MATARAM – Pengusutan tambang emas ilegal di Sekotong, Lombok Barat yang diduga dikelola warga negara asing (WNA) asal China menjadi prioritas Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB pada 2025. “Sekotong ini jadi prioritas kami di tahun 2025,” tegas Kepala Kejati NTB Enen Saribanon, Rabu (18/12).
Ini lantaran pada 2024, Kejati banyak menangani perkara dugaan tindak pidana korupsi (tipikor). Antara lain 43 kasus tipikor yang masih dalam penyelidikan, dan 29 kasus tahap penyidikan. “Banyak perkara yang kami tangani di sini (Kejati NTB), tapi kami kan memilah mana yang lebih gampang terus prioritas kami selesaikan di tahun 2024. Dan tahun 2025 tinggal beberapa hari ini, Sekotong ini jadi prioritas kami (2025). Seperti itu,” katanya.
Enen telah berkoordinasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hasil temuan KPK di lapangan pun telah dipelajari. Kemudian mengumpulkan alat bukti dukung dengan permintaan keterangan sejumlah pihak. Bukti-bukti yang dikumpulkan nanti akan ditelaah dan digelar ekspos untuk menentukan arah penanganan selanjutnya. “Akan kami lakukan telaahan dan ekspos. Apakah ini kami tingkatkan ke tahap selanjutnya,” pungkasnya.
Kepala Satuan Tugas (Kasatgas) Korsup Wilayah V KPK, Dian Patria sebelumnya mengatakan, aktivitas tambang ilegal yang berlokasi di kawasan hutan produksi terbatas (HPT) ini diduga telah dimulai sejak 2021.
Diperkirakan menghasilkan omzet hingga Rp90 miliar per bulan, atau sekitar Rp1,08 triliun per tahun. Angka ini berasal dari tiga stockpile (tempat penyimpanan) di satu titik tambang emas wilayah Sekotong, seluas lapangan bola.
“Ini baru satu lokasi, dengan tiga stockpile. Dan kita tahu, mungkin di sebelahnya ada lagi. Belum lagi yang di Lantung, yang di Dompu, yang di Sumbawa Barat, berapa itu perbulannya? Bisa jadi sampai triliunan kerugian untuk negara,” jelas Dian Patria.
Menurut data Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) tercatat ada kurang lebih 26 titik tambang ilegal di wilayah Sekotong yang berada di atas lahan 98,16 hektare. Hal ini menunjukkan besarnya potensi kerugian negara, apalagi tambang ilegal tidak membayar pajak, royalti, iuran tetap, dan lainnya.
Dian juga mengungkapkan adanya dugaan modus konspirasi antara pemilik izin usaha pertambangan (IUP) dan operator tambang ilegal. Meski kawasan tersebut memiliki izin pertambangan resmi dari PT Indotan Lombok Barat Bangkit (ILBB), keberadaan tambang ilegal terus dibiarkan. Bahkan papan tanda IUP ILBB baru dipasang pada Agustus 2024, setelah bertahun-tahun tambang tersebut beroperasi.
“Kami melihat ada potensi modus operandi di sini, di mana pemegang izin tidak mengambil tindakan atas operasi tambang ilegal ini, mungkin dengan tujuan untuk menghindari kewajiban pembayaran pajak, royalti, dan kewajiban lainnya kepada negara,” jelas Dian.
Selain itu, ditemukan bahwa sebagian besar alat berat dan bahan kimia yang digunakan dalam tambang ilegal ini diimpor dari luar negeri, termasuk merkuri yang didatangkan dari Cina. Alat berat dan terpal khusus yang digunakan untuk proses penyiraman sianida juga berasal dari China, yang menambah kompleksitas permasalahan ini.
Limbah merkuri dan sianida yang dihasilkan dari proses pengolahan emas juga berpotensi mencemari lingkungan sekitar, termasuk sumber air dan pantai yang berada di bawah kawasan tambang.
“Daerah di sekitar tambang ini sangat indah, memiliki potensi wisata yang besar. Namun, tambang ilegal ini merusaknya dengan merkuri dan sianida yang mereka buang sembarangan. Jika terus dibiarkan, dampaknya akan sangat merugikan masyarakat dan lingkungan setempat,” ucapnya.
Untuk itu, dalam upaya penertiban tambang ilegal ini, KPK bersama dengan Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara (Jabal Nusra) serta DLHK NTB, memasang papan tanda berukuran 2,5 x 1,6 meter, di lokasi tambang.
Dengan pemasangan papan tanda tersebut maka setiap orang dilarang melakukan kegiatan pertambangan tanpa izin dalam bentuk apa pun di dalam kawasan hutan Pelangan Sekotong. Jika ada kedapatan melanggar, akan dikenakan Pasal 89 junto Pasal 17 Ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, dengan ancaman pidana penjara paling lama 15 tahun serta denda paling banyak Rp10 miliar. (sid)