Terdakwa Proyek TES Mengubah DED Hingga Pertanggungjawaban Fiktif

SIDANG: Dua terdakwa korupsi pembangunan tempat evakuasi sementara (TES) atau shelter tsunami di KLU jalani sidang perdana di Pengadilan Tipikor Mataram, dengan agenda pembacaan dakwaan dari JPU.(ROSYID/RADAR LOMBOK)

MATARAM — Dua terdakwa korupsi pembangunan tempat evakuasi sementara (TES) atau shelter tsunami di Pemenang, Kabupaten Lombok Utara (KLU) jalani sidang perdana di Pengadilan Tipikor Mataram, Rabu (22/1). Para terdakwa ialah Aprialely Nirmala dan Agus Herijanto. Sidang perdana itu dengan agenda pembacaan dakwaan dari jaksa penuntut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Dalam dakwaan, jaksa penuntut menyebut korupsi itu bermula dari terdakwa Aprialely Nirmala selaku pejabat pembuat komitmen (PKK) pada satuan kerja (Satker) penataan Bangunan dan Lingkungan (PBL) NTB Kementerian PUPR mengubah DED (Detail Engineering Design) yang dibuat oleh PT Qorina Konsultan Indonesia, hingga adanya pertanggung jawaban fiktif yang dilakukan terdakwa Agus Herijanto selaku kepala proyek dari PT Wasita Karya.

“Terdakwa Aprialely Nirmala melakukan perubahan DED tahun 2012 yang dibuat oleh PT Qorina Konsultan Indonesia, konsultan perencanaan pembangunan gedung shelter tsunami tanpa ada kajian yang dapat dipertanggungjawabkan, serta tanpa pengesahan tanda tangan PT Qorina Konsultan Indonesia dan BNPB (Badan Nasional Penanggungan Bencana),” kata jaksa penuntut KPK Greafik Loserte, kemarin.

Terdakwa Aprialely Nirmala mengubah sejumlah spek pembangunan gedung shelter tsunami. Antaranya mengubah tulangan pada kolom K1. “Tulangan kolom K1 DED 2012 adalah 48D25. Diubah menjadi tulangan kolom K1 40D25,” sebutnya.
Selanjutnya balok pengikat. Pada DED 2012 semua kolom pakai balok pengikat. “Diubah balok pengikat hanya ada pada parameter atau keliling luarnya saja,” ujarnya.

Setelah DED diubah, terdakwa Aprialely Nirmala menyerahkan dokumen-dokumen yang telah diubah tersebut. Dan diupload ke website pelayanan pengadaan secara elektronik dinas PUPR guna pelaksanaan pembangunan. Padahal, DED yang diserahkan itu tidak ada penandatanganan dari PT Qorina Konsultan Indonesia dan BNPB.
“Walaupun DED yang telah terdakwa ubah tersebut tidak ada pengesah penandatanganan dari PT Qorina Konsultan Indonesia dan BNPB,” katanya.

Setelah melalui proses pelelangan, proyek tersebut dimenangkan oleh PT Wasita Karya dengan nilai penawaran Rp 19,6 miliar. Tidak lama, kedua terdakwa dan beberapa orang lainnya bertemu dan membahas proyek tersebut. Pertemuan itu, terdakwa Agus Herijanto sempat membahas adanya spek yang berkurang dalam perencanaan. Namun, terdakwa Aprialely Nirmala dan tim teknis PPK lainnya memintanya untuk melengkapi yang kurang.

“Terdakwa Aprialely Nirmala dan tim teknis PPK meminta terdakwa Agus Herijanto untuk melengkapi kekurangan gambar detail yang tidak ada pada dokumen perencanaan maupun pada DED, dengan membuat sketsa gambar,” lanjut jaksa penuntut KPK lainnya, Ahmad Ali Fikri Pandela.
Walaupun begitu, terdakwa Agus Herijanto tetap melaksanakan proyek pembangunan shelter tsunami berdasarkan gambar yang diminta dan dibuat terdakwa Aprialely Nirmala selaku PPK. “Dan berdasarkan DED yang telah diubah oleh terdakwa Aprialely Nirmala tanpa justifikasi teknis,” ucap dia.

Baca Juga :  Guru Lulus UKG Dibayar Rp 40 Ribu Per Jam

Selain ngotot membangun proyek yang dananya bersumber dari BNPB dan Jenderal Cipta Kerja Kementerian PUPR itu, dalam pelaksanaannya terdakwa Agus Herijanto juga memanipulasi pertanggung jawaban keuangan pembangunan shelter tsunami tersebut.

“Bahwa selama pelaksanaan proyek tahun 2014, terdakwa Agus Herijanto melakukan pertanggungjawaban fiktif atas uang proyek shelter tsunami dengan cara merekayasa kwitansi pembayaran vendor atau supplier dalam proyek sejumlah Rp 1,3 miliar,” katanya.

Akibatnya, tim pengawas proyek menemukan adanya permasalahan kontruksi yang terjadi dalam pembangunan gedung shelter tsunami tersebut. Permasalahan yang ditemukan pada bagian tangga dan ram yang melengkung yang dapat membahayakan jika dipergunakan. “Hal tersebut (permasalahan kontruksi) telah dilaporkan ke terdakwa Aprialely Nirmala selaku PPK dan terdakwa Agus Herijanto selaku kepala proyek,” cetusnya.

Kendati demikian, kedua terdakwa tetap memerintahkan agar panitia penerima hasil pekerjaan (PPHP) tetap melakukan penerimaan hasil pengerjaan proyek tersebut. “Walaupun kondisi bangunan tes terdapat permasalahan atas kontruksi pengerjaan. Bahwa tim PPHP dalam melakukan penerimaan pembangunan shelter tsunami tidak menggunakan bantuan ahli dalam bidangnya untuk menilai kualitas kontruksi, serta tidak memiliki dukungan alat,” katanya.

Pengerjaan proyek telah selesai. Kementerian PUPR melalui Dirjen Cipta Karya Satker PBL NTB melakukan pembayaran ke PT Wasita Karya atas pengerjaan pembangunan gedung tes shelter tsunami sebesar Rp 20,9 miliar lebih. “Berdasarkan keterangan ahli kontruksi, diketahui bahwa terdapat komponen-komponen bangunan yang tidak sesuai dengan RAB,” katanya.

Komponen bangunan yang tidak sesuai antaranya pengerjaan pondasi, pengerjaan beton lantai dasar, pengerjaan beton lantai satu, pengerjaan beton lantai dua, pengerjaan dinding lantai dasar dan lainnya. Mengakibatkan adanya selisih volume pengerjaan.

“Terdapat ketidak sesuaian komponen bangunan dengan format ini menyebabkan, terdapat selisih volume pengerjaan yang dibiayai dengan pengerjaan yang dilaksanakan belakangan, sebesar Rp 1,3 miliar lebih yang berakibat terjadinya kelebihan nilai pembayaran atas pengerjaan kepada PT Waskita Karya,” terangnya.
Dalam dakwaan, jaksa penuntut turut membeberkan hasil pemeriksaan dan analisis terhadap hasil perencanaan dan fakta kondisi pelaksanaan di lapangan. Antara lain, pembangunan shelter tsunami belum memenuhi tujuan perencanaan yang telah ditetapkan.

Baca Juga :  Terapkan Protokol Kesehatan, Kapolres Lobar Gelar Sholat Idul Adha 1441 H di Mapolres

“Yaitu adanya gedung shelter tsunami yang dapat memberikan perlindungan terhadap tsunami yang diwujudkan tahun 2013-2014 guna menyelamatkan masyarakat dari bahaya tsunami, karena adanya kegagalan pembangunan,” tuturnya.

Gedung shelter tsunami yang dibangun tidak sepenuhnya memenuhi desain yang menjadi rujukan. Dan, gedung shelter tsunami yang dibangun sejak 2014 itu, belum dapat dimanfaatkan masyarakat. “Saat terjadi bencana, mengalami kegagalan pembangunan. Sehingga tidak bisa dimanfaatkan karena kondisinya saat ini (rusak),” katanya.

Gagalnya proyek yang berada di wilayah Pemenang, KLU tersebut mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 18,4 miliar. Atas perbuatannya, kedua terdakwa didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Usai membaca dakwaan, terdakwa Aprialely Nirmala melalui penasihat hukumnya Aan Ramadhan akan mengajukan eksepsi. Sedangkan penasihat hukum terdakwa Agus Herijanto belum memutuskan akan mengajukan eksepsi. Ia meminta waktu untuk mempelajari isi dakwaan jaksa penuntut.

Hakim yang diketuai Isrin Surya Kurniasih dengan hakim anggota Lalu Moh Sandi Iramaya dan hakim adhoc Fadhli Hanra memutuskan akan melanjutkan sidang pada akhir Januari mendatang. “Sidang selanjutnya dijadwalkan Jumat (31/1), dengan agenda eksepsi,” tandas Isrin Surya Kurniasih.
Sebagai informasi, proyek pembangunan shelter tsunami di Lombok Utara ini dikerjakan pada tahun 2014. Itu merupakan hasil kerja sama Kementerian PUPR RI dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebagai desain teknis.
Gedung yang bertempat di Desa Bangsal, Kecamatan Pemenang, Lombok Utara ini merupakan salah satu dari 12 proyek pembangunan skala nasional periode 2012 hingga 2015. Pelaksananya PT Waskita Karya.

Kemudian, konsultan perencana dari gedung dengan perencanaan dapat menampung 3.000 orang tersebut adalah PT Qorina Konsultan Indonesia dan konsultan pengawas dari CV Adi Cipta. Negara menyiapkan anggaran pekerjaan tersebut senilai Rp 23 miliar. (sid)