Upaya Merawat Handicraft Lobar di Pasar Nasional

KERAJINAN : Kerajinan bambu di Gunungsari. Rata-rata perajin lokal membutuhkan bimbingan motif dan desain, juga pelibatan pameran baik di tingkat lokal, regional, nasional bahkan internasional (Rasinah Abdul Igit/Radar Lombok)

Hukum industri kreatif hanya satu; bisa menghadirkan kebaruan dalam jangka waktu tertentu.  Pasar cinderamata di seluruh daerah hampir hampir seragam. Yang membedakannya adalah kreasi desain dan motif. Bagaimana dengan di Lombok Barat?

 

 


Rasinah Abdul Igit-Giri Menang


 

Ambilah contoh kerajinan gerabah. Lombok Barat memiliki sentra Banyumulek yang demikian terkenal. Tapi Banyumulek bukan bukan satu-satunya sentra di tingkat nasional. Banyumulek bersaing dengan perajin serupa di Jogjakarta, Bali dan sebagian besar daerah di Jawa Timur. Dalam perspektif pariwisata, wisatawan tidak akan membeli barang yang “itu-itu saja” setiap berkunjung ke sebuah daerah. Maka yang akan membuat Banyumulek tetap eksis adalah keberanian perajin memilih tanah berkualitas tertentu, memilih motif-motif dinding tertentu, juga keberanian mereka mengkombinasikan material lain selain tanah. “Kalau tidak demikian tetap saja handicraft kita dianggap sebagai barang nomor dua. Sebab di luar juga banyak daerah menjajakan produk serupa,” ungkap Mus (45) salah seorang pemilik artshop gerabah di Banyumulek kepada Radar Lombok belum lama ini.

Belum lama ini pemerintah daerah mengundang tutor motif gerabah dari Jawa untuk melatih perajin Banyumulek berani berkreasi lebih. Mus ikut menyertakan perajin binaannya mengikuti pelatihan singkat beberapa hari itu. Hasilnya cukup positif, perajin  menjadi tau kekurangan-kekurangan mereka selama ini. Jika tidak segera diperbaiki, bukan tidak mungkin Banyumulek sepi pengunjung juga sepi order. “ Namanya juga cinderamata. Penikmat memiliki batas kepuasan terhadap barang yang dibelinya. Biasanya waktunya pendek. Mereka lalu berburu cinderamata baru lagi, begitu seterusnya,” ungkap Mus.

Sayang pelatihan itu hanya sekali. Pelatihan tidak sampai menyentuh ratusan perajin setempat meski sebagian mereka sudah memajang produk dengan motif baru.

Ini baru soal gerabah. Bagaimana dengan Cukli, anyaman ketak, kerajinan bambu dan sebagainya? Jika kebetulan berkunjung ke beberapa pusat pariwisata luar daerah, bukankah karajinan-kerajinan seperti itu juga yang ditemukan?

Pemda juga harus menyeleraskan iklim kompetisi di kalangan perajin. Perajin dibuat mengerti akan kelemahan dan kelebihan mereka dengan menggelar jadwal pameran secara berkala. Tidak hanya tingkat lokal, tetapi juga di tingkat regional, nasional bahkan internasional. Semakin sering mengikuti eksibisi, semakin berkembang karya perajin.” Coba Pemda menggilir perajin untuk diikutkan pameran di luar daerah. Jangan beralasan tidak ada anggaran terus,” ungkap M Arwan (45) perajin bambu di desa Gunung Sari kecamatan Gunung Sari.

Pemkab Lombok Barat menjadikan kerajinan tangan sebagai salah satu sektor penambah pendapatan daerah yang paling penting sejak lama. Lewat sistem zonasi, beberapa daerah dibagi dengan potensi kerajinan masing-masing. Sebut saja Banyumulek dengan kerajinan gerabahnya, Gunungsari dengan kerajinan kayunya, dan lain-lain. Dibanding sektor lain, sektor industri kreatif di Lombok Barat terbukti meningkatkan  Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) hingga mencapai 7 persen, atau jauh lebih tinggi daripada tingkat rata-rata pertumbuhan Lombok Barat yang hanya 5 persen. Pertanian yang meskipun sebagai sektor utama, hanya menyumbang peningkatan 3 persen saja.

Sementara itu klaim hak cipta menjadi keresahan perajin dimana saja. Tiba-tiba saja karya mereka telah dipatenkan menjadi milik pereorangan dan kelompok tertentu tanpa mereka mendapatkan royalti dan penghargaan lain sebagai pemilik ide. Keresahan perajin juga harus menjadi keresahan Pemkab. Pemerintah harus getol bersosialisasi dan memediasi pengurusan paten dan hak cipta bagi perajin.Dengan itu mereka akan merasa nyaman berkreasi tanpa takut diklaim pihak lain.(*)