Pihaknya berharap agar tradisi “maleman” dengan menyalakan “dilah jojor” harus tetap dipertahankan. Hal ini penting untuk melestarikan kekayaan budaya yang miliki warga Kota Mataram.
Ia menyebutkan, nyala api dari dilah jojor ini sebagai perumpamaan cahaya Ramadan. Cahaya itu diharapkan bis amenerangi sanubari umat Islam yang sedang menjalankan puasa.
Kalangan warga dan anak-anak tampak semangat saat menancapkan dila jojor. Masyarakat biasanya membacakan salawat kepada Nabi Muhammad dan berdoa semoga bisa bertemu dengan malam Lailatul Qadar kala menancapkan dan menyalakan dilah jojor itu.
Proses penyambutan Ramadan diawali dengan zikir di masjid lalu setelah itu menikmati makanan dulang. Di masjid-masjid kampung ini juga rutin dilaksanakan tadarrus Alquran. “Setiap hari secara bergilirian jamaah mengantar dulang sebagai sangu jamaah membaca kitab suci.“Ini tradisi kami sejak dulu,” tutupnya. (*)