Suhaili dan Wabup Loteng Bantah Terima Uang Korupsi RSUD

PERSIDANGAN: Suhaili (memakai baju biru), dan Wabup Loteng (baju batik), saat keluar dari ruang persidangan, setelah memberikan kesaksian kepada terdakwa dr Langkir. (ROSYID/RADAR LOMBOK)

MATARAM — Mantan Bupati Loteng, Suhaili FT, dan Wakil Bupati Loteng, HM Nursiah, membantah tegas kalau telah menerima uang hasil korupsi dana Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD).
“Tidak ada saya terima,” tegas ke duanya secara bergantian ketika menjadi saksi dalam persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Tipikor Mataram, untuk terdakwa dr. Muzakir Langkir, Jumat (26/5).

Majelis Hakim yang diketuai Mukhlassudin, kembali mempertegas pertanyaannya, apakah pernah meminta uang dalam kondisi tertentu? Maka ke duanya kembali menjawab tidak pernah. “Tidak pernah yang mulia,” jawabnya dibawah sumpah.
Hakim mempertanyakan hal demikian, berdasarkan dalam berita acara pemeriksaan (BAP) terdakwa Langkir, yang menyebut adanya setoran dana BLUD yang masuk ke kantong Suhaili, selaku Bupati Loteng waktu itu.
Begitu juga HM Nursiah, ia dihadirkan sebagai saksi saat menjabat sebagai Sekretaris Daerah (Sekda) Loteng saat itu.

Selain menjabat sebagai Sekda Loteng waktu itu, Nursiah juga mengemban tugas selaku Ketua Dewan Pengawas BLUD pada RSUD Loteng. Ia pun membeberkan bahwa tugasnya adalah untuk mengawasi penggunaan dana BLUD tersebut.
Akan tetapi selama menjabat, Nursiah mengaku tidak mengetahui adanya pungutan di luar ketentuan yang berlaku. “Tidak, tidak tahu yang mulia,” sebutnya.

Begitu juga Suhaili, tidak mengetahui itu. “Tidak tahu sama sekali,” ujarnya.
Dari laporan tahunan, Nursiah mengatakan bahwa tidak ada temuan penyimpangan anggaran. Karena itu, terkait adanya dugaan pengelembungan harga dalam pengadaan barang kebutuhan rumah sakit, Nursiah mengaku tidak mengetahuinya.
“Tidak tahu kalau sampai akhirnya ada muncul persoalan mark-up (pengelembungan harga),” ujarnya.

Baca Juga :  Jelang MXGP Samota, Teror Anjing Gila Makin Meresahkan

Persoalan penyelewengan dilakukan terdakwa, tidak diketahui. Karena memang tidak ada laporan dari Inspektorat setempat mengenai hal itu. “Kami pengawas mengetahui adanya kasus ini setelah ada proses,” katanya.
Sebagai Ketua Dewan Pengawas Dana BLUD, lanjutnya, dirinya sudah secara rutin meneruskan laporan tahunan ke Bupati Lombok Tengah. “Tetap saya berikan kepada Bupati,” ungkap dia.
Sementara, Suhaili mengaku tidak mengetahui secara teknis mengenai pengelolaan dana BLUD. Dirinya hanya menerima laporan dari Sekda. “Tidak ada temuan selama saya menerima laporan,” bebernya.

Begitu juga terkait adanya dugaan mark-up harga barang kebutuhan rumah sakit, Suhaili mengaku tidak mengetahuinya. Hal itu dikarenakan ia tidak terlibat langsung dalam pengelolaan. “Saya hanya menekankan bagaimana cara memberikan pelayanan terbaik di rumah sakit. Itu saja,” kata dia.

Dalam kasus ini, muncul kerugian negara sebesar Rp 1,7 miliar. Kerugian negara itu muncul dari penghitungan Inspektorat Lombok Tengah. Kerugian tersebut muncul dalam pengelolaan dana BLUD RSUD Praya yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Salah satu item pekerjaan berkaitan dengan pengadaan makanan kering dan makanan basah. Nilai kerugian untuk pekerjaan tersebut sedikitnya mencapai Rp890 juta.

Baca Juga :  Kasus PMK Tembus 75.799 Kasus, 151 Ekor Mati

Kejari Lombok Tengah sebelumnya menetapkan tiga orang tersangka dalam kasus dugaan korupsi dana BLUD RSUD Praya tahun 2017-2020 ini. Di antaranya Direktur RSUD Praya, dr Muzakir Langkir bersama dua bawahannya Adi Sasmita selaku PPK, dan Baiq Prapningdiah Asmarini selaku bendahara BLUD RSUD Praya.

Para tersangka dikenakan pasal 2 ayat 1 juncto pasal 18 ayat 1 huruf a dan b, ayat 2 dan ayat 3 juncto pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Serta pasal 3 ayat 1 juncto pasal 18 ayat 1 huruf a dan b, ayat 2 dan ayat 3 juncto pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dengan ancaman hukuman 20 tahun penjara. (cr-sid)

Komentar Anda