Vonis Lepas Bos PT Sinta, Akademisi : Memalukan

Taufan MH (ISTIMEWA/RADAR LOMBOK)

MATARAM — Vonis lepas dari segala tuntutan hukum (onslaghvan rechtsvervolging) yang dijatuhkan hakim Pengadilan Tinggi (PT) Mataram terhadap Direktur PT Sinta Agro Mandiri, Aryanto Prametu terdakwa kasus proyek pengadaan benih jagung tahun 2017 lalu menuai sorotan.

Akademisi Universitas Mataram, Taufan MH menilai kasus ini dari dua aspek yakni aspek formil dan materiil. Dari aspek formil, dikatakan berkaitan dengan penegakan hukum. Dalam kasus ini, Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB sudah mendeteksi perbuatan yang dilakukan oleh Aryanto merupakan perbuatan tindak pidana. “Seseorang yang sudah ditetapkan sebagai tersangka dan sudah dilakukan penahanan itu orang yang diduga kuat melakukan tindak pidana,” katanya.

Adapun terkait dengan dilepasnya Aryanto dari segala tuntutan hukum, baginya, hal itu karena adanya kerentanan penegakan hukum yang terjadi mulai dari proses awal bergulirnya kasus ini. Ia juga menilai bahwa tidak ada analisis yang mendalam dari kejaksaan untuk melihat ini sebagai perbuatan pidana. “Artinya, ini juga mengindikasikan jaksa tidak maksimal untuk mengarahkan ini sebagai perbuatan pidana. Kalau dicermati, putusan lepas itu adalah putusan yang unsur-unsurnya terbukti, namun bukan tindak pidana. Kasus inikan dari awal diselidiki, menurut saya tidak dilakukan analisis. Seharusnya dari awal ini sudah cermat dianalisis, bagaimana peran penegakan hukum dari kejaksaan. Untuk menganalisis ini bahwa hanya pelanggaran administrasi,” sebutnya.

Dikatakan, lepasnya Aryanto Prametu ini dari tuntutan segala hukum menandakan kegagalan penegak hukum atau hal yang memalukan. Selama ini yang dikerjakan membuktikan perbuatan, namun perbuatan itu bukan pelanggaran pidana, melainkan terbukti melakukan perbuatan melanggar administrasi.

Dalam kasus ini, ia juga melihat adanya ketidakcermatan dari seorang hakim. Dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (tipikor), ia menyebutkan pasal yang sering digunakan yaitu pasal 2. Sementara jika diperdalam, ada pasal lain yang bisa dipergunakan. “Jangan dipaksakan memakai pasal 2 kalau memang tidak memenuhi. Namun kembali ke fakta, bahwa direktur PT SAM, bagian dari pasal 2 yang diterapkan. Penekanan saya adalah kemungkinan penggunaan pasal lain yang melibatkan swasta atau korporasi harus digali, soalnya pasal 2 ini menguntungkan pribadi atau korporasi. Sehingga, jika tidak terdeteksi oleh pasal 2 ini, masih ada pasal lain. Kalau ada pasal lain, kan bisa dibuktikan. Tidak sampai lepas seperti ini,” tuturnya.

Di sisi lain, ia menjelaskan bahwa kewenangan dari Pengadilan Tinggi dalam istilah hukumnya disebut judex juris. Pengadilan Tinggi bertugas mengecek penerapan hukumnya suatu perkara. Melihat dari sebuah keputusan yang dihasilkan itu, lanjutnya, dari perbuatan pidana ke administrasi, seharusnya diputusan itu juga dicantumkan pelanggaran administrasi apa yang dilanggar. “Tugasnya Pengadilan Tinggi menyesuaikan apakah aturan itu sudah sesuai atau tidaknya. Jadi pengadilan tinggi tidak menggali fakta, di judex juris ini tugasnya pengadilan tinggi sampai ke Mahkamah Agung (MA),” imbuhnya.

Baca Juga :  Pembayaran Lahan Warga Dipastikan sebelum WSBK

Sementara dari aspek materiil, dalam kasus ini yang bersangkutan ialah pihak swasta. Dalam perkara ini juga hanya menggunakan pasal 2 dalam hukum yang dilanggar. Tentu hal itu merupakan sesuatu yang yang menguntungkan bagi yang bersangkutan.

Semestinya, kata dia, hakim lebih menggali lagi penerapan hukum dalam pasal 2 ini. Pelanggaran administrasi apa yang dimaksudkan, karena dalam pelanggaran administrasi ini yang paling mungkin dilakukan oleh pejabat negara. “Yang paling mungkin melakukan pelanggaran administrasi ialah pejabat negara, kalau kita merujuk pada undang-undang 30 tahun 2014 tentang Administrasi Negara. Melihat dari putusan itu, saya tidak menyangka. Apalagi melihat dari pemberantasan korupsi di Indonesia, ini hal yang memalukan sebenarnya. Kalau memang lepas, seharusnya dari awal kasus tidak usah naik. Itukan logikanya, karena kasus ini bukan tindakan pidana,” cetusnya.

Dalam kasus ini, ia lebih menyoroti kinerjanya kejaksaan dan hakim, karena pada dasarnya jaksa yang menggali bukti-bukti yang ada. Harusnya jaksa sudah menyiapkan semua komponen untuk meyakinkan bahwa yang bersangkutan melakukan tindak pidana, bukan melanggar administrasi. “Ini terbukti bersalah, tapi bukan tindak pidana. Inikan hal yang lucu dan hanya menghabiskan anggaran,” kritiknya.

Putusan lepas dari segala tuntutan hukum yang diterima oleh Aryanto Prametu karena pihak kejaksaan yang kurang mendalam menganalisis. Sehingga hakim yang memberikan putusan juga tergantung dari alat bukti yang diberikan oleh pihak kejaksaan. “Makanya saya lebih menyoroti di jaksa dan kedua hakimnya yang terlalu dangkal melihat norma ini. Karena fungsinya Pengadilan Tinggi ini judex juris, ” katanya.

Sedangkan untuk tiga rekanan terdakwa kasus pengadaan benih jagung tahun 2017 ini, yang mendapatkan potongan vonis masing-masing dua tahun, secara norma, ia mengatakan bahwa hal itu sah saja. Hanya saja potongan yang diberikan itu mengendorkan semangat. “Kalau soal aturan, orang-orang penegak hukum ini yang paling tahu. Tapi kalau saya melihat, ini semacam mengendorkan semangat. Semacam memberikan toleransi,” pungkasnya.

Sebelumnya, hakim Tipikor PN Mataram pada 10 Januari 2022, menjatuhkan pidana 8 tahun penjara dengan denda Rp 400 juta subsider 3 bulan kurungan. Serta membayar uang pengganti kerugian negara Rp 7,87 miliar subsider satu tahun kurungan. Aryanto dinyatakan hakim terbukti melanggar Pasal 2 Ayat 1 Juncto Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 20/2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 Ayat 1 Ke-1.

Baca Juga :  Belum Setahun Menjabat, Kajati NTB Dimutasi

Vonis terdakwa Aryanto Prametu lebih rendah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Sebelumnya, ia dituntut dengan pidana penjara selama 9 tahun. JPU juga menuntut terdakwa membayar denda sebesar Rp 600 juta subsider 4 bulan kurungan. Membebankan terdakwa untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 7,874 miliar subsider 4 tahun 6 bulan kurungan.

Kasus korupsi pengadaan benih jagung di NTB tahun 2017 menelan anggaran sebesar Rp 48,25 miliar. Pengadaan benih jagung ini yang dikerjakan dua tahap. Tahap pertama dikerjakan PT SAM dengan anggaran Rp 17,25 miliar untuk pengadaan 480 ton benih jagung. Tahap dua PT Wahana Banu Sejahtera (WBS) dengan anggaran Rp 31 miliar untuk 840 ton benih jagung.

Berdasarkan audit BPKP bahwa perhitungan kerugian keuangan negara dalam proyek itu mencapai Rp 27,3 miliar. Pada pengadaan tahap pertama hasil perhituangan kerugian negaranya sebesar Rp 15,433 miliar. Sedangkan pengadaan tahap kedua perhitungan kerugian keuangan negara sebesar Rp 11,92 miliar.

Dalam penanganan perkara ini sejak tahap penyelidikan, Pidsus Kejati NTB telah berhasil menyelamatkan keuangan negara sebesar Rp 10,5 miliar. Yakni pengembalian pada kas negara oleh PT. SAM sekitar Rp 7,5 miliar dan pengembalian oleh PT. WBS sekitar Rp 3 miliar.

Jika Aryanto divonis lepas, terdakwa lainnya mantan Kadistanbun NTB Husnul Fauzi mendapat keringanan hukuman. Sebelumnya, Husnul Fauzi pada pengadilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri Tipikor Mataram mendapat vonis hukuman pidana penjara selama 13 tahun dan denda Rp 600 juta subsider 4 bulan kurungan. Selanjutnya di tingkat banding, upaya hukum di Pengadilan Tinggi Mataram, Husnul Fauzi pada 23 Maret 2022, mendapat potongan hukuman dua tahun penjara.

Sementara, Ida Wayan Wikanaya selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PKK) sebelumnya pada pengadilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri Tipikor Mataram mendapat vonis dengan pidana penjara selama 11 tahun dan denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan. Selanjutnya di tingkat banding, upaya hukum di Pengadilan Tinggi Mataram, Ida Wayan Wikayana pada Rabu, 23 Maret 2022, mendapat potongan hukuman dua tahun penjara.

Sedangkan untuk Direktur PT Wahana Banu Sejahtera (WBS) Lalu Ikhwanul Hubby sebelumnya pada pengadilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri Tipikor Mataram divonis pidana penjara selama 8 tahun dan denda Rp 400 juta. Selanjutnya di tingkat banding, upaya hukum di Pengadilan Tinggi Mataram, Lalu Ikhwanul Hubby pada 23 Maret 2022, mendapat potongan hukuman dua tahun penjara.(cr-sid)

Komentar Anda