
MATARAM — Ratusan nelayan asal Pringgabaya, Kabupaten Lombok Timur (Lotim) melakukan aksi demonstrasi ke gedung DPRD Provinsi NTB, Kamis kemarin (16/1).
Kedatangan para nelayan itu adalah untuk menyampaikan aspirasi menolak pemasangan alat Vessel Monitoring System (VMS) pada kapal-kapal nelayan mereka.
Kesempatan itu, para nelayan diterima Sekretaris DPRD Provinsi NTB, Surya Bahari. Sementara semua Anggota DPRD NTB sedang melaksanakan sosialisasi Perda di Dapil masing-masing.
Ketua Forum Nelayan Lombok (Fornel), Rusdi Ariobo mengatakan bahwa seluruh nelayan di Lotim menolak pemasangan alat VMS pada kapal nelayan. Pasalnya, biaya pemasangan dan operasional VMS relatif mahal dan memberatkan nelayan kecil.
Pihaknya beranggapan bahwa pemasangan alat VMS lebih relevan untuk kapal besar. “Sementara kapal nelayan kecil tidak memiliki potensi pelanggaran yang signifikan,” ujar Rusdi, dalam orasinya di depan gedung DPRD NTB.
Dia mengatakan, penggunaan alat VMS sering mengalami gangguan teknis dan menghambat kegiatan operasional nelayan. Sebab itu, pihaknya meminta Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 42/PERMENKP/2015, tentang Sistem Pemantauan Kapal Perikanan berukuran lebih dari 30 GT yang beroperasi di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) untuk dicabut.
Pihaknya mendesak untuk dicabut kewajiban pemasangan VMS untuk kapal kecil, diganti dengan metode pengawasan berbasis komunitas nelayan atau teknologi sederhana yang lebih murah. “Kami meminta pemasangan VMS untuk dicabut pada kapal kecil,” tegasnya.
Selain itu, para nelayan juga menolak pembatasan kuota penangkapan ikan. Pembatasan penangkapan ikan ini akan membatasi penghasilan nelayan yang bergantung pada hasil tangkapan harian.
“Kami usul juga di cabut kebijakan kuota penangkapan ikan untuk kapal kecil,” kata nelayan asal Lotim, Setiawan.
Menurutnya, pembatasan kuota penangkapan ikan lebih menguntungkan perusahaan atau kapal besar dan merugikan nelayan kecil (kapal kecil, red). Dia juga meminta agar zona penangkapan ikan lebih dari satu wilayah pengelolaan perikanan (WPP) dicabut. Karena zona penangkapan ikan yang terbatas pada satu WPP sangat merugikan nelayan.
“Kami minta izin untuk menangkap ikan di lebih dari satu WPP, karena nelayan sering mengikuti migrasi ikan yang tidak terbatas pada satu WPP,” ungkapnya.
Selain itu, para nelayan juga menolak pendapatan negara bukan pajak (PNBP) sebesar 5 pesen yang diberlakukan pemerintah. Pihaknya meminta di diturunkan menjadi 2,5 persen.
Menurutnya, besaran PNBP yang diberlakukan itu mencekik pendapatan nelayan. Misalnya, harga acuan ikan Tuna diturunkan dari Rp 14.000 menjadi Rp 10.000. Ikan Albacore diturunkan dari Rp 14.000 menjadi Rp 5.000 dan ikan Cakalang diturunkan dari Rp 9.000 menjadi Rp 5.000.
“Harga acuan ikan ini terlalu tinggi tidak sesuai dengan harga pasar, sehingga harga tangkapan nelayan dianggap rendah,” jelasnya.
Menanggapi tuntuntan para nelayan tersebut, Sekretaris Dewan DPRD NTB Surya Bahari mengatakan semua tuntunan para nelayan akan segera ditinjau. Semua tuntutan para nelayan itu akan diserahkan ke Komisi II Bidang Perikanan dan Kelautan DPRD NTB untuk dipelajari. Sehingga semua tuntunan para nelayan segera disikapi oleh para wakil rakyat.
Namun karena tidak ada Anggota Dewan yang menemui, maka para nelayan itu siap diterima kembali pada Selasa pekan depan (21/1/). “Kami akan siapkan jadwal hari Selasa pekan depan, agar diterima langsung Komisi II DPRD NTB,” lugasnya. (yan)