Tersangka Merger BPR Minta Pemprov NTB Bertanggung Jawab

Dewan Tidak Bantah Tudingan Dana Mengalir

Tersangka Merger BPR Minta Pemprov Bertanggung Jawab
TUNJUKKAN BUKTI : Dua tersangka kasus dugaan korupsi merger PD BPR NTB (tengah) bersama penasehat hukumnya menunjukkan bukti surat perintah tugas dari kepala biro perekonomian Pemprov NTB, Senin kemarin (26/2). (Ali Ma’shum/Radar Lombok)

MATARAM – Mantan ketua panitia khusus (pansus) Perda Nomor 10 tahun 2016 tentang Penggabungan dan Perubahan Bentuk Badan Hukum Perusahaan Daerah (PD) Bank Perkreditan Rakyat (BPR) NTB menjadi Perusahaan Terbatas (PT) BPR NTB, H Johan Rosihan tidak membantah dugaan adanya dana  yang mengalir ke oknum dewan.

Dugaan adanya dana mengalir ke oknum DPRD dan oknum pejabat Pemprov NTB untuk memuluskan pembahasan perda  BPR, dibuka oleh tersangka dugaan penyimpangan dana merger BPR oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati). Wakil ketua tim konsolidasi Mutawalli membeberkan ada dana  Rp 700 juta lebih dari hasil iuran delapan PD BPR NTB mengalir ke oknum dewan dan pejabat pemprov. “Saya tidak bilang tidak ada, karena sebelum di pansus ada juga proses di Bapemperda (badan pembentukan peraturan daerah),” ucap Johan saat diminta tanggapannya oleh Radar Lombok, Senin kemarin (26/2).

BACA : Tersangka BPR Buka Suara, Oknum Dewan dan Eksekutif Diduga Terima Dana

Menurut Johan, untuk mengetahui kebenaran adanya dana yang mengalir ke oknum wakil rakyat, haruslah dilakukan pendalaman. “Perlu diselidik tahap per tahap. Coba konfirmasi ke Bu Ketua DPRD (Hj Baiq Isvie Rupaedah – red), yang saat itu masih jadi ketua Bapemperda,” saran Johan yang juga ketua Komisi III DPRD NTB ini.

Proses pembahasan dan pengesahan sebuah perda, merupakan wewenang dan tanggungjawab bapemperda. Kemudian dilanjutkan oleh pansus setelah adanya pandangan umum fraksi-fraksi.

Untuk oansus sendiri, Johan menegaskan bahwa tidak ada uang yang mengalir. Itulah yang membuat dirinya bertanya-tanya, apalagi nilai uang yang digunakan untuk mempercepat pembahasan dan pengesahan Perda BPR ini cukup banyak lebih dari Rp 700 juta.

Johan sendiri masih belum mengerti masalah adanya dugaan uang yang mengalir ke oknum anggota dewan. Mengingat, dalam pembahasannya tidak ada terjadi penolakan. “Memangnya ada yang menekan atau menggulirkan isu menolak perda itu, sehingga dia harus menyiapkan uang seperti itu,” ujar Johan.

Dikatakan, usulan awal perda tentang BPR NTB justru inisiatif DPRD. Hal itu disebabkan adanya tuntutan regulasi dari pusat. Namun waktu itu, dalam pembahasan program pembentukan perda diketahui  bahwa biro perekonomian Pemprov NTB  sudah menyiapkan anggaran yang akan digunakan untuk pembahasan perda. “Jadilah ranperda itu sebagai usulan eksekutif,” tuturnya.

Ketua DPRD Provinsi NTB, Hj Baiq Isvie Rupaedah yang saat itu menjadi ketua Bapemperda, mengaku tidak terlibat dalam pembahasan raperda tersebut. “Iya saya ketua bapemperda, tapi saat pembahasan ini saya baru jadi ketua DPRD. Jadi tidak ikut bahas di bapemperda,” jawabnya.

Isvie sendiri tidak mengetahui jika ada dana yang dikucurkan ke oknum  anggota dewan untuk mempercepat pembahasan dan pengesahan perda. Dirinya tidak juga membantah secara tegas terkait dugaan aliran dana itu. “Setahu saya sih tidak ada,” imbuhnya.

Sementara itu, pihak pemprov  memilih untuk bungkam. Mantan Kepala Biro Perekonomian Pemprov NTB, Manggaukang Raba belum bisa dimintai keterangannya. Begitu juga dengan Kepala Biro Perekonomian saat ini, Ahmad Nur Aulia enggan memberikan tanggapan.

Baca Juga :  Dikira Boneka, Ternyata Bayi Tak Berdosa

Asisten II Pemprov NTB, Chairul Mahsul yang membidangi ekonomi, justru mengaku kurang mengetahui kasus yang terus menjerat pembentukan PT BPR NTB. “Saya tidak memahami dengan baik kasus ini, posisinya seperti apa saat peristiwa terjadi,” kata Chairul Mahsul.

Sementara itu, ketua tim konsolidasi BPR NTB Ikhwan dan wakil ketua tim konsolidasi Mutawalli   menjalani pemeriksaan di Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB  dalam kapasitasnya sebagai tersangka.

Disela-sela pemeriksaan yang dilakukan penyidik, keduanya kembali buka suara mengenai kasus yang kini menjeratnya.

Mutawalli melalui penasehat hukumnya, Herman Sahputra mengatakan, letak permasalahan kasus ini ada di biro ekonomi. Sedangkan dua tersangka disebutnya tidak mengetahui apapun. ‘’ Yang tahu aliran dana ini mengalir dari hulu ke hilir itu ada di biro ekonomi. Pemprov inilah yang menjadi owner (pemilik BPR). Apa yang diperintahkan oleh pemilik, dua tersangka ini hanya staf. Mana bisa mengelak, mana bisa melawan perintah itu. Kami keberatan dengan itu dan kami akan ungkap itu di pengadilan. Akan kami sebut orang-orang itu,’’ katanya berapi-api.

Herman mengatakan, ada penerjemahan dari SK tim konsolidasi  oleh biro ekonomi selaku pengarah. Penerjemahan ini mengenai segala klausul pembiayaan merger BPR dibebankan kepada PD BPR. ‘’ Logika mana yang bisa menolak penerjemahan itu. Karena yang membuat SK ini adalah pemilik. Yang menerjemahkan SK ini juga wakil pemilik dan yang memerintahkan ini adalah wakil pemilik. Dua tersangka ini tidak bisa mengelak,” tegasnya.

Pihaknya merasa dizalimi. Kedua tersangka hanya dikorbankan. ”

Pasal 51 KUHP itu orang yang dibawah perintah tidak boleh dan tidak ada pertanggung jawaban pidana. Ini tidak ada keadilan disini,’’ sesalnya.

Mestinya kata dia, pemprov   juga harus bertanggung jawab. Karena perintah penarikan dana merger ini  datang dari pemprov. Pihak pemerintah juga yang menggunakan dana. Aliran dana juga menurut dia hanya pemprov  yang mengetahui. ‘’ Kalau media mau tahu, yang paling tahu ini adalah kepala biro ekonomi saat itu. Makanya cari orang-orang itu,”ungkapnya.  Herman  meyebutkan, setelah ditetapkan sebagai tersangka, Ikhwan dan Mutawalli pernah dipanggil oleh Sekda NTB dan kepala biro ekonomi. Pemprov NTB kata dia, saat itu seolah-olah ingin menyembunyikan sesuatu.  ‘’ Ada rahasia yang mereka sembunyikan. Kalau kesimpulan saya, ini ada desain dari mereka. Mestinya yang ada di struktur tim itu harus bertanggung jawab,’’ terangnya.

Dia menduga ada anggaran ganda dala m proses merger BPR ini. Seharusnya  pembiayannya menjadi tanggung jawab negara. Namun dengan penerjemahan dari pengarah dibebankan kepada delapan PD BPR. Hal tersebut yang tidak bisa ditolak. ‘’ Kami menduga ada dobel budget (anggaran). Yang di pemprov juga sudah dianggarkan. Di delapan PD BPR juga dibebankan biaya percepatan perda. Ini yang kami duga sekarang ini,’’ Ungkapnya.

Sementara Mutawalli mengatakan, dalam Term of Reference (TOR) yang disusun oleh tim konsolidasi, tidak ada pos pembiyaan  peruntukan untuk biaya percepatan pembahasan perda BPR di DPRD. Hal tersebut atas perintah kepala biro ekonomi saat itu Manggaukang Rava. ‘’ Jadi tidak ada sama sekali dalam TOR. Tidak mungkin anggaran keluar kalau kami tidak diperintah.  Jadi kami ini dibawah perintah diminta untuk menarik dana notabenenya untuk  biaya kepentingan perda,’’ sebutnya.

Baca Juga :  Gubernur Diminta Patuh Pada Aturan

Biaya percepatan perda yang sudah dikeluarkan oleh tim konsolidasi lebih dari Rp 700 juta. Anggaran tersebut dikeluarkan menurut kepala biro ekonomi saat itu agar pembahasan dan pengesahan perda tersebut dipercepat di DPRD NTB. ‘’ Saya dan Pak Ikhwan tidak tahu dana itu diberikan atau tidak (ke DPRD). Tetapi bahasanya peminta dana untuk percepatan perda. Berarti kan bisa diterjemahkan namanya perda itu siapa yang mengurus,’’ Katanya.

Herman mengimbau, kepada semua pihak terkait termasuk ke DPRD NTB, jika memang dana tersebut diterima agar dikembalikan. Hal ini  untuk memperbaiki keadaan yang sudah ada. ‘’ Saya mengimbau untuk mengembalikan dana itu. Pemilik juga harus menjelaskan secara utuh aliran dana ini. Biar terbuka semuanya dan menjadi fair,’’ pungkasnya.

Tersangka Ikhwan, melalui penasehat hukumnya Dr Umayyah mengatakan, kliennya diperiksa untuk mencocokkan berita acara pemeriksaan (BAP) saat menjadi saksi. Sebagai ketua tim konsolidasi, kliennya perannya bersifat  koordinasi. Sementara ada tim legalitas dan akunting serta tim pembelanjaan IT. Harusnya penyidik  menanyakan tupoksi kliennya sebagai ketua tim konsolidasi. ‘’ Harusnya ditahap awal itu kan ditanya tupoksi beliau ini apa. Baru kita bisa tahu benang merahnya  siapa yang harus bertanggung jawab. Jadi hanya penggunaan dana yang ada kuitansinya saja yang ditanyakan. Dimana ada tanda tangannya yang mengetahui. Itu harus dibedakan, yang mengetahui itu tidak bisa diminta pertanggung jawaban,’’ungkapnya.

Sesuai dengan ketentuan hukum pidana,pertanggung jawaban itu kepada orang yang melakukan suatu perbuatan. “ Jangan hanya karena dia sebagai ketua tim lalu harus bertanggung jawab. Diliat dulu, ketua tim harus bertanggung jawab apabila sebelum transaksi beliau itu menyetujui. Ini kan tidak. Itu titik beratnya,’’ Imbuhnya.

Kliennya kata dia tidak pernah memerintahkan untuk mencairkan dana. Adapun yang memerintahkan pencarian ini adalah kepala biro ekonomi pemprov  saat itu. ‘’ Yang menyuruh melakukan (pencairan) itu adalah pemilik dalam hal ini adalah biro ekonomi. Memerintahkan Mutawalli untuk bayar kemana saja. Ada semua itu kemana dan siapa. Seharusnya secara hukum siapa yang memerintahkan dan mengeluarkan dana itu yang harus bertanggung jawab. Bukan beliau ini (Ikhwan),’’ katanya.

Perintah dinas pencairan dana dari biro ekonomi itu dikuatkan oleh SK. Dikarenakan proses konsolidasi ini adalah kegiatan dari pemilik. ‘’ Ini ada surat perintah dinasnya. Ada SK juga,’’ tandasnya.

Sementara Kasi Penkum dan Humas Kejati NTB Dedi Irawan membenarkan pemeriksaan yang dilakukan penyidik kepada dua tersangka. Mengenai keterangan tersangka dan menyebut harus ada pihak lainnya yang ikut bertanggung jawab, Dedi mengatakan hal tersebut adalah hak dari tersangka. ‘’ Itu sah-sah saja tersangka mengatakan demikian. Penyidikan kan bukan dari sana saja. Kalau memang ada pihak lainnya kan nanti didalami,’’ katanya. (zwr/gal)

Komentar Anda