Usaha Wisata di Pemalikan Diincar Investor

Plang aturan pengambilan foto surfing di Desert Point Bangko-Bangko, Lombok Barat. (ZULKIFLI/RADAR LOMBOK)

KISAH WARGA PEMALIKAN TAK DIAKUI NEGARA, SUKSES BANGUN PARIWISATA (Bagian 2) 

Usaha Wisata di Pemalikan Diincar Investor

Usaha wisata warga Pemalikan Kablet di Desert Point Bangko-Bangko, memang ilegal karena tak mengantongi izin usaha di Taman Wisata Alam (TWA) Bangko-Bangko itu. Hanya saja yang patut dicontoh adalah kemandirian dan kesuksesan membangun pariwisata tanpa investor. Lantas apakah bisa negara melegalkan, agar bisa mendapatkan pajak di pantai surga para peselancar itu?

ZULKIFLI-RADAR LOMBOK

Pelaksana Harian Kepala BKSDA NTB Lalu Muhammad Fadli mengatakan, saat ini ada Peraturan Dirjen KSDAE Nomor P.6/KSDAE/SET/KUM.1/6/2018 tentang Petunjuk Teknis Kemitraan Konservasi pada Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.

Arahnya nanti, untuk zona merah di Pemalikan Kablet yang tidak mau keluar dari TWA dan rela mati itu, yakni kemitraan. “Sudah ada ruang untuk itu. Jadi saat ini kita persuasif,” ujar Kepala Seksi Konservasi Wilayah I Lombok ini, Jumat (25/6/2021).

Dijelaskan, proses mengeluarkan ribuan masyarakat dari TWA Bangko-Bangko itu sudah lengkap, dari persuasif hingga represif. Awal mula perambahan di Bangko-Bangko terjadi sejak tahun 80-an. Lalu saat Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 664/Kpts-II/92 terbit 1 Juli 1992 terkait TWA Bangko-Bangko, warga diminta keluar dan akhirnya keluar. Namun ternyata datang lagi dari berbagai daerah.

Berbagai upaya penyelesaian permasalahan telah dimulai tahun 1998 dengan sosialisasi, penyuluhan, operasi hingga proses pidana bagi pelaku perambahan, namun hal itu masih belum membuahkan hasil.

Kini sudah ada Peraturan Dirjen KSDAE soal kemitraan, akhirnya dicoba untuk bermitra pada 12 Desember 2018 dengan Kelompok Masyarakat “Lestari Bangko-Bangko” yang anggotanya sebagian besar beraktivitas dan bermukim di lokasi konflik tersebut. Kemitraan melalui pengelolaan bersama dalam pelestarian hutan dan pengembangan wisata terbatas seluas 100 hektare.

Baca Juga :  Punya Banyak Rekening Bank, tetapi Enggan Menabung dan Meminjam

Kelompok Masyarakat “Lestari Bangko-Bangko” ini diakui tidak berada di zona merah seperti di Pemalikan, melainkan zona hijau di dekat Pantai Bangko-Bangko, artinya lebih mudah didekati, karena mereka sebagian besar merupakan warga asli dari Desa Batu Putih, di pinggir TWA Bangko-Bangko. “Kita buatkan 3 shelter dan 3 bungalow di sana untuk berusaha,” jelasnya.

Peselancar menikmati ombak kidal Desert Point Bangko-Bangko, Lombok Barat. (IST MUHSIN/RADAR LOMBOK)

Fadli menambahkan, muara dari kemitraan ini adalah mendukung program pelestarian kawasan dan pengembangan wisata alam. Warga boleh mengelola pariwisata, tetapi stop perambahan atau bertani di lahan hutan. Di samping juga BKSDA mendapat penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari pengelolaan TWA, yakni untuk tiket wisatawan lokal Rp 5.000 dan mancanegara Rp 100.000 sekali masuk. Kemudian untuk penginapan, PNBP dikenakan Rp 100.000 per orang per malam. “Bisa saja nanti warga jual kamar Rp 450.000, kita dapat PNBP Rp 100.000,” terangnya.

Adapun kerja sama dengan Kelompok Masyarakat “Lestari Bangko-Bangko” ini, diakui belum diterapkan PNBP. Penerapannya diupayakan segera. Yang sudah itu di TWA Gunung Tunak, Lombok Tengah, yang warganya sempat ada kemitraan dan pembinaan dengan NGO dari Korea.

Jika di zona hijau itu sukses, maka akan dilanjutkan dengan penarikan PNBP. Lalu kemitraan ini nantinya akan diupayakan bertahap dengan warga di zona merah di Pemalikan Alit, Pemalikan Agung, dan Pemalikan Kablet dengan memberi contoh di zona hijau.

Namun nanti mereka yang akan mengelola pariwisata di Pemalikan, diharapkan bisa bermitra dengan PT Kembang Kidung, investor yang sudah memegang Izin Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam (IUPSWA) sejak tahun 2000-an, tepat di area Desert Point Bangko-Bangko itu. Tidak bisa langsung bekerja sama dengan BKSDA NTB seperti di zona hijau. “Dari dulu perusahaannya pengin membangun, tetapi ada warga yang tinggal di sana, makanya tidak jadi-jadi. Kita sempat tegur perusahaan itu,” jelasnya.

Baca Juga :  Berburu Ombak Kidal Belasan Meter di Desert Point Bangko-Bangko

Dan kalaupun nanti investor itu bermitra dengan masyarakat, maka lanjut Fadli, sesuai aturan, warga hanya boleh mengelola wisata alam. Tidak boleh adanya pertanian dan peternakan. “Jika bermitra, maka boleh mengelola, tetapi tidak memiliki,” pungkasnya.

Seperti diketahui, di zona hijau, warga sebagian besar berprofesi sebagai nelayan, tempat transaksi jual beli ikan. Keindahan pantai dan taman bawah lautnya tak kalah dengan di Desert Point Bangko-Bangko, zona merah itu. Bedanya hanya pada ombak yang menjadi incaran para peselancar, di samping lebih privasi di Desert Point Bangko-Bangko, karena letaknya yang terisolir di balik bukit dan gunung. Sehingga para penggemar olahraga ekstrem itu lebih memilih ke Desert Point Bangko-Bangko. Dan secara ekonomi, warga di zona merah, khususnya yang mengelola pariwisata dominan lebih sejahtera dibanding di zona hijau. Apalagi warga di zona merah mengelola lahan secara ilegal untuk pertanian relatif lebih luas dibanding di zona hijau, yang dominan nelayan.

Muhsin (kanan) selaku tokoh masyarakat yang dipercaya sebagai Ketua RT di Pemalikan Kablet saat duduk bersama Muhsan tokoh masyarakat Pemalikan Kablet lainnya, berdiskusi soal masa depan warga dan pariwisata di Desert Point Bangko-Bangko. (ZULKIFLI/RADAR LOMBOK)

Sementara itu, Muhsin yang dipercaya warga di Pemalikan Kablet sebagai Ketua RT belum bisa banyak berkomentar soal wacana kemitraan dengan PT Kembang Kidung yang difasilitasi BKSDA NTB itu. Apalagi soal mekanisme penarikan PNBP dan pelarangan penggarapan lahan. Muhsin mengaku, perlu dirembukkan dahulu dengan warga, baru bisa mengomentari. Apalagi belum ada sosialisasi dari BKSDA NTB. (**)

Komentar Anda