Warga Jemput Paksa Jenazah Pasien Covid-19

Camat dan Kades Disandera

JEMPUT PAKSA : Ratusan warga Desa Mekarsari Kecamatan Gunungsari datang ke RSUD Kota Mataram untuk menjemput paksa jenazah pasien Covid-19, Senin malam (6/7). (ALI MA’SHUM/RADAR LOMBOK)
JEMPUT PAKSA : Ratusan warga Desa Mekarsari Kecamatan Gunungsari datang ke RSUD Kota Mataram untuk menjemput paksa jenazah pasien Covid-19, Senin malam (6/7). (ALI MA’SHUM/RADAR LOMBOK)

MATARAM – Fenomena pandemi virus corona kembali menimbulkan masalah. Keluarga pasien almarhumah MS, 47 tahun, asal Dusun Erat Mate Desa Mekarsari Kecamatan Gunungsari, Lombok Barat, tak terima keluarganya dinyatakan positif corona. Keluarga pasien juga tak setuju jika jenazah almarhuman dimakamkan sesuai protokol kesehatan (prokes) Covid-19.

MS dinyatakan meninggal dunia sekitar pukul 16.00 Wita, setelah dirawat di ruang isolasi Graha Mentaram RSUD HM Ruslan Kota Mataram. Awalnya, pihak rumah sakit bertahan ingin memakamkan pasien sesuai prokes Covid-19. Namun, keluarga pasien tetap tak setuju.

Penolakan itu ternyata berdampak pada warga asal pasien. Mereka kemudian berbondong-bondong mendatangi RSUD HM Ruslan Kota Mataram, Senin malam (6/7). Awalnya, hanya ratusan warga berdatangan ke RSUD Kota Mataram menjelang magrib. Mereka datang bermaksud untuk mengambil jenazah MS. Namun ditolak oleh petugas rumah sakit.

Penolakan itu semakin memicu emosi warga. Mereka kemudian datang dengan gelombang massa lebih banyak. Mereka datang menggunakan truk, mobil bak terbuka, dan sepeda motor. Semakin banyaknya warga yang datang tidak bisa dihalau oleh petugas gabungan TNI-Polri.

Sekitar pukul 20.00 Wita, warga merangsek mulai masuk ke halaman RSUD Kota Mataram. Semakin tidak terbendung, warga ingin langsung masuk ke ruang Graha Mentaram. Petugas yang berjaga tidak kuasa menghalau massa. ‘’Warga itu tidak percaya almarhumah meninggal karena Covid-19. Mereka merasa meninggalnya itu karena awalnya kecelakaan. Berdasarkan itu warga ingin mengambil paksa,’’ ujar Kabag Ops Polresta Mataram, Kompol Taufik yang ditemui dilokasi.

Mediasi yang diupayakan gagal. Padahal, aparat sudah mendatangkan Kades Mekarsari, Camat Gunungsari, Danramil, Kapolsek, dan Kepala Puskesmas Gunungsari didatangkan untuk menyampaikan dampak jika jenazah tetap dibawa tanpa prosedur penanganan covid. ‘’Tapi masyarakat datang dengan jumlah sangat banyak, kami tidak mampu berbuat banyak,’’ katanya.

Proses mediasi yang dijalankan sangat alot. Pihak RSUD tetap tidak mengizinkan jenazah dibawa tanpa prosedur penanganan Covid-19. Warga kemudian bersedia menandatangani surat pernyataan penolakan tindakan prosedur penanganan Covid-19. Bahwa RSUD selanjutnya tidak bertanggungjawab terhadap segala sesuatu yang terjadi di luar rumah sakit.

Pihak keluarga pasien bersedia menerima konsekuensi hukum sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Masalah timbul setelah Camat Gunungsari, M Mudasir dan Kades Mekarsari, Nasrudin tidak bersedia menandatangani surat pernyataan. Keduanya disandera warga untuk menandatangani surat pernyataan. Keduanya lalu menandatangani surat pernyataan tersebut. ‘’Karena harus tanda tangan diminta warga. Alot soalnya tadi, mediasi juga tidak jalan. Kita memilih untuk mencari jalan tengah supaya tidak berbenturan dengan masyarakat. Jumlah mereka sangat banyak dan dalam keadaan emosi. Ada yang buka baju segala macam,’’ ungkapnya.

Camat Gunungsari, M Mudasir dengan wajah pucat menyampaikan, warga sudah tidak bisa dibendung. Warga tetap menginginkan almarmuham harus dibawa pulang. Tapi dari rumah sakit menyatakan dibawa pulang dengan menggunakan prosedur covid. ‘’Salah satu yang tidak diterima warga dilakukan tayamum di sini. Harus dimandikan di rumah maunya. Kami awalnya bertahan, tapi gelombang warga semakin mendesak kita. Akhirnya kesepakatan dan diizinkan pulang dan yang memandikan menggunakan APD lengkap dari puskemsas. Itu pun yang memandikan terbatas mungkin 10 orang,’’ terangnya.

Mudasir bisa tersenyum saat mengingat sempat disansera warga. Dia terus didesak untuk tanda tangan dengan niat menjaga fasilitas milik RSUD Kota Mataram. Karena warga terlihat sudah tidak bisa dibendung, portal rumah sakit mulai digoyang-goyang warga. Dia tidak ada pilihan lain selain tanda tangan. ‘’Kita tanda tangan dan menyaksikan pernyataan keluarga itu. Dia sanggup melaksanakan prosedur covid itu. Semua dusun di Mekarsari saya lihat bergerak ke sini,’’ jelasnya.

Setelah itu, jenazah almarhumah dikeluarkan. Namun warga tidak membawa kendaraan khusus untuk membawa jenazah almarhumah. Taksi yang saat itu melintas disetop oleh warga. Pengemudi taksi juga tidak ada pilihan lain dan bersedia membawa jenazah almarhumah.

Nasrudin juga mengatakan, wargaya sudah tidak bisa dibendung untuk datang ke RSUD Kota Mataram. Dia bersama Camat Gunungsari tidak ada pilihan lain dan segera tanda tangan. ‘’Kalau saya tidak tanda tangan, mati saya sama Pak Camat. Habis sudah saya sama Pak Camat,’’ kata dengan suara bergetar.

Dia tidak ada plihan lain karena mempertimbangkan fasilitas rumah sakit yang bisa saja dirusak warga. Dia juga khawatir adanya benturan antara warga dan aparat. ‘’Itu yang kita khawatirkan. Jadi harus ikut tanda tangan,’’ terangnya.

Jubir Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Covid-19 Kota Mataram, I Nyoman Suwandiasa mengimbau, agar tidak melakukan tindakan anarkis. ‘’Kami mengimbau masyarakat memedomani protokol covid. Percayakan kepada pemerintah untuk penanganannya. Karena apa yang dilakukan untuk menyelamatkan pribadi, keluarga dan masyarakat secara keseluruhan,’’ katanya.

Humas RSUD Kota Mataram, Dewi Ayu Feronika mengatakan, jenazah yang dibawa tersebut terkonfirmasi positif Covid-19.
Hal itu diketahui setelah dilakukan swab.
“Jenazah dirawat sejak dua hari yang lalu dengan kondisi sudah cukup parah. Dia kemudian meninggal dunia,” ungkapnya.

Jenazah kemudian direncakan untuk dimakamkan sesuai protokol pada malam harinya.
Tapi pihak keluarganya dan juga masyarakat asal Gunungsari datang dengan jumlah banyak mengambil paksa jenzah. “Kami tidak bisa berbuat apa-apa karena juga menjaga rumah sakit. Di sini banyak pasien lain sedang dirawat. Untuk itu biarkan mereka membawa pulang jenazah dengan syarat membuat surat pernyataan,” tutupnya.

Wali Kota Mataram, H Ahyar Abduh mengeluarkan pernyataan populis. Ahyar mewajibkan warga Ibu Kota Provinsi NTB melakukan rapid tes dan swab mandiri di pusat kesehatan milik Pemkot Mataram. Seperti RSUD Kota Mataram dan 11 puskesmas yang tersebar di daerah itu.

Ahyar meminta pusat layanan kesehatan di luar milik Pemkot Mataram, seperti rumah sakit swasta dan milik institusi lainnya agar tidak melayani rapid test dan swab mandiri. Warga yang membutuhkan pelayanan rapid dan swab mandiri agar diarahkan ke RSUD Kota Mataram dan seluruh puskesmas di Mataram. “Ini saya meminta, bukan melarang. Tolong itu digaris bawahi,” terang Ahyar.

Konsekuensi akibat permintaan itu pun sudah dipersiapkan. Pemkot Mataram pun memberikan layanan gratis untuk warganya. Baik itu rapid tes maupun swab mandiri di RSUD Kota Mataram dan puskesmas. “Tidak perlu membayar, silakan saja,” katanya.

Tentang kesiapan Kota Mataram melaksanakan rapid tes dan swab mandiri ini, Ahyar memastikan tidak ada masalah. “Sejak hari ini (kemarin) wajib untuk warga Kota Mataram yang melaksanakan rapid tes dan swab mandiri itu RSUD Kota Mataram dan puskesmas yang ada. Syaratnya itu sebenarnya hanya menunjukkan dokumen KTP dan surat keterangan. Bahwa dia itu memang warga Kota Mataram. Kita berikan pelayanan gratis. Apalagi dengan kondisi sekarang ini. Sekarang kita sudah alat PCR,” tandasnya. (gal/der)

Komentar Anda