Wajah Hukum di NTB masih Buruk

Ada Kasus Intervensi Putusan Hakim

Wajah Hukum di NTB
WAJAH HUKUM : Aktivis mahasiswa saat berdemo menuntut penuntasan sejumlah kasus hukum di depan gedung DPRD NTB belum lama ini. (Dok/RADAR LOMBOK)

MATARAM – Koordinator Kantor Penghubung Komisi Yudisial (KY) NTB, Ridho Ardian Pratama, memaparkan buruknya kondisi penanganan hukum di Provinsi NTB. Hal itu disampaikan sebagai catatan akhir tahun 2018 untuk dijadikan bahan introspeksi. 

Menurut Ridho, kekuasaan yang dimiliki oleh para pejabat, bukan sekedar isu belaka dijadikan sebagai alat intervensi penegakan hukum. “Ada juga laporan resmi yang masuk ke KY, bahwa kekuasaan mengintervensi hakim yang tangani kasus,” ungkapnya, Kamis kemarin (27/12).

Ridho sendiri tidak bisa mengungkap secara detail kasus apa dan pejabat mana yang melakukan intervensi terhadap hakim. Namun yang pasti, telah ada laporan dan diproses oleh KY. 

KY sendiri terus melakukan pemantauan dan pengawasan. Apalagi, praktek penyalahgunaan wewenang sudah bukan barang baru. Adanya hakim yang meminta uang kepada pihak berperkara bukan hanya terjadi di luar daerah, tetapi juga ada di wilayah NTB. Banyak catatan KY terkait penegakan hukum di NTB. “Efek jera masih kurang di NTB. Contohnya ada kepala BPN di salah satu kabupaten, dia sudah tersangka tapi tidak ditahan,” sesalnya. 

Pengadilan juga dianggap lamban bekerja. Banyak kasus yang ditangani. “Di kepolisian dan kejaksaan terkesan banyak kasus lamban ditangani. Setelah di pengadilan juga lambat. Kadang masyarakat sampai sudah lupa perkara tersebut,” ucapnya. 

BACA JUGA: Berulang Kali Beraksi, Begal Sadis Dihadiahi Peluru

Ada pula informasi yang diterima bahwa putusan sebuah kasus korupsi bisa diringankan hanya karena terdakwa akan melakukan ibadah haji pada tahun berikutnya. Hal-hal semacam itu katanya, tentu saja sangat mencederai rasa keadilan. 

Ditegaskan Ridho, sudah sarusnya hakim lebih besar rasa empatinya terhadap kasus korupsi. Bukan justru berempati pada tersangkanya. “ Ini kan kasus korupsi, harusnya ancaman diperberat. Agar ada efek jera. Sekarang dan kedepan, bagaimana hakim bisa lebih peka terhadap kasus korupsi. Itu jadi tugas kita bersama melakukan pemantauan,” ujarnya. 

Ridho juga menyentil beberapa vonis tindak pidana korupsi (Tipikor) yang ada di NTB. “ Mengapa perkara Tipikor yang diajukan KPK, kualitasnya jauh melebihi yang dilakukan kejaksaan. KPK lebih bisa jerat koruptor dengan hukuman berat, sementara kejaksaan tidak. Padahal ilmu dan pasalnya sama. Ini harus jadi evaluasi bersama,” tegas Ridho. 

Baca Juga :  Uang Muka Labuhan Haji, Pemkab Tempuh Upaya Hukum

Catatan penegakan hukum di Provinsi NTB memang cukup kelam. Tahun 2017 lalu saja NTB masuk peringkat 10 nasional terkait dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh hakim. 

Banyak putusan yang dilaporkan karena diduga hakim bermain mata. “Tahun 2018, banyak juga hakim yang dilaporkan. Hakim sebaiknya menjaga diri. Taati kode etik. Kalau hakim tidak menjalankan tugas dengan baik. Kalau ada hakim yang komunikasi atau bermain, hukumannya berat,” tutup Ridho.

Koordinator Solidaritas Masyarakat untuk Transparansi (Somasi) NTB Johan Rahmatullah juga memberikan penilaian buruk terhadap penegakan hukum di NTB. Banyak kasus yang menjadi tidak jelas. Penanganannya juga lamban. 

BACA JUGA: Pemuda Ini Nekat Mencuri Demi Malam Tahun Baru

Disampaikan, untuk kasus korupsi saja tahun 2018 terdapat 132 kasus. Sebanyak 39 kasus tahap penyelidikan, 33 kasus penyidikan, 39 kasus sudah vonis dan 8 kasus tidak jelas. “Ada 12 kasus belum ditangani, itu di luar 8 kasus yang tidak jelas ditutup,” ungkapnya.

Sementara itu masih soal penegakan hukum, Soliditas Masyarakat untuk Transparansi (Somasi) mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera menuntaskan dugaan korupsi yang melibatkan mantan pejabat di NTB. “Kita terus pantau kasusnya. Ini bukan sekedar soal adanya dugaan kuat keterlibatan TGB saja. Tapi dugaan kerugian negara sangat besar pada kasus tersebut. Makanya kita minta agar KPK segera menuntaskannya,” tegas Koordinator Somasi NTB Johan Rahmatulloh.

Saat ini kata Johan, kasus dugaan korupsi tersebut seperti tenggelam. Tidak ada perkembangan signifikan. Padahal, menjadi hak publik untuk mengetahui kelanjutannya. Bukan justru didiamkan dan digantung seperti saat ini. Somasi sendiri terus berupaya melakukan komunikasi dengan pihak-pihak terkait untuk mempercepat KPK menuntaskannya. “ Kita sudah percaya pada KPK, makanya kita desak KPK supaya kasus ini tidak terkesan ditutupi. Apalagi kasus ini sudah tersebar luas,” katanya. 

Johan khawatir dengan sikap KPK yang tidak jelas, bisa mengurangi kepercayaan publik. Jangan sampai kasus besar tersebut menjadi tenggelam dan dilupakan. “Kalau ditutup-tutupi begitu, ya sama saja dengan penegak hukum lain. Jangan sampai KPK begitu,” harapnya. 

Dalam kasus tersebut, diduga kerugian negara akibat divestasi dan penjualan saham PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) mencapai Rp 223,69 miliar. Kerugian tersebut juga tidak lepas dalam penjualan saham milik PT Daerah Maju Bersaing (DMB). Mengingat PT Multi Daerah Bersaing (MDB) menjual 24 persen saham seharga US$ 400 juta Dolar Amerika. Seharusnya, DMB menerima 100 juta Dolar Amerika, namun yang diterima 40 juta Dolar saja. 

Baca Juga :  Dikpora Bangga Kasek Mengerti Hukum

Menurut Johan, KPK sangat lamban menangani kasus tersebut. Padahal, nilai kerugian negara sangat besar. “Ini menjadi PR besar KPK. Jangan sampai, KPK seperti lembaga penegak hukum lainnya. Kita akan tetap kawal,” kata Johan.

Modal awal yang dikeluarkan untuk membeli 24 persen divestasi saham oleh PT MDB sebesar Rp 8,6 triliun. Hasil appraisal terakhir sebelum saham dijual, nilai saham MDB 24 persen tersebut sekitar 500 juta dolar Amerika atau setara dengan Rp 6,5 triliun lebih (asumsi 1 dolar sama dengan 13 ribu rupiah – red). 

PT DMB memiliki 6 persen dari 24 persen tersebut, maka jumlah uang yang akan didapat PT DMB sekitar Rp 1,6 triliun. Namun karena saham dijual murah dengan harga 400 juta dolar Amerika, maka seharusnya PT DMB mendapatkan 100 juta Dolar Amerika. Faktanya, nilai yang diterima sangat jauh lebih rendah. 

BACA JUGA: Komplotan Begal Sadis Berhasil dilumpuhkan

Berdasarkan data yang dimiliki Radar Lombok, penandatanganan jual beli saham 24 persen PTNNT antara PT AMI dengan PT MDB dilaksanakan pada tanggal 30 Juni 2016. Jual beli bersyarat atau yang dikenal dengan istilah Conditional Sale and Purchase Agreement (CSPA) itu berjalan lancar, yang kemudian pada tanggal 24 oktober 2016 telah diubah melalui Amended and Restated CSPA.

Selanjutnya, tanggal 2 Nopember 2016 seluruh syarat yang telah disepakati terpenuhi. Uang penjualan saham juga sudah clear and clean antara kedua belah Pihak. Sehingga pada tanggal 2 Nopember 2016 itulah secara resmi PT MDB dan PT AMI menandatangani Akta pengalihan Saham.

Direktur Penindakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Brigjen Pol Firli yang dimintai tanggapannya, lebih memilih untuk tidak berkomentar. Firli hanya membaca pertanyaan Radar Lombok yang dilayangkan via WhatsApp. Begitu juga dengan Juru bicara KPK, Febri Diansyah.(zwr)

Komentar Anda