MATARAM — Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (Pemprov NTB) menaruh perhatian serius terhadap fenomena viral tarian erotis yang kerap muncul dalam pertunjukan kesenian tradisional di Lombok.
Hal ini menjadi perhatian khusus Gubernur NTB, Dr. H. Lalu Muhamad Iqbal, yang menekankan pentingnya membedakan antara pelestarian budaya dan praktik budaya yang merusak nilai-nilai moral, serta merendahkan perempuan.
Dalam pernyataannya kepada wartawan, Gubernur Iqbal menekankan bahwa kesenian tradisional adalah bagian penting dari identitas kultural masyarakat NTB. Namun jika pertunjukan budaya tersebut, menyimpang dari nilai-nilai kesusilaan dan mengandung unsur eksploitasi terhadap perempuan, maka negara tidak boleh tinggal diam.
“Budaya tetap harus dilestarikan. Tapi budaya tidak boleh mengeksploitasi perempuan. Budaya itu harus mengedukasi, membentuk karakter masyarakat, bukan menyimpangkannya,” tegas Gubernur Iqbal.
Gubernur mengisyaratkan bahwa pembahasan serius sedang berlangsung di lingkup Pemprov NTB, untuk merumuskan kebijakan yang lebih tegas dan terstruktur. Tujuannya bukan sekadar menertibkan penampilan seniman, tapi juga mengarahkan seni budaya ke jalur yang sesuai dengan nilai-nilai lokal, agama, dan adat istiadat.
“Kami tidak ingin NTB dikenal karena hal-hal yang menyimpang dari marwah budaya lokal. Kita ingin budaya yang memberi nilai positif, dan bukan justru sensasi negatif,” tambah Gubernur Iqbal.
Respon serupa juga datang dari Majelis Adat Sasak (MAS) Provinsi NTB. Ketua MAS, Dr. H. Lalu Sajim Sastrawan, menyambut baik sikap Pemprov NTB, meski menilai reaksi tersebut datang agak terlambat. Mengingat fenomena ini sudah cukup lama berkembang di masyarakat.
“Keputusan pemerintah ini meski terkesan lambat, tetap kami hargai. Ini menunjukkan bahwa Pemprov masih punya perhatian terhadap budaya Sasak dan moral masyarakatnya,” ujar Sajim.
Namun Sajim juga mengungkapkan kekecewaannya, karena hingga saat ini belum ada bentuk komunikasi maupun koordinasi resmi antara MAS dan Pemprov NTB, terkait penanganan fenomena tarian erotis tersebut.
“Kami sudah hampir dua bulan bergerak sendiri, menjalin komunikasi dengan para tokoh masyarakat, akademisi, pondok pesantren, dan lembaga budaya untuk mengedukasi masyarakat,” jelas Sajim.
Menurut Sajim, akar persoalan ini tidak hanya pada para penari atau penyelenggara acara, tapi juga pada lemahnya pengawasan dan pelaksanaan regulasi. Ia mencontohkan Peraturan Daerah (Perda) tentang pemanfaatan jalan umum, serta regulasi mengenai pornografi dan pornoaksi yang sebenarnya sudah ada. Namun regulasi ini dinilai masih belum diimplementasikan secara konsisten dan tegas di lapangan.
“Kita punya Perda-Perda itu, tapi apakah dijalankan? Koordinasi juga belum menyeluruh. Padahal kegiatan seperti Nyongkolan (salah satu adat dalam rangkaian acara pernikahan), atau Begawe (acara masyarakat) itu rutin terjadi, dan menjadi celah munculnya tarian yang tak pantas,” tegas Sajim.
MAS pun mendorong sinergi antara Pemprov, Pemkab, hingga perangkat desa, untuk membangun sistem kontrol dan pembinaan budaya yang lebih kuat. Peran Linmas (Perlindungan Masyarakat) pun dinilai harus lebih diberdayakan, bukan sekadar simbol pengamanan acara.
Sajim juga menegaskan, bahwa MAS menolak keras bentuk kesenian yang mengandung unsur erotisme, karena bertentangan dengan norma adat, agama, dan nilai kemanusiaan yang luhur. “Kami sangat menyayangkan, bahkan menyesalkan praktik tarian seperti ini. Kami dari MAS menolak keras pertunjukan erotis atas nama budaya,” tutupnya dengan nada geram. (ami)