Sopir Truk Minta Pemerintah Atur Standar Ongkos Muatan

PERTEMUAN: DPRD NTB memfasilitasi pertemuan para sopir dengan Pemprov NTB, terkait rencana pemberlakuan aturan ODOL.

MATARAM — Para sopir truk yang tergabung dalam berbagai asosiasi kembali mendatangi Gedung DPRD NTB, setelah Senin lalu, melakukan aksi demo, menuntut pemberhentian operasi ODOL. Kedatangan para sopir truk ini atas undangan dari DPRD NTB Komisi IV, untuk memfasilitasi para sopir dengan pihak Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB, dan Kepolisian.

Pertemuan dilakukan di Gedung DPRD NTB, Selasa (24/6), yang pada kesempatan itu para sopir kembali menyampaikan berbagai tuntutan mereka, terhadap kebijakan Revisi UU LLAJ No. 22 Tahun 2009.

Seperti diungkapkan perwakilan sopir, Sahmad, bahwa dalam pertemuan yang dilakukan belum ada kesepakatan. Namun yang diinginkan para sopir adalah adanya ketetapan dari pemerintah terhadap standar ongkos angkut untuk para sopir. “Yang kita inginkan itu ada standarisasi ongkos yang ditetapkan oleh pemerintah untuk para sopir,” sebutnya.

Selama ini tidak ada standarisasi yang diatur oleh pemerintah. Berapa ongkos yang layak untuk para sopir yang mengangkut barang dalam satu ton. “Belum ada standarisasi. Dalam satu ton muatan itu berapa ongkos yang layak untuk sopir,” ujar Sahmad.

Saat ini, untuk tarif ongkos angkut bagi sopir ketika sedang ramai muatan, (sopir) diberikan upah Rp 400 ribu untuk satu ton. Sedangkan kalau sedang sepi muatan, sopir hanya diberikan ongkos sebesar Rp100 ribu per ton.

Baca Juga :  Soal Utang Rp 1,29 Triliun, Ini Kata Pemprov

Seperti ketika berangkat ke Pulau Sumbawa, ujar Sahmad, kalau mengacu standar, truk itu muatannya cuma 5 ton saja. Sehingga kalau dihitung dengan biaya yang dikeluarkan sekali berangkat, maka ongkos yang didapatkan sopir, tentu saja sangat kecil dan tidak layak.

“Kita mau ongkos muatan ini ada golongan-golongannya, kayak ongkos tiket kapal itu kan diatur. Jadi ini sebenarnya akar masalahnya. Kenapa teman-teman sopir angkut muatan sampai overload, karena untuk mengejar target ongkos itu,” jelas Sahmad.

Semakin banyak muatan yang diangkut, maka semakin besar pula ongkos yang didapatkan sopir. Pada prinsipnya para sopir tidak menolak kebijakan ODOL ini. Hanya saja penindakan yang dilakukan terlalu cepat, padahal belum resmi diberlakukan.

Kalau sudah ditetapkan resmi aturan ODOL ini, otomatis para sopir akan melakukan renegosiasi lagi dengan perusahaan (pemilik muatan) untuk kenaikan ongkos. “Makanya kita minta ada kepastian dari pemerintah. Kalau memang sudah ada ketetapan resmi untuk ongkos ini, tentu perusahaan tidak bisa mengelak,” tegas Sahmad.

Sementara Anggota DPRD NTB, Hamdan Kasim menyatakan bahwa pertemuan yang dilakukan ini sebagai tindak lanjut dari demo para sopir kemarin. Dimana dari hasil koordinasi dengan BPTD, saat ini untuk RUU itu masih dalam tahapan sosialisasi, dan bukan penindakan. “Kami sudah menghubungi BPTD, dan menurut Kepala BPTD sekarang ini masih masa sosialisasi,” katanya.

Baca Juga :  Jaksa Minta Pencekalan Dua Terdakwa Perusakan Ekosistem Laut

Pada masa sosialisasi, biasanya ada tahapan masa peringatan, baru setelah itu ada masa penindakan. “Sekarang ini sedang masa sosialisasi, jadi masyarakat, terutama para sopir, saya sampaikan bahwa hasil komunikasi dengan Kepala BPTD saat ini sedang masa sosialisasi dari aturan ODOL,” tegasnya.

Nantinya setelah selesai masa sosialisasi, selanjutnya akan ada masa peringatan, dan dilanjutkan dengan masa penindakan. Pasca pertemuan ini kata Hamdan, selanjutnya juga akan dilakukan koordinasi dengan Dirlantas Polda NTB, dan Dinas Perhubungan. Karena yang berhak melakukan sosialisasi sesuai tim line adalah pihak Dirlantas.

Pertemuan ini juga sudah disampaikan kepada Dinas Perhubungan NTB, untuk segera membuat standarisasi tarif atau upah driver (sopir). “Sudah kami minta untuk membuat standarisasi upah. Kenapa standarisasi ini perlu dibuat. Karena ketika tidak dibuat, maka yang terjadi di lapangan mereka akan overload muatan. Jadi kalau mau menghentikan overload, ya harus dibuat standar kan,” pungkasnya. (ami)