MATARAM–Penyusunan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 9 Tahun 2016 dianggap memiliki target jangka pendek. Regulasi ini sesuai konsiderans Undang-Undang Pilkada Nomor 10 Tahun 2016.
Pengamat Politik NTB, Dr. Kadri berpendapat, undang-undang Pilkada dan PKPU itu dinilai sepenunya belum mampu akan menjawab persoalan yang muncul di pilkada. Masih banyak permasalahan terkait Pilkada yang belum diakomodir.
Pasalnya, undang-undang pilkada dianggap lebih menekankan pada pragmatisme parpol dan para elit politik. Dampak pun, undang-undang pilkada dan PKPU dinilai tak mampu menjawab persoalan.
"Kita sangat sayangkan pembuatan undang- undang dan PKPU lebih bersifat jangka pendek. Sesuai dengan selera dan kebutuhan para elit politik dan parpol," katanya, kepada Radar Lombok, Sabtu kemarin (3/12).
Dikatakan, kendati sudah banyak isu krusial sudah diakomodir dalam undang-undang pilkada tersebut, tapi masih tampak belum diatur serius. Misalnya, politik uang berupa praktek politik mahar dari paslon kepada Parpol.
Persoalan politik uang dianggapnya sudah ada perubahan dengan menyerahkan kewenangan tambahan ke Bawaslu untuk memberi sanksi. Namun, undang-undang dan PKPU tersebut tidak mengatur dengan jelas soal kategori politik uang seperti praktik mahar politik.
Menurutnya, sangat lazim ada praktek politik uang dari paslon kepada partai politik tersebut. Karena itu, sanksi politik uang seharusnya bisa ke Parpol. Namun, hal itu tak secara tegas diatur. Padahal, mahar politik untuk parpol menjadi penyakit akut Pilkada selama ini.
“Undang-Undang Pilkada belum secara tegas menjamin gugatan hasil Pilkada menjangkau semua kecurangan yang secara substantif merusak Pilkada," paparnya.
Menurutnya, untuk kepentingan jangka pendek, UU Pilkada dan PKPU ada sudah bisa diterima. Namun, tidak untuk sebuah upaya pembangunan sistem pemilu jangka panjang. UU Pilkada dan PKPU didasarkan kebutuhan-kebutuhan sesaat.
Dia menyesalkan, PKPU Nomor 9 Tahun 2016 mengharuskan anggota DPD RI/ DPR RI/ DPRD provinsi/ DPRD kabupaten kota, serta anggota TNI/ Polri/ PNS harus mundur permanen mencalonkan diri maju di pilkada. Di sisi lain, bupati/ wakil bupati dan wali kota/ wakil wali kota yang maju di pilkada gubernur tidak perlu mundur dari jabatan, tapi hanya cuti.
Dampaknya pun bakal dirasakan di birokrasi. Pasalnya, dengan PKPU itu membuka peluang lebih lebar kepada kepala daerah maju di Pilkada menjadikan birokrasi atau SKPD di lingkup yang dipimpinnya menjadi mesin politik pemenanangan bagi calon di Pilkada. Ini karena kepala daerah tersebut tidak mundur permanen tapi hanya mengajukan cuti. Praktis, jika tidak terpilih, Ia bisa kembali memimpin wilayahnya.
"Akhirnya, birokrasi atau SKPD akan bekerja ekstra bagi kemenangan calon kepala daerah tersebut," tandas pria asal Bima itu.
Menurutnya, keharusan mundur permanen bagi kepala daerah maju di Pilkada untuk meminimalisir atau menghindari birokrasi atau SKPD dijadikan mesin mobilisasi pemenangan di Pilkada. Namun dengan kondisi itu, justru birokrasi atau SKPD bakal terbebani untuk memenangkan calon kepala daerah tersebut.
"Misalnya, kalau SKPD A tidak sesuai target pemenangan, bakal calon yang kalah dan kembali jadi bupati. Tentu pejabat SKPD itu akan digusur karena tidak sesuai target," imbuhnya.
Selain itu, undang-undang pilkada juga diatur batas maksimal dukungan parpol kepada pasangan calon, hanya diatur persyaratan minimal dukungan. Dengan kondisi itu, paslon memiliki peluang sangat besar untuk memborong semua dukungan parpol.
Akibatnya, kemungkinan membatasi muncul pemimpin alternatif.
Sementara itu, Anggota DPR RI dapil NTB, Willgo Zainar mengatakan, PKPU ini adalah bukti ketidakadilan dalam hokum. Karena itu, ia meminta agar aturan tersebut harus ditinjau ulang.
Meski demikian, ia menyebut bahwa aturan ini belum final lantaran belum disahkan. Masih ada kesempatan untuk meninjau ulang kebijakan tersebut.
Ia lalu menegaskan dampak-dampak negatif yang bisa didimunculkan dari aturan ini. Misalnya, bupati atau walikota yang baru terpilih di suatu daerah dengan gampang bisa mengadu peruntungan maju di Pilgub. Akibatnya, kursi bupati dan walikota yang baru seumur jagung bisa saja dikorbankan andai benar-benar terpilih.
Sebelumnya, Ketua KPU NTB, Lalu Aksar Anshori, mengtakan, penyusunan PKPU itu dibahas dalam RDP dengan DPR yakni Komisi II dengan pemerintah diwakili Menteri Dalam Negeri. PKPU 9/2016 adalah hasil konsultasi KPU dengan DPR dan pemerintah yang sifatnya mengikat. (yan/cr-ap)