MATARAM— Oknum Kepala Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) swasta di Kota Mataram, WS alias IW, terseret kasus dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Perempuan asal Kota Mataram ini ditangkap Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda NTB, bersama seorang laki-laki berinisial SE alias E.
Mereka diduga merekrut Calon Pekerja Migran Indonesia (CPMI) tujuan Jepang secara non prosedural. Keduanya telah ditetapkan sebagai tersangka. “Sudah kita tetapkan tersangka dan tahan di Rutan Polda NTB,” kata Direktur Ditreskrimum Polda NTB, Kombes Pol Syarif Hidayat, Senin (11/11).
Terungkapnya pengiriman PMI secara nonprosedural ini berawal dari laporan yang didapatkan Polda NTB.
Laporan itu berkaitan dengan adanya perekrutan yang dilakukan lembaga pelatihan keterampilan (LPK) bernama Wahyu Yyuha, yang berkantor di wilayah Ampenan, Kota Mataram. “Kita dalami dan kumpulkan informasi terkait dengan adanya dugaan indikasi perekrutan PMI untuk ditempatkan di Negara Jepang,” terangnya.
Dari serangkaian penyelidikan, Ditreskrimum Polda NTB menemukan adanya unsur perbuatan melawan hukum dari aktivitas yang dilakukan LPK Wahyu Yyuha. Sehingga, kasus ini dinaikkan ke tahap penyidikan dan dibuatkan laporan polisi. “Dari laporan itu kita memeriksa 17 korban,” katanya.
Dari 17 korban, 6 orang diantaranya berasal dari Mataram, 5 korban asal Lobar, Loteng 4 korban, dan 2 orang dari Lombok Utara. “Sedangkan ada 11 korban lainnya belum melapor. Jadi total korban sebenarnya ada 28 orang,” ungkapnya.
Korban direkrut oleh tersangka WS pada periode bulan Desember 2023-Juni 2024. Modusnya akan kerja ke Negara Jepang melalui perusahaan bernama PT Radar Sumaedy Effendy Indonesia (RSEI). Masing-masing korban mengeluarkan uang sebesar Rp 30 juta — Rp 40 juta untuk pendaftaran. “Korban dijanjikan untuk diberangkatkan, tetapi sampai saat ini korban tidak diberangkatkan dari bulan Desember 2023 hingga sekarang ini. Sehingga korban merasa dirugikan dan melapor ke kita (Polda NTB). Dan kita sudah tetapkan dia tersangka,” tegasnya.
Dalam kasus ini, tersangka WS sebagai pemilik LPK bernama Wahyu Yyuha. Sedangkan tersangka SE alias E sebagai Direktur PT Radar Sumaedy Effendy Indonesia (RSEI), berkantor di wilayah Lombok Timur. Kedua tersangka ini bersekongkol dalam memberangkat PMI secara nonprosedural ke Jepang. Padahal, PT RSEI ini perusahaan yang tidak memiliki izin dari Kementerian Ketenaga Kerja (Kemnaker) untuk menyelenggarakan magang atau menempatkan PMI ke Jepang.
Dari aktivitas yang dilakoni ini, kedua tersangka mengumpulkan keuntungan. Tersangka WS yang berperan sebagai perekrut, mendaftarkan dan mengarahkan para korban ke PT RSEI berhasil mengumpulkan uang dari 28 orang korban sebesar Rp 926 juta lebih. “Dan mendapatkan keuntungan sebesar Rp 296 juta,” katanya.
Sisa uang yang dikumpulkan tersangka WS itu, diberikan diberikan ke tersangka SE alias E sebesar Rp 630 juta. “PT RSEI ini berhasil mengumpulkan dana dari tersangka (WS alias IW) sebesar Rp 630 juta, dan mendapatkan keuntungan Rp 168 juta,” sebutnya.
Hasil penyidikan dan barang bukti yang diamankan Polda NTB, menguak adanya orang lain yang menerima uang dari PT RSEI. “(Barang bukti yang diamankan) 12 print out transfer ke PT Sanusi. Jadi, ternyata (selain) RSEI ini, ada lagi LPK yang lebih tinggi lagi yang berada di Provinsi Jawa Barat, Kabupaten Subang. Nah ini yang kita dalami, karena ada sebagian transfer uang itu ditujukan kepada Sanusi namanya, PT yang ada di Subang,” katanya.
Penelusuran ke PT Sanusi itu akan dikoordinasikan dengan Bareskrim Polri atau Polda Jawa Barat. “(Koordinasi) Ini untuk pengungkapan terkait dengan transfer uang sudah diberikan kepada Sanusi,” jelasnya.
Terungkapnya tersangka WS sebagai Kepala SMK berdasarkan pengakuan pendamping korban, Hery Nurdiansyah. “Iya betul. (WS) Kepala SMK,” terang Hery menyebutkan lengkap nama sekolah.
Dari 17 korban itu, 11 orang diantaranya merupakan mantan pelajar di SMK tersebut. Sekarang, ke 11 orang sudah selesai mengenyam pendidikan di SMK sejak 2023 lalu. “11 orang ini pernah sekolah di sana. 11 orang yang sudah selesai (tamat sekolah) di sana, tapi ijazahnya belum dikasih. Terus yang sebagian (korban) itu dari LKP-nya,” katanya.
Dikatakan, 11 orang korban itu masuk ke LPK (lembaga pelatihan kerja) milik WS semenjak mereka masih berstatus pelajar. Tersangka WS mengiming-imingi korban dengan memberikan informasi akan ada pekerjaan ke luar negeri yang menunggu. “Setelah tamat SMK, ada job pemberangkatan langsung katanya. Makanya anak-anak ini serius untuk belajar bahasa Jepang dan lainnya di LKP-nya Ibu WS itu,” tuturnya.
Untuk berangkat ke jepang, korban dimintai uang sebesar Rp 30 juta — Rp 40 juta. Mereka dijanjikan berangkat ke Negeri Sakura, setelah tamat sekolah dan selesai mengikuti kursus di LPK, serta menyetorkan uang.
Jika tidak memiliki uang, korban disarankan mengambil pinjaman online (Pinjol). “Pelaku, ibu ini (WS) menyarankan kalau tidak punya uang, disuruh pinjam ke Pinjol.
Ibu inilah yang fasilitasi (pinjam ke Pinjol), tapi pada waktu itu para korban tidak mau, sehingga mereka di rekomendasi ke bank (untuk peminjaman),” katanya.
Mengenai status tersangka WS ini, Kasubdit IV Ditreskrimum Polda NTB Kombes Pol Ni Made Pujawati yang dikonfirmasi Radar Lombok, hanya menjawab bahwa WS merupakan seorang tenaga pendidik. “Pengajar,” singkatnya melalui pesan WahtsApp.
Sedangkan tersangka WS mengaku hanya melatih saja. Bukan tugasnya untuk memberangkatkan korban ke Jepang. “Kalau keberangkatan kita serahkan ke yang berhak memberangkatkan,” ujar WS di Polda NTB.
Menyinggung soal LPK yang tidak boleh memberangkatkan CPMI, WS mengaku tidak tahu. Karena tidak pernah mendapatkan sosialisasi dari dinas terkait. Namun disisi lain, ia mengakui LPK miliknya ada kerjasama dengan PT RSEI. Uang yang ditarik dari korban diakuinya hanya sebesar Rp 25 juta perorang. Penarikan uang itu berdasarkan hasil kesepakatan kerja sama dengan PT RSEI.
“Kalau masalah uang kan ada MoU (antara PT RSEI) dengan lembaga pelatihan kerja. Jadi, saya itu memberikan arahan kepada siswa saya sesuai dengan MoU-nya. Kalau pelatihan kerjanya tidak menarik, saya tidak akan menarik uang juga. Per orang itu Rp 25 juta,” sebutnya.
Mengenai dirinya yang menyarankan para korban yang tidak memiliki uang agar mengambil Pinjol, WS mengaku hal itu tidak pernah dilakukan. “Kalau itu, saya tidak pernah. Kalau mau di Pinjol, itu urusannya,” tepisnya.
Atas perbuatannya, WS dan tersangka SAe alias E sudah ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Polda NTB. Terhadap kedua tersangka ini dikenakan Pasal 11 jo Pasal 4 UU No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan/atau Pasal 1 juncto Pasal 69 UU No 18 tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Dengan ancaman hukuman paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun, denda Rp 120 juta – Rp 600 juta. (sid)