Tinggi Angka Kekerasan Perempuan dan Anak, NTB akan Bentuk LPSK

Nurhandini Eka Dewi (RATNA/RADAR LOMBOK)

MATARAM — Pemerintah Provinsi NTB akan membentuk Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), untuk memberikan perlindungan bagi korban dan saksi kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di NTB. Ini setelah adanya kasus kekerasan seksual yang melibatkan LM (40), oknum pimpinan pondok pesantren di Kecamatan Sikur, Kabupaten Lombok Timur, belum lama ini.

“NTB akan memiliki LPSK sebentar lagi. Untuk itu, LPSK dari pusat juga sudah bertemu Sekda NTB, Lalu Gita Ariadi, dan akan membentuk cabang LPSK di NTB,” ungkap Penjabat (Pj) Kepala DP3AP2KB Provinsi NTB, dr. Nurhandini Eka Dewi, saat ditemui di Mataram, kemarin.

Terhadap korban kekerasan seksual oleh oknum pimpinan ponpes di Kotaraja, Lombok Timur, yang mencapai 41 lebih. Pemprov NTB memberi atensi lebih pada kasus tersebut. karena ketahanan mental setiap orang tidak sama, tapi berbeda-beda dari lahir. Maka dari itu, Pemprov memberikan pendampingan sesuai dengan yang dibutuhkan korban.

“Ini masih di data (jumlah korban, red). Kita tidak tahu kapan mulai (dilakukan pelecehan seksual). Yang kita tahu hanya akhirya, pas ketahuan saja,” ujar Eka.

Termasuk kemungkinan adanya intimidasi dari pelaku terhadap para korban. Pihaknya akan mengambil langkah persuasif dalam penanganan kasus tersebut. “Mungkin jika ada intimidasi dan tidak bisa kita atasi disini (Pemprov), bisa minta tolong LPSK. Momennya pas ada kasus seperti ini, LPSK buka cabang disini (NTB),” ujarnya.

LPSK sendiri adalah lembaga di Indonesia yang bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan kepada saksi dan korban dalam kasus pidana. Jika NTB benar-benar berencana untuk membentuk LPSK khusus untuk melindungi korban kekerasan perempuan, maka itu bisa menjadi langkah yang positif dalam upaya melindungi hak-hak perempuan dan memerangi kekerasan gender.

Baca Juga :  Bawaslu Kabulkan Gugatan Demokrat

Sebagai lembaga yang bertanggung jawab untuk melindungi saksi dan korban dalam proses peradilan, LPSK di NTB nantinya akan bekerja untuk memberikan perlindungan, bantuan, dan dukungan kepada saksi dan korban kejahatan. Mereka juga berupaya untuk memastikan bahwa hak-hak mereka diakui dan dipenuhi selama proses hukum.

Untuk diketahui, dalam kurun waktu tiga tahun terakhir. Angka kekerasan terhadap perempuan di NTB masih tinggi. Tahun 2020, tercatat angka kekerasan pada perempuan mencapai lebih dari 800 kasus. Dan meningkat pada tahun 2021 mencapai 1026 kasus. Tapi kemudian sedkit mengalami penurunan di tahun 2022 menjadi 900 kasus.

“Kasus di kekerasan pada perempuan tahun 2022 memang menurun, tapi jumlahnya masih jauh lebih tinggi dibandingkan tahun 2020, yang di angka 800 lebih,” sebut Eka.

Kesempatan itu, Eka juga mengingatkan masyarakat untuk meningkatkan kesadarannya, dan lebih berhati-hati. Sebab, pelaku kekerasan terhadap perempuan biasanya berasal dari orang-orang terdekat, seperti keluarga dan tetangga. Kalaupun ada pelaku kekerasan yang bukan orang terdekat, jumlahnya paling hanya 1 persen.

“Pelakunya itu bukan orang jauh, tapi tetangga, keluarga, dan lainnya. Tidak ada pelaku orang jauh. Misalnya tidak mungkin orang Selong melakukan kekerasan di Mataram,” tambahnya.

Pihaknya juga menegaskan pentingnya menanamkan nilai-nilai agama sejak usia dini kepada anak-anak. Pasalnya, aturan dalam pergaulan di masyarakat saat ini sudah sangat longgar. “Perlu ada mitigasi terhadap kekerasan pada perempuan. Bukan hanya bencana saja yang di mitigasi, namun ini juga (kekerasan perempuan dan anak, red),” ujarnya.

Terkait dengan masifnya kasus kekerasan pada perempuan. Pihaknya sudah berkonsolidasi dengan sejumlah stakeholder, bagaimana supaya satu suara menangani kasus ini. Didalamnya terdapat Tim Penanggulangan Masalah Kekerasan Terpadu NTB, Psikologi, Kepolisian dan Komnas Perempuan.

Baca Juga :  Ketua KSU Rinjani Ditetapkan sebagai Tersangka

“Kemarin kita rapat, dan Komnas Perempuan bagian dari rapat penanganan kasus penanggulangan kekerasan di UPTD PPA se NTB. Dalam rapat itu dibahas berbagai kasus yang ada di NTB, dan bagaimana upaya yang bisa dilakukan Pemprov untuk menangani kasus kekerasan terhadap perempuan. Sesuai arahan dari Polda dan masukan dari SBMI. Kasus di NTB yang juga banyak dialami adalah TPPO (Tindak Pidana Perdagangan Orang),” tandasnya.

Sementara Ketua Komnas Perempuan RI, Andy Yentriyani menambahkan pencegahan dan penanganan tindak kekerasan pada perempuan juga harus betul-betul hadir di lembaga pendidikan keagamaan. Salah satu upaya untuk mencegah terjadinya kasus yang sama terulang kembali. Maka pertama perlu ada pengawasan di lingkungan lembaga pendidikan, mulai dari menertibkan administrasi serta pengawasan yang dilakukan secara berkala.

“Jumlah pengawas bisa jadi tidak cukup untuk semua. Tetapi kalau dia secara rutin diperiksa, itu bisa dibuat rosternya (daftar),” katanya.

Andy menambahkan, alangkah lebih baik jika masing-masing lembaga pendidikan keagamaan memiliki Satgas Anti Kekerasan Seksual yang bisa menjadi wadah dimana korban dapat melapor. Mengingat korban kekerasan seksual yang di Ponpes jarang yang mau melapor, dan baru akan terbongkar apabila korbannya sudah banyak.

“Perlu dipastikan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual hadir di lembaga pendidikan keagamaan. Dan juga membuat ruang melaporkan secara terbuka apakah disediakan semacam hotline. Misalnya ada kawasan zona integritas bebas kekerasan seksual di Ponpes,” pungkasnya. (cr-rat)

Komentar Anda