Wacana Pembatasan Pemakaian Jilbab Syar’i di RSUD Mataram Disesali

TIDAK DIBATASI: MUI Kota Mataram meminta RSUD Kota Mataram tidak membatasi penggunaan jilbab untuk karyawannya.(ALI MA’SHUM/RADAR LOMBOK)

MATARAM–Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Mataram menentang rencana Direktur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Mataram untuk mengatur pakaian tenaga kesehatan (nakes) atau karyawati muslimah. Di antaranya larangan menggunakan rok dan harus menggunakan celana panjang serta jilbab tidak boleh terurai
di dada.

Kemudian yang paling banyak disoal
adalah tentang rencana larangan menggunakan jilbab syar’i atau jilbab besar. MUI meminta RSUD Kota Mataram tidak membatasi penggunaan jilbab syar’i ataupun jilbab kecil di rumah sakit Pelat merah tersebut.

‘’Saran kami lebih baik tidak ada pembatasan jilbab besar atau kecil yang penting berjilbab dan sopan,’’ ujar Ketua MUI Kota Mataram, TGH Ahmad Muammar Nasrullah kepada Radar Lombok, Minggu (29/1).

Dia mengatakan, RSUD Kota Mataram
tidak perlu untuk mengeluarkan kebijakan tentang penggunaan jilbab
syar’i dan jilbab kecil. Karena yang
terpenting adalah kinerja pegawai
tetap maksimal dan tidak terganggu dengan jilbabnya. ‘’Artinya tidak ada yang rugi dan dirugikan. Sabda Nabi la dharar wala dhirar (tidak ada yang rugi dan dirugikan) semuanya untung dan nyaman, itu prinsip agama,’’ katanya.
Terlebih, rencana kebijakan tersebut menuai polemik karena begitu banyak aspirasi dari internal pegawai RSUD agar rencana tersebut tidak menjadi kebijakan.

Alasannya karena sejak awal tidak ada larangan tentang pakaian di RSUD Kota Mataram. Nakes atau karyawati pun
sudah bertugas dengan baik. Jika
menjadi kebijakan dikhawatirkan ada
diskriminasi di RSUD Kota Mataram.
Tentang ini, MUI Kota Mataram akan
meminta penjelasan langsung dari
manajemen rumah sakit. ‘’Makanya kami perlu tabayyun dulu kepada pihak RSUD apa alasannya sehingga melarang jilbab besar. Dari beberapa pendapat yang muncul karena saat bekerja dengan jilbab besar tidak maksimal pelayanan penanganan pasien, Insyaallah ini belum valid kami akan kroscek dulu,’’ katanya.

TGH Ahmad Muammar menjelaskan,
disebut syar’i bukan hanya jilbab besar saja. Jilbab kecil pun sudah disebut
syar’i karena ditutup. Terpenting kata
dia terlihat sopan dan tidak menonjolkan lekuk tubuh. ‘’Lebih-lebih ini untuk kemaslahatan orang banyak. Maslahatul aam muqaddamun ala
mashlahatil khas (kepentingan umum
harus didahulukan dari kepentingan
pribadi,’’ ungkapnya.

Ketua Fraksi Amanah Bangsa DPRD
Kota Mataram, Ahmad Azhari Gufron
mengatakan, wacana tersebut sudah
membuat kegaduhan di kalangan
pegawai RSUD Kota Mataram. Aturan
berpakaian sudah diatur terutama
untuk ASN. ‘’Semestinya tidak ada
lagi wacana seperti itu karena aturan
pakaian sudah ada dasar hukumnya. Ini sangat disayangkan, karena
sudah sangat bertentangan dengan
motto Kota Mataram yang harmonis
selama ini,’’ kata Gufron.

Pimpinan DPRD Kota Mataram meminta Pemkot Mataram melakukan evaluasi secara serius terkait dengan wacana kebijakan tersebut. Sama halnya waktu kasus ada salah satu perusahan swasta yang melarang karyawanya menggunakan jilbab. Pemkot saat
itu sangat serius memberikan sikap
dan memberikan sanksi pada peru

sahan tersebut. ‘’Kita harapkan ada
sikap pemkot Mataram selaku pemilik
BLUD. Karena ini sudah membuat
para pegawai setempat tidak nyaman
bekerja,’’ katanya.
Pihaknya juga meminta RSUD mencabut wacana tersebut dan meminta
maaf secara terbuka ke karyawan dan
publik karena sudah menimbulkan
keresahan. ‘’Jangan sampai mengganggu pelayanan di rumah sakit, kita
harapkan pelayanan ke masyakat lebih
dioptimalkan,’’ pungkasnya. Wakil Ketua DPRD Kota Mataram, Abd Rachman juga sangat menyayangkan adanya wacana RSUD tersebut.

Karena selama ini, Kota Mataram
dikenal relgius dan tidak pernah
ada gesekan. Apalagi di tingkat OPD
maupun BLUD, karena penerapan
selama ini selalu berpedoman pada
aturan. ‘’Seragam pengawai itu sudah
ada aturannya,’’ katanya.

Pihaknya berharap, Pemkot Mataram
untuk bersikap terkait ini. Jangan
sampai ada yang dianakemaskan
dengan tidak diberikan tindakan.
Kekeliruan setiap kepala OPD, BLUD
di bawah tanggung jawab Wali Kota
Mataram. Sehingga pembinanya
kepengawainya harus memberikan teguran secara lisan maupun
tertulis.

Rencana ini awalnya disampaikan
oleh Direktur RSUD Kota Mataram, dr
Hj Eka Nurhayati Sp.OG saat apel pagi
pekan lalu, Selasa (24/1). Yakni nakes
atau karyawati dilarang menggunakan
rok dan harus menggunakan celana
panjang serta jilbab tidak boleh terurai
di dada. Rencana larangan menggunakan jilbab syar’i atau jilbab besar dikonfirmasi soal rencana pengaturan

pakaian pegawai di rumah sakit ini,
Direktur RSUD Kota Mataram, dr
Hj Eka Nurhayati, Sp.OG masih iritberkomentar. Dia mengatakan, hal
tersebut baru sebatas rencana dan
belum menjadi kebijakan. ‘’Saya tidak
buat kebijakan apa-apa,’’ katanya.
Begitu juga soal rencananya itu yang
menuai polemik dan menjadi pembahasan utama di internal RSUD Kota Mataram.

Lalu dengan cepat menyebar
di media sosial dan banyak mendapat
kritikan. ‘’Ya tanya orang yang menyebarkan,’’ ungkapnya singkat.
Asisten I Setda Kota Mataram, Lalu
Martawang mengatakan, wacana tersebut jangan dinilai sudah final. Apa
yang disampaikan pimpinan RSUD
juga belum menjadi kebijakan. RSUD
tetap menghormati karyawannya. ‘’Itu
bagian dari cara dia berkomunikasi
apakah responsnya positif atau seperti apa. Kalau sekarang responsnya
seperti ini tentu itu akan dibahas.
Jangan kita keburu menjustifikasi ini
ternyata begini atau apa,’’ terangnya.

Tentang sikap Pemkot Mataram
menyikapi persoalan tersebut,
Martawang mengatakan, Pemkot
Mataram tentunya belum menentukan sikap karena apa yang disampaikan Direktur RSUD Kota Mataram belum menjadi kebijakan.

‘’Ini kan seperti wacana yang dibuka.
Ketika wacana itu dibuka seperti
apa responsnya. Setelah itu, baru
rumah sakit mengambil kebijakan.
Ini belum apa-apa, terlalu prematur
ini dibawa ke level paling tinggi,’’
jelas Martawang. (gal/dir)

Komentar Anda