Warga Pondok Perasi Kembali Minta Keadilan

DEMO: Warga RT 08 Lingkungan Pondok Perasi Ampenan kembali menunut keadilan Pemkot Mataram.(SUDIRMAN/RADAR LOMBOK)

MATARAM – Puluhan warga RT 08 Lingkungan Pondok Perasi Kelurahan Bintaro Kecamatan Ampenan bersama Aliansi Mahasiswa dan Rakyat (AMR) NTB kembali menuntut keadilan Pemkot Mataram, Senin (2/6). Tuntutan ini dilayangkan warga pasca penggusuran gubuk tempat tinggal warga setelah lahan tersebut dinyatakan resmi sebagai milik pengusaha asal Jakarta, Ratna Sari Dewi.

Massa datang dengan membawa pamplet dan spanduk, menuntut keadilan dan tempat tinggal sementara berbentuk hunian sementara (huntara), bukan tenda darurat. Unjuk rasa ini tercatat menjadi kali kedua setelah sebelumnya aspirasi warga tak membuahkan solusi yang ditawarkan pemerintah. Warga menuntut agar dibuatkan huntara, tidak jauh dari lokasi tempat mencari nafkah. Karena saat ini, tenda darurat dibangun ada di kawasan Kebon Talo dinilai jauh dari tempat para nelayan. Tenda darurat yang dibangun BPBD pasca dikosongkan lahan milik Ratna Sari Dewi, warga semakin khawatir akan kesehatan, terutama pada lansia dan anak-anak.

          Salah satu warga RT 08 Lingkungan Pondok Peras, Herman mengatakan, mereka datang untuk menuntut kebijaksaan dari Pemkot Mataram. Dari awal telah disampaikan bahwa warga sudah tidak bisa berbuat banyak. Rumah yang mereka dirikan bertahun-tahun sudah dikosongkan. ‘’Kami datang untuk bisa mendapatkan tempat yang layak dan perhatian pemerintah,’’ cetusnya.

          Massa aksi melakukan orasi damai. Mereka berdialog dengan Asisten I Setda Kota Mataram H Lalu Martawang. Mereka meminta keadilan serta mengusut tuntas aksi-aksi premanisme yang masih ada ditemukan dan mengancam warga. ‘’Kita berharap bisa dekat dengan sumber penghasilan seperti nelayan dan dibuatkan huntara seperti sebelumnya,’’ tambahnya.

Korlap aksi, Rafli menyampaikan, tuntutan warga sangat sederhana. Penggusuran rumah warga dinilai tanpa koridor hukum yang sesuai tanpa pemberitahuan dari kejaksaan dan pengadilan. Warga tidak ingin memperkeruh masalah, tapi meminta pertanggungjawaban Pemkot Mataram. Yaitu membayar kerugian warga dari bangunan yang sudah rata dengan tanah, serta anak warga yang terbengkalai pendidikannya setelah rumahnya dikosongkan pengadilan.  “Pemerintah harus tanggung semua itu,” ujar Rafli dengan pengeras suara.

Selain itu, tempat tinggal yang terbengkalai harus ditanggulangi pemerintah. Pemerintah juga dituntut memberikan uang kerohiman setelah rumah warga dieksekusi. “Seperti di daerah lain, uang kerohiman itu dibayarkan kepada warga,” katanya.

Baca Juga :  Mahisa Tour and Travel Gelar Manasik Akbar Jamaah Umrah

Asisten I Setda Kota Mataram, H Lalu Martawang yang menemui peserta aksi mengatakan, proses di Pondok Perasi pada  ranah hubungan trias politika yang terdiri dari eksekutif, legislatif dan yudikatif. Pemkot Mataram kata dia tidak bisa masuk ke proses hukum yang merupakan ranah yudikatif atau pengadilan. “Saya harus hormat dan tunduk serta hargai seluruh proses hukum terlaksana di yudikatif. Itu menunjukkan integritas kita dan tidak saling mencampur adukkan ranah antar lembaga,” katanya.

Jika ada protes dan ketidakpuasan warga, ranahnya ada di yudikatif yaitu pengadilan. Pemkot Mataram dipastikannya tidak ikut campur pada proses hukum. “Persoalan hukum itu ada di ranah yudikatif. Apapun dia silahkan ditanyakan ke sana (pengadilan) sesuai dengan mekanisme yang ada di pengadilan,” terangnya.

Selanjutnya, kata Martawang, ketika terjadi pengosongan lahan, Wali Kota sudah memerintahkan agar warga tidak terbengkalai akibat pengosongan lahan di Pondok Perasi. Untuk mengakomodir warga yang rumahnya dikosongkan, pemerintah sudah menyiapkan tenda untuk tempat tinggal di wilayah Kebon Talo. Tenda yang disiapkan pemerintah dengan daya tampung 150 jiwa. Selain itu, pemerintah menyiapkan dapur umum dan pemeriksaan kesehatan gratis sejak pengosongan lahan sudah berfungsi dengan baik. “Kami akan mengawal bagaimana penggunaan tenda itu,” terangnya.

Tetapi tenda yang disiapkan pemerintah tidak jadi digunakan. Warga menolaknya karena lokasinya jauh dari domisili sebelumnya. Untuk mengakomodir tuntutan warga, lokasi penyiapan tenda dipindah di dekat Rusunawa Bintaro. “Kami siapkan juga tempat MCK (mandi cuci, kakus) dan dapur umum. Pemeriksaan kesehatan bisa dilakukan untuk semuanya di sana. Ini adalah tanggung jawab nyata pemerintah,” jelasnya.

Sebagai tindak lanjut, Pemkot Mataram akan menyiapkan hunian sementara (huntara) dibangun di lokasi milik pemerintah. “Ini membuktikan kami tidak tinggal diam terhadap kondisi masyarakat. Setelah bangunan huntara itu jadi, warga yang punya KTP di sana akan tinggal di huntara yang disiapkan oleh Pemkot Mataram,” katanya.

Baca Juga :  Pelantikan Sekda Alwan Diiringi Pergeseran Eselon II

Kalau anak-anak yang tinggal di pengungsian, dipastikan akan dijamin akses dan layanan pendidikannya. “Seluruhnya menjadi kebijakan Pemkot Mataram,” imbuhnya.

Soal uang kerohiman yang dituntut warga, Martawang mengatakan. Pemkot tidak punya kewajiban untuk memberikan uang kerohiman. Karena yang terjadi di Pondok Perasi, bukan Pemkot Mataram yang berperkara dengan warga. Melainkan dengan Ratna Sari Dewi selaku pemilik lahan yang melaksanakan putusan pengadilan dan sudah berkekuatan hukum tetap atau inkrah. “Bagaimana ceritanya kami membayar seperti itu, bukan kami yang berperkara dengan warga. Tapi warga berurusan dengan pemilik lahan. Tapi kami tetap menangani dampak sosial dari pengosongan lahan tersebut,” tegas Martawang.

Jawaban Martawang tidak diterima oleh warga. Rafli mengatakan, huntara dan lainnya sudah diberikan oleh pemerintah sejak pengosongan lahan tahap pertama tahun 2019 silam. Tetapi warga menilai bukan solusi terbaik. Warga punya solusi yang ditawarkan ke pemerintah yaitu meminta lahan untuk dikelola sendiri. “Kami minta lahan menjadi hak milik,” kata Rafli.

Kata Martawang, tuntutan tersebut tidak masuk akal. Pemerintah tidak mungkin memberikan lahan pengganti sementara yang berperkara dengan warga adalah Ratna Sari Dewi selaku pemilik lahan. “Tanggung jawab kami hanya menangani dampak sosial akibat pengosongan lahan. Kami nanti menyiapkan huntara berikut MCK dan pemeriksaan gratis,” terang Martawang.

Lurah Bintaro Rudy Herlambang menjelaskan, untuk sementara warga akan dibuatkan tempat tinggal sementara di Kebon Talo. Sembari itu, pemerintah akan membangunkan warga rusunawa di dekat rusunawa Bintaro sekarang ini. Mengingat persoalan ini murni murni masalah hukum antara pemilik lahan dan warga. Di samping itu, sudah ada keputusan Makamah Agung (MA) untuk eksekusi tahun 2020, namun belum bisa dilakukan karena dampak sosial. ‘’Pengosongan sudah dilakukan, kami komunikasikan dengan huntara dan rusunawa yang ada. Dari 46 KK yang terdata, 15 KK yang sisanya dari luar. Kami sudah koordinasikan dari awal,’’ katanya. (gal/dir)