Mereka Tetap Tuntut Ganti Rugi Tanah

Tercatat sekitar 10 tahun sudah ratusan warga Ahmadiyah tinggal di asrama Transito Mataram, tempat mengungsi mereka setelah kasus pembakaran dan pengusiran dari rumah-rumah mereka di Ketapang, Lingsar, Lombok Barat. Setelah sekian lama berlalu, secara perlahan mereka kini bisa mendapatkan sebagian hak. Hingga kini pula, mereka masih menuntut ganti rugi tanah yang telah mereka tinggalkan.

 


Rasinah Abdul Igit—Mataram


 

Lima bocah asyik bercengkerama di samping mobil Palang Merah Indonesia (PMI) di halaman Asrama Transito Mataram sekitar pukul 10.00 Wita kemarin. Tidak jauh dari tempat mereka, berbagai kegiatan bakti sosial dilaksanakan diantaranya donor darah, sunatan massal dan cukur rambut. Suasana asrama ramai oleh ratusan jamaah yang hadir berpartisipasi dalam kegiatan ini. “ Kami menggelar kegiatan bakti sosial dalam rangka menyambut bulan suci Ramadan,” ungkap Udin, ketua panitia bakti sosial kepada Radar Lombok.

Menurut penjelasan laki-laki yang juga ketua DPD Ahmadiyah Kota Mataram ini, peserta kegiatan rutin saban tahun ini adalah seluruh penghuni asrama Transito, serta jama’ah Ahmadiyah di luar asrama. Kegiatan kemanusiaan ini dimulai sekitar pukul 08.00 Wita dan dibuka oleh Lurah Pejanggik. “ Yang ikut tidak hanya warga Ahmadiyah, tetapi juga warga sekitar. Selain sebagai sarana silaturahmi, ini juga bagian dari partisipasi kita dalam rangka pengabdian kepada pemerintah,” tambahnya sambil senyum.

Baca Juga :  Menyimak Cerita Para Petugas Keamanan Pasar Tradisional

Jamaah Ahmadiyah di asrama Transito adalah korban kekerasan yang terjadi tahun 2006 dan 2010 lalu. Sebagian besar mereka berasal dari Dusun Ketapang, Lingsar, Lombok Barat. Tanggal 4 Februari 2006 silam, mereka diusir dari kampung halaman akibat perbedaan pemahaman terhadap agama. Rumah dan harta benda mereka dibakar dan dijarah. Mereka juga tidak diberikan izin menggarap lahan pertanian yang menjadi tumpuan hidup mereka.

Pada bulan November 2010, ratusan warga kembali menyerang dan merusak rumah mereka yang sudah ditinggal mengungsi. Aksi penyerangan itu terjadi setelah media massa memberitakan rencana kepulangan mereka ke kampung halaman. Warga melempari rumah dengan batu. Sebagian warga menghancurkan tembok rumah menggunakan linggis.

Sahdan (50) adalah salah satu warga Ahmadiyah yang ikut dalam bakti sosial ini. Ia menyumbangkan keahliannya sebagai tukang cukur rambut. Sahdan adalah salah satu penghuni asrama yang telah 5 kali pindah tempat tinggal karena kasus pengusiran. Pertama pada tahun 2001 saat ia tinggal di Sambik Elen (KLU). Rumahnya dibakar. Tahun 2002 ia pindah ke Pancor (Lotim), disini juga sama, ia diusir. Tahun 2003 kasus yang sama dialaminya saat tinggal di Sumbawa. Setelah pindah ke Ketapang (Lobar), terjadi pengusiran pada tahun 2006 dan 2010 yang menyebabkannya menghuni asrama Transito hingga kini.

Baca Juga :  Berkunjung ke Lombok Forgotten Children (LFC) Center Mataram

Ketua DPW Ahmadiyah NTB, Jauzi Jafar, tidak berbicara banyak saat ditanya tentang harapan-harapan warga Ahmadiyah dengan kehidupan mereka saat ini. “ Pemerintah suda tau betul masalah kami ini,” ungkap Jauzi.

Salah satu harapan yang disampaikan PNS di lingkup Pemkab Lombok Tengah ini adalah ganti rugi tanah dan bangunan milik warga yang berada di Ketapang itu. “ Ya kita minta ganti rugi, tetap kita minta itu, karena itu hak,” ungkapnya.

Para pengungsi merindukan tempat yang layak seperti masa-masa mereka berada di kampung halaman. Mereka hendak menebus sebagian dari kesusahan mereka setelah pemerintah daerah membeli tanah dan aset yang mereka tinggalkan kala pengusiran dulu.

Hingga kini ganti rugi tanah dan rumah yang mereka tinggalkan belum juga jelas. Proses jual beli tidak pernah tuntas. Dari dokumen koran ini, pada tahun 2009 baik Pemkab Lombok Barat dan perwakilan Ahmadiyah menyepakati harga aset sesuai dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) pada tahun itu. Namun harga tersebut tidak disetujui warga Ahmadiyah. Alasannya, harga tanah dan material bangunan tahun 2006 tentu berbeda dengan harga beberapa tahun setelahnya. “ Jangan menilai dari harga aset saja, lihat juga dampak psikologis warga yang meninggalkan barang-barang berharga mereka,” pungkas Jauzi.(*)

Komentar Anda