SPN Desak Ahli Waris Hotel Grand Legi Bayar Hak Pekerja

Hotel Grand Legi Mataram

MATARAM– Serikat Pekerja Nasional (SPN) mengecam keras tindakan manajemen Hotel Grand Legi yang hingga kini belum memenuhi kewajiban pembayaran hak-hak pekerja yang telah dirumahkan.

Ketua DPD SPN NTB, Lalu Wira Sakti, menegaskan bahwa meskipun manajemen perusahaan tersebut sudah tidak beroperasi, kewajiban terhadap pekerja tetap harus dipenuhi.

“Ini menjadi sorotan keras saya berkaitan dengan Grand Legi. Hak-hak pekerja ini wajib diberikan. Persoalan manajemen tidak ada, Ok Yunita sebagai pemilik saham terbesar memang sudah meninggal. Tapi masih ada ahli waris, suaminya, dan adiknya sebagai pemilik di sana,” tegasnya.

Ia juga menyoroti alasan bahwa ahli waris tidak ingin melanjutkan perusahaan. Menurutnya, alasan tersebut tidak bisa dijadikan pembenaran untuk menghindari kewajiban kepada pekerja, karena aset masih ada dan bisa dijual.

“Hotel ini masih bisa dijual. Tidak mungkin dibiarkan begitu saja. Hasil penjualannya harus digunakan untuk membayar hak-hak pekerja,” ujarnya.

Lebih lanjut, ia menekankan bahwa meskipun Grand Legi telah berhenti beroperasi, perusahaan tidak bisa serta-merta mengklaim bahwa kewajiban kepada pekerja telah selesai.

Baca Juga :  Sembuh dari Covid, Wagub Mulai Beraktivitas Lagi

“Kalau perusahaan tutup, pasti ada keterangan gagal dari pengadilan. Perusahaan tetap harus menyelamatkan hak-hak pekerja,” tegasnya.

Wira Sakti menambahkan bahwa jika perusahaan memang sudah tidak beroperasi, maka aset yang dimiliki, seperti bangunan hotel, bisa dijual untuk membayar hak-hak pekerja. Ia menilai bahwa tidak mungkin aset tersebut diambil pihak lain tanpa adanya proses jual beli.

Diketahui, pemilik Grand Legi Yunita memiliki saudara, Nana, yang menjadi ahli waris perusahaan. Maka Nana sebagai pemilik sah harus bertanggung jawab atas hak-hak pekerja.

SPN juga mempertanyakan apakah penutupan Grand Legi murni akibat masalah tata kelola manajemen atau karena gagal. Jika memang perusahaan dinyatakan gagal, maka harus ada keputusan dari pengadilan. Jika tidak ada keputusan pengadilan, maka secara hukum perusahaan masih dianggap beroperasi dan memiliki kewajiban terhadap pekerjanya.

“Upayanya adalah mencari win-win solution. Berapa hak yang diberikan kepada pekerja tergantung dari hasil negosiasi. Tidak bisa perusahaan hanya beralasan bahwa manajemen sudah tidak ada, sementara aset masih ada dan bisa dijual,” ujar Wira Sakti.

Baca Juga :  Uang Kota Mataram Rp 710 Juta Mengendap di BPJS Kesehatan

Ia menegaskan bahwa tidak adil bagi pekerja yang telah mengabdi selama puluhan tahun untuk kemudian ditelantarkan begitu saja.

SPN juga mendesak pemerintah untuk turun tangan dan melakukan mediasi antara pekerja dan pihak Grand Legi. Ia menilai bahwa pemerintah tidak bisa hanya sekadar menyatakan bahwa manajemen sulit mempertemukan pekerja dan pihak manajemen, tetapi harus ada upaya hukum yang konkret.

“Pemerintah harus berupaya membela pekerja, minimal melakukan mediasi. Harus ada langkah hukum yang jelas, bukan hanya menyatakan bahwa manajemen sulit ditemukan,” bebernya.

SPN juga membuka diri bagi para pekerja yang ingin memperjuangkan hak mereka. Jika para pekerja tidak memiliki serikat dan ingin mengajukan pengaduan, SPN siap memberikan pendampingan.

“SPN terbuka bagi pekerja apabila mereka mengajukan permohonan bantuan. Kalau bukan anggota SPN, maka mereka harus memberikan kuasa kepada organisasi untuk mendampingi dalam kasus ini,” pungkasnya. (rat)