Tingkatkan Kualitas, Petani Garam Butuh Sentuhan Teknologi

PETANI GARAM: Tampak salah satu petani garam di Lotim bagian selatan sedang memanen garamnya di tambak (DOK/RADAR LOMBOK)

MATARAM—Nasib petani garam hingga kini kian tak menentu. Terlebih disaat musim panen, pemerintah pusat menggelontorkan garam impor. Akibatnya, harga garam lokal menjadi anjlok. Belum lagi persoalan petani garam di NTB yang masih tradisional, menjadi persoalan mendasar yang dihadapi para petani garam.

Kepala Bidang Budidaya, Dinas Kelautan dan Perikanan (Diskanlut) Provinsi Nusa Tenggara Barat, Sasi Rustandi mengakui jika persoalan petani garam tersebut tidak hanya pada harga yang murah, tapi juga masalah belum meratanya penerapan teknologi untuk meningkatkan kualitas dari produksi garam.

“Masalah utama garam kita di NTB ini adalah kualitas dan juga harga yang begitu murah,” kata Sasi Rustandi, Senin kemarin (5/12).

Rendahnya harga jual garam menjadi salah satu penyebab berkurangnya produksi garam NTB pada tahun 2016 ini. Diakui Sasi, tak sedikit petani garam yang beralih mencari pekerjaan lain. Begitu juga dengan lahan tambak garam, banyak yang beralih fungsi, bahkan ada juga lahan garam yang tidak dimanfaatkan.

Harga garam saat anjlok bisa mencapai Rp 200/kg. Kondisi ini diperparah lagi dengan kebijakan pemerintah pusat yang menggelontorkan garam impor yang masuk ke Indonesia, sehingga daya tawar dari garam produksi lokal tidak bisa bergerak, bahkan cenderung mati.

Karena itu lanjut Sasi, Diskanlut NTB bersama kabupaten/kota terus berupaya memberikan pendampingan kepada petani garam dengan memperkuat kelompok atau mendorong membentuk lembaga koperasi. Lembaga koperasi atau kelompok petani garam itu nantinya bisa menjadi rantai pemasaran yang kuat, sehingga petani garam mendapat nilai tambah.

Selain itu, Diskanlut NTB juga membantu kelompok petani garam dalam menerapkan sentuhan teknologi HDPE untuk meningkatkan kualitas garam yang mereka produksi. Dengan demikian, kualitas garam yang dihasilkan oleh petani lebih baik dan mampu bersaing dengan garam luar NTB.

“Kami terus memberikan intervensi bagi petani garam, melalui sentuhan teknologi hamparan tambak dilapisi HDPE di tempat budidaya. Harapannya kualitas semakin bagus dan harga jual juga bisa meningkat,” harapnya.

Selain itu sambung Sasi, pihaknya juga berharap garam hasil produksi petani di NTB tidak hanya semata-mata sebagai garam untuk konsumsi, melainkan bisa mengarah ke garam untuk kebutuhan industri. Dengan demikian, harga jual bisa lebih bagus dan tentunya memberi nilai tambah bagi petani garam di NTB.

Di Provinsi NTB luas produksi garam yang tersebar di sejumlah daerah mencapai 2.300 hektar dari lahan yang potensial untuk mengembangkan produksi garam di NTB mencapai 9.000 hektar. Sementara itu jumlah petani garam tradisional di NTB mencapai 3.000 orang lebih. Sementara saat ini yang sudah mendapatkan intervensi melalui berbagai pelatihan dan bantuan alat technology baru 300 orang petani garam.

“Produksi garam terbesar di NTB itu masih di Kabupaten Bima. Produsi tahun 2015 di NTB mencapai 175 ribu ton dan tahun 2016 turun menjadi168 ribu ton,” sebut Sasi. (luk)