SELONG—Sejumlah warga Kemong, Dusun Tarum, Desa Labuhan Pandan, Kecamatan Sambelia, Lombok Timur (Lotim) mengaku resah lantaran tidak mau menjual lahan mereka untuk dijadikan lahan tambak oleh salah satu perusahaan dari pusat. Bahkan tim pembebasan lahan perusahaan ini dituding telah melakukan intimidasi pada warga, sehingga warga pemilik lahan menjadi resah.
Menurut salah satu warga Kemong, Amaq Mahsup, 45 tahun, dia menolak untuk menjual lahannya seluas 1,15 ha yang berada di dekat pesisir yang menjadi target pembebasan untuk dijadikan lahan tambak. “Saya didatangi Pejabat Kadus bersama tiga orang lainnya, dan di pinggir pantai saya disuruh menjual lahan tersebut. Akan tetapi saya jawab, saya harus berunding dulu dengan saudara, anak dan istri saya,” kata Pekasih Subak Kemong ini didampingi sebanyak 10 orang warga lainnya, termasuk Ketua RT setempat.
[postingan number=3 tag=”lahan”]
Sekitar dua minggu berikutnya, dia kembali didatangi untuk mencari sertifikat, hingga kemudian dirinya dipaksa tanda tangan di atas kwitansi yang kemudian disusul dengan pemberian uang tanda jadi atau DP sebesar Rp 10 juta. “Sebelumnya saya mau pulang ke rumah saya tidak dikasih, hingga saya dipaksa turun di rumah Kadus dan menandatangani kwitansi itu,” jelasnya.
Mengaku telah beberapa kali ia mengatakan kalau tidak mau menjual lahan tersebut, lantaran belum ada persetujuan dari saudaranya yang memiliki hak waris atas lahan tersebut. Demikian juga dengan anak dan tiga istrinya. Namun dia tetap dipaksa, hingga kemudian tidak bisa mengelak untuk menandatangani kwitansi tersebut pada malam hari di rumah Kadus.
Kemudian dia terpaksa membawa pulang uang tersebut. Namun sampai di rumah dia dimarahi oleh istri dan anak-anaknya, hingga kemudian menyuruh anaknya untuk mengembalikan uang tersebut ke rumah Kadus. Namun uang tersebut dikatakan tidak mau diterima oleh Kadus dan juga oleh tim yang ditunjuk perusahaan untuk membebaskan yang bernama Ita. “Bahkan saya sampai minta tolong Kades, Camat dan Polisi untuk mengembalikan uang tersebut, namun tidak bisa hingga uang itu tidak berani saya apa-apakan,” paparnya.
Senada, Inaq Dian, 28 tahun, juga warga setempat yang memiliki lahan 1,6 ha juga mengaku dipaksa menandatangani kwitansi, meski dirinya mengaku tidak mau menjual lahan, dengan alasan memiliki saudara yang juga memiliki hak atas lahan tersebut.
“Saya dipaksa tandatangan dan dimintai juga potocopi sertifikat dan dikatakan ibu Ita saat itu, bahwa uang ini hanya tanda serius. Dan jika tanahnya tidak jadi dibeli, maka uang tersebut akan menjadi hak saya dengan percuma,” jelasnya.
Setelah itu ia kemudian diberikan uang sebesar Rp. 1 juta, yang dikatakan sebagai tanda serius (DP). Namun lantaran takut dan juga belum berkoordinasi dengan saudaranya, maka pada malam hari uang tersebut dikembalikan ke Kadus. Namun tidak mau diterima oleh sang Kadus. Hingga kemudian keesokan harinya baru bisa bertemu dengan orang yang memberikan uang tersebut (Ita), dan langsung dikembalikan.
Sedangkan Amaq Hus yang telah diberikan DP sebesar Rp. 5 juta, dengan total lahan seluas 1,10 ha mengaku juga dipaksa menerima uang DP tersebut. “Saya tidak mau menjual karena tanah itu belum saya bagi dengan saudara saya. Tapi karena diancam tidak akan ada jalan untuk menuju ke lahan saya, karena semua lahan telah dibeli, sehingga kemudian terpaksa terima,” katanya lugu.
Sementara Ketua RT 04 Kemong, Amaq Mukhtar menyayangkan sikap tim yang dipercaya perusahaan tersebut. “Jika ini dilakukan dengan itikad baik, dengan mengumpulkan pemilik lahan, dan bukan mereka didatangi satu persatu dengan harga yang berbeda pula, maka tidak akan seperti ini,” katanya.
Selama ini juga tidak pernah dilakukan sosialisasi oleh pihak perusahaan pada pemilik lahan. Sehingga begitu mereka didatangi satu persatu, warga tentu merasa kaget, dan belum siap. Terlebih lahan yang dimiliki adalah bukan sepenuhnya hak mereka.
Menanggapi hal ini, pihak yang ditunjuk perusahaan untuk pembebasan lahan, Ikbal saat dihubungi Radar Lombok melalui selulernya membantah keras jika pihaknya dalam upaya pembebasan lahan tersebut melakukan pemaksaan, terlebih intimidasi. “Tidak benar semua itu, dan kita telah melaksanakan sosialisasi sebelumnya dari tingkat Dusun sampai Desa,” jelasnya.
Dikatakan pula, hadir sosialisasi saat itu adalah Polmas, Babinsa, hingga perangkat Desa dan tokoh masyarakat. Namun tidak mengundang pemilik lahan, lantaran bukan membahas tentang pembebasan lahan, melainkan rencana tentang kehadiran perusahaan tambak tersebut.
Menurutnya, tidak ada warga yang menolak untuk menjual lahannya, kecuali satu orang, yaitu Amaq Mahsup. Bahkan kemudian Amaq Mahsup dituding balik telah melakukan penipuan, hingga berujung dilaporkan ke Polisi. “Hanya dia yang menolak, dan kita sudah laporkan ke Polisi karena telah melakukan penipuan. Dimana saat kita cari selalu menghilang,” paparnya.
Terkait pengembalian DP juga dibantah Iqbal, bahwa yang bersangkutan menurutnya tidak pernah mengembalikan DP seperti yang dikatakan pada wartawan. “Itu pengakuannya dia. Tidak pernah dia mengembalikan uang,” tegasnya seraya menantang yang bersangkutan untuk membuktikan ucapannya tersebut di hadapan hukum. (lal)