang terjadi murni antara pemilik lahan atas nama Ratna Sari Dewi dan masyarakat yang menempati lahan. “Dalam proses hukumnya pemilik lahan sudah bersertifikat atas nama Ratna Sari Dewi dan itu sudah berproses panjang sampai kepada level hukum tertinggi. Itu sudah inkrah (berkekuatan hukum tetap) milik ibu Ratna Sari Dewi,” katanya.

Sebagai pemilik yang sah di level hukum tertinggi, pemilik ingin mengoptimalisasi asetnya berupa tanah seluas 64 are. Persoalannya, ada warga yang menempati lahan tersebut. Sudah dilakukan permohonan eksekusi oleh pengadilan. Lalu pada rapat persiapan ekseskusi, Pemkot Mataram meminta pengosongan rumah warga jangan dilakukan sebelum bulan Ramadan lalu. Eksekusi pun ditunda setelah mendengar masukan dari Pemkot Mataram. “Pelibatan kami dalam konteks sosial kemasyarakatan. Tidak ada konteks lainnya, apalagi disebut ada mafia tanah dan sebagainya. Saya pribadi menangani ini sudah lama. Mengapa kita membangun rusunawa di sana untuk mengakomodasi mereka sehingga bisa memiliki rumah tinggal representatif dan legal hukum yang jelas,” ungkapnya.

Baca Juga :  Alwan Ajak Bawahan Sungkem ke H Lalu Mas'ud

Jika dikaitkan dengan Pemkot Mataram, Martawang mengatakan tidak proporsional dan salah alamat.  Karena persoalan tersebut murni sengketa antara pemilik dan warga. “Wali kota akan senantiasa bersama warganya. Tapi koridor hukum harus sama-sama ditaati. Jika pengosongan menimbulkan persoalan sosial kemasyarakatan tentu kami tidak akan diam. Ini persoalan Ibu Ratna Sari Dewi yang sudah jelas haknya, bahwa dia adalah pemilik lahan tersebut,” tegasnya.

Pemkot disebutnya tetap dalam koridor hukum. Tentang cekcok yang tejadi saat aksi demonstrasi, bahkan disebut kericuhan karena diawali oleh aksi dari preman. Martawang menampiknya dan tidak ada preman. Tapi jika ada warga lainnya yang hadir dan menyinggung perasaan setelah mendengar pernyataan peserta aksi, hal tersebut di luar kuasa pemerintah. “Tidak ada premanisme dan tidak ada yang mobilisasi orang yang datang ke kantor wali kota. Kalaupun ada yang datang karena melihat seruan aksi dan persoalan ketersinggungan dari narasi yang berkembang di sana. Pemkot Mataram tetap menegakkan supremasi hukum,” katanya.

Martawang menegakan, Pemkot Mataram bukan kepanjangan tangan dari Ratna Sari Dewi selaku pemilik lahan. Pemkot Mataram disebutnya klir dan tuduhan-tuduhan peserta aksi sangat tidak mendasar. “Kami dituduh mafia tanah alasannya apa, wujud kami mafia tanah itu apa. Apakah ada Lalu Martawang memiliki di situ atau mendapatkan sesuatu dari Ibu Ratna Sari Dewi, silahkan kalau ada saya dapatkan sesuatu misalnya uang silahkan gugat saya. Ini murni persoalan hukum. Pemkot Mataram klir dari kepentingan dua pihak ini. Persoalan ada dampak sosial dari ini tentu kami tidak akan tinggal diam,” pungkasnya.

Lurah Bintaro, Rudy Herlambang mengatakan, warga RT 08 Lingkungan Pondok Perasi awalnya 20 KK. Lalu tiba-tiba ada penambahan 25 KK didominasi penduduk baru setelah masuknya salah satu mahasiswa asal Bima. “Mereka diiming-imingi tanah adat untuk tinggal di sana. Yang kami hindari chaos antara warga asli Pondok Perasi dengan warga warga tersebut. Karena ketika dihembuskan tanah adat, warga asli Pondok Perasi bisa bergerak. Ini yang kami jaga kemarin hari Jumat antara warga dengan warga. Ini kan akibat segelintir mahasiswa dan tidak kami inginkan. Karena bagaimanapun 25 KK itu warga kami dimana pada tahun 2020 saat eksekusi sudah steril. Ini proses hukum yang kami tidak masuk, tapi ketika ada dampak sosial tentu kami masuk,” katanya. (dir/gal)